|
Menjelang bulan
Ramadhan lalu, Lingkaran Survei Indonesia mengungkapkan bahwa 65,30 persen
publik menganggap para elite politik hipokrit. Mereka bertindak tak sesuai
ucapan: berbicara hal baik, tetapi tak mempraktikkannya (Kompas, 8/7/2013).
Hipokrit alias
orang munafik dalam Al Quran digambarkan sebagai pendusta. Namun, mereka
berpenampilan mengagumkan, bertutur kata memukau, dan (sensitif) mengira setiap
teriakan keras ditujukan kepada mereka. Hadis Bukhari mencirikan kemunafikan
dengan berbohong, ingkar janji, dan berkhianat.
Potensi
hipokrisi sejatinya terdapat pada setiap orang. Ia berkembang dalam pengaruh
lingkungan, dan hasil tarik-menarik di antaranya menentukan kecenderungan
pilihan. Jika sebagian besar elite politik Indonesia hipokrit, untuk
mengatasinya patut diketahui terlebih dahulu seperti apa lingkungan yang
memengaruhinya.
”Demokrasi”
kita
Menurut
Mohammad Hatta, demokrasi seharusnya lebih mudah diterapkan sebagai sendi
negara untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Selain itu,
demokrasi kita seharusnya dapat menunjukkan kedaulatan rakyat yang lebih
sempurna karena masyarakat kita bersendikan kolektivisme, tidak mengandung
penyakit individualisme.
Dalam sifat
asli desa Indonesia, kata Hatta, segala peraturan mengenai kepentingan hidup
bersama diputuskan dengan jalan mufakat. Segala usaha yang berat, yang tak
terpikul oleh orang seorang jadi usaha bersama, dikerjakan menurut dasar
tolong-menolong. Sifat pertama adalah dasar bagi demokrasi politik, dan sifat
kedua adalah sendi untuk menegakkan demokrasi ekonomi Indonesia.
Namun,
dialektika politik nasional membawa demokrasi kita di era reformasi ini
mengarah pada yang tak substansial. Prosedur demokrasi yang seyogianya
memunculkan para pemimpin dan politisi yang mumpuni ternyata pada berbagai
tingkatan hanya menghasilkan para elite yang mengingkari kepentingan rakyat.
Penghormatan pada kebebasan sipil dan upaya pencapaian kesejahteraan dan
keadilan sosial bersifat semu karena dikendalikan kekuatan uang.
Demokrasi yang
secara substantif seharusnya menunjukkan kemampuan mengurangi ketimpangan
politik, sosial, dan ekonomi justru berlaku sebaliknya. Perangkat-perangkat
demokrasi kita seolah hanya memfasilitasi bertumbuhnya jiwa hipokrit dan
koruptif pada elite politik yang berujung pada beragam kesenjangan dalam
masyarakat.
Meskipun bangsa
Indonesia memiliki sejumlah pengalaman menjalankan apa yang didefinisikannya
sebagai demokrasi, bangsa ini tampak belum dewasa dalam berpolitik. Pertama,
dinamika politik terus diwarnai sikap saling hujat, saling melecehkan di depan
publik yang disaksikan dan dipahami oleh anak-anak dan pemuda kita sebagai cara
berdemokrasi yang benar. Gagasan demokrasi yang diharapkan mengembangkan sikap
toleransi atas bermacam perbedaan tak ditumbuhkan dengan serius, bahkan kerap
dimanfaatkan beberapa pihak untuk memicu konflik horizontal di kalangan akar
rumput. Banyak persoalan bangsa seperti dibiarkan mengambang karena para elite
lebih sibuk dengan urusan pribadi dan partainya.
Kedua,
kepemimpinan politik bersifat feodalistis dengan para pengikut yang fanatis dan
tak kritis. Pola perekrutan parpol kebanyakan mengandalkan nepotisme dan
popularitas sehingga anggota yang terhimpun tak punya basis ideologis,
pengetahuan, dan keterampilan politik. Sementara kaderisasi dan pendidikan
politik yang mestinya menjadi agenda terpenting partai politik diabaikan.
Dengan kondisi
itu, citra politik yang diwariskan kepada generasi muda jadi sangat negatif dan
bersifat transaksional.
Pendidikan
kita
Sebagai
subordinasi sistem sosiopolitik, lingkungan pendidikan kita bukan saja tak
mampu membebaskan diri dari nilai-nilai hipokrisi dan praktik korupsi, juga
turut melestarikannya. Berbagai program pendidikan yang menjanjikan perbaikan
dan kemajuan, seperti profesionalisme guru, ujian nasional (UN), Kurikulum
2013, dan seleksi masuk perguruan tinggi negeri, kenyataannya hanya isapan
jempol.
UN yang
bertalu-talu dikatakan sangat berguna untuk pemetaan, pemacu semangat belajar,
dan peningkatan mutu pendidikan nasional tidak terbukti. Setelah satu dekade UN
diselenggarakan, kualitas pendidikan nasional belum menunjukkan tanda-tanda
meningkat, bahkan menurun. Beberapa hasil survei internasional terakhir,
seperti dari TIMSS, PIRLS, dan PISA, menunjukkan, murid Indonesia selalu berada
di peringkat bawah dan bermasalah dengan kemampuan menalar.
Selain itu, UN
juga telah menjadi semacam kurikulum diam (hidden
curriculum) bagi pembentukan karakter buruk generasi muda. Sejumlah
kepentingan, seperti tuntutan para kepala dan pejabat daerah agar angka
kelulusan UN tinggi, ditambah sistem yang tak adil, telah memicu praktik
kecurangan bersama guru dan murid. Konspirasi itu secara efektif telah menjadi
praktikum yang menginspirasi bagi pewarisan nilai-nilai hipokrisi dan korupsi.
Apalagi kenyataan itu seolah diafirmasi oleh berbagai kasus korupsi yang
merebak di seantero Tanah Air.
Kisruh UN 2013,
ditandai keterlambatan pencetakan soal dan penipisan lembar jawaban (hasil
investigasi inspektorat menemukan indikasi korupsi), kiranya jadi penjelas bagi
publik atas sikap aneh pemerintah yang tetap akan menyelenggarakan UN. Bahwa UN
hanyalah proforma. Sikap kukuh pemerintah justru menunjukkan tingginya semangat
hipokrisi dan korupsi di lembaga penanggung jawab pendidikan itu.
Demikian pula
Kurikulum 2013. Berbagai asumsi dan visi muluk yang mendasari Kurikulum 2013
yang secara rancu terderivasi dalam kompetensi inti dan kompetensi dasar
sebenarnya sesuatu yang disadari tak akan terwujud. Gejala itu makin tampak
pada pelatihan guru yang dimaksudkan mengubah pola pikir ternyata hanyalah
ceramah massal hierarkis yang diselingi banyolan-banyolan klise. Namun,
pemerintah selalu siap dengan jawaban bluffing atas inkonsistensi dan
potensi kegagalan, seperti ungkapan ”penerapan bertahap” dan atau ”efek
perubahan akan terjadi puluhan tahun mendatang”.
Hal lain adalah
beragamnya sistem seleksi masuk perguruan tinggi negeri, khususnya jalur
mandiri, lebih mempertimbangkan pemasukan daripada aspek kualitas. Sementara
peningkatan kuota jalur undangan, yang mengandalkan nilai rapor sekolah, hingga
50 persen sangat berpotensi menimbulkan kecurangan sistemik pada sekolah di
kemudian hari.
Kaum hipokrit
tentunya tak hirau atas dampak buruk dari berbagai sikap dan kebijakan yang
mereka perbuat bagi moralitas bangsa di masa depan. Sayangnya, kenyataan ini
secara umum tak akan jadi lebih baik, bahkan setelah 2014. Menyaksikan sistem
dan calon politisi dalam pemilu mendatang, tampaknya lingkungan politik dan
pendidikan nasional masih akan jadi lahan ”pembudidayaan” hipokrisi dan
korupsi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar