|
Pemulihan ekonomi Jepang berada
pada jalur yang tepat. Hal ini ditandai oleh kemenangan Partai Demokratik
Liberal dalam pemilihan majelis tinggi Jepang, akhir Juli lalu. Kemenangan itu
memberikan mandat lebih besar kepada pemerintahan Shinzo Abe dalam menjalankan
paket reformasi ekonominya yang populer disebut Abenomics.
Paket reformasi
ekonomi Abenomics bertujuan
menyelesaikan permasalahan struktural perekonomian Jepang yang sejak beberapa
tahun terakhir mengalami deflasi, rasio utang khususnya utang dalam negeri
terhadap PDB sangat besar, pertumbuhan ekonomi negatif, dan daya saing global
yang melemah.
Paket reformasi
Abenomics memiliki tiga kerangka
pokok. (1) Monetary easing policy yang
hampir serupa dengan quantitative
easing policy oleh The Fed,
bank sentral Amerika Serikat. (2) Mengurangi defisit fiskal secara signifikan
dengan cara memangkas utang dan menyederhanakan program jaminan sosial. (3)
Revitalisasi ekonomi dengan cara meningkatkan daya saing industri.
Dalam jangka
pendek, paket reformasi Abenomics
telah mampu membangkitkan perekonomian Jepang yang ditunjukkan oleh pertumbuhan
ekonomi 4,1 persen pada triwulan pertama tahun 2013, lebih tinggi dari
perkiraan sekitar 3,5 persen.
Tambahan
likuiditas ke dalam perekonomian Jepang yang akan mencapai 50 triliun yen dalam
setahun─ setara dengan 6,5 kali PDB Indonesia tahun 2012─ menguatkan kembali
nilai yen menjadi 94 yen per dollar AS pada Juni 2013, setelah sebelumnya
terdepresiasi dari 79 menjadi 103 yen per dollar AS pada Mei 2013.
Namun, dalam
jangka menengah dan panjang, sebagian masyarakat Jepang masih tidak yakin
terhadap Abenomics. Transmisi
kebijakan moneter super longgar ke sektor riil masih perlu pembuktian karena
hingga saat ini angka pengangguran di Jepang masih tinggi.
Fokus reformasi
Beberapa bulan
sejak terpilih sebagai perdana menteri Jepang, Shinzo Abe merampungkan paket
reformasi ekonomi yang dirumuskan oleh tiga dewan, yaitu: (1) Dewan reformasi
kebijakan ekonomi dan fiskal. (2) Dewan peningkatan daya saing industri. (3)
Dewan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil diskusi dari tiga
dewan di atas terangkum dalam lima isu:
Pertama, bank
sentral Jepang (BOJ) didorong menjalankan monetary policy easing dengan membeli surat berharga berisiko
tinggi. Kebijakan ini diarahkan untuk meningkatkan likuiditas perekonomian
dalam rangka memengaruhi sektor riil. Kelebihan likuiditas diharapkan dapat
segera ditransmisikan ke kegiatan ekonomi riil untuk membuka lapangan kerja
baru.
Kedua,
Pemerintah Jepang harus menjalankan kebijakan revitalisasi ekonomi dan
rekonstruksi kebijakan fiskal secara simultan. Tujuannya mempercepat proses
pemulihan ekonomi dengan cara meningkatkan produktivitas yang secara bersamaan
menurunkan rasio utang pemerintah terhadap GDP. Pemerintah harus mampu mengurangi
separuh defisit fiskal tahun 2015 berdasarkan posisi tahun 2012 dan menjadikan
anggaran surplus tahun 2020.
Ketiga, untuk
mencapai tujuan di atas, pemerintah dituntut memotong anggaran dan
menyederhanakan program jaminan sosial. Tidak terhindarkan, pemerintah akan
mengurangi pekerja sektor publik dan juga pemotongan anggaran pemerintah
daerah.
Keempat,
menjadikan kegiatan inovasi sebagai mesin utama pendorong pertumbuhan ekonomi
Jepang yang difokuskan pada lima area, yaitu energi bersih dan ekonomis, perbaikan
layanan kesehatan dan peningkatan angka harapan hidup melalui
inovasi teknologi kesehatan, pengembangan infrastruktur, revitalisasi
perekonomian daerah, dan percepatan proses rekonstruksi pascatsunami.
Kelima,
mendorong peningkatan partisipasi kaum perempuan dalam semua kegiatan ekonomi.
Pemerintah Jepang juga dituntut meningkatkan pendapatan per kapita dari kondisi
saat ini 3,84 juta yen (setara dengan Rp 384 juta per kapita per tahun) menjadi
5,34 juta yen, setara dengan Rp 534 juta per kapita per tahun dalam 10 tahun ke
depan.
Permasalahan lanjutan
Implementasi
paket reformasi Abenomics melalui
kebijakan moneter ekstra longgar telah menyebabkan nilai tukar yen per dollar
AS terdepresiasi yang kemudian meningkatkan kinerja industrinya yang berorientasi
ekspor. Daya saing produk ekspor perusahaan Jepang membaik dan indeks harga
saham gabungan di bursa Tokyo mengalami peningkatan.
Namun,
depresiasi yen per dollar AS menyebabkan impor bahan baku industri menjadi
mahal. Sebagai contoh, kenaikan biaya impor minyak dan gas bumi menambah beban
biaya energi listrik. Sejak gempa tsunami beberapa waktu lalu, pembangkit
listrik di Jepang lebih mengandalkan bahan bakar minyak dan gas bumi.
Monetary
easing menyebabkan kelebihan likuiditas dalam perekonomian Jepang. Kondisi
ini melambungkan harga saham sekitar 50 persen pada Mei 2013 dibandingkan
dengan posisi Desember 2012 (The Japan
Times, 19/06/13). Perkembangan ini mengarah pada stock market bubble, yaitu meningkatnya harga saham tanpa diikuti
oleh perbaikan kondisi fundamentalnya.
Inflasi yang
mulai positif dan diperkirakan mencapai 2 persen dalam dua tahun mendatang
menyebabkan biaya hidup meningkat. Kesejahteraan masyarakat menurun dan akan
semakin buruk jika pemerintahan Shinzo Abe merealisasikan pemangkasan program
jaminan sosial.
Akhirnya,
sebagai negara perekonomian terbesar ketiga dunia dan sebagai partner dagang
utama Indonesia, ketidakpastian pemulihan ekonomi Jepang melalui paket
reformasi ekonomi Abenomics memberi
sinyal bahwa dalam tiga tahun ke depan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan
sangat bertumpu pada pasar domestik. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia
perlu segera menyusun paket kebijakan ekonomi baru untuk mengoptimalkan peran
pasar domestik sebagai engine of
growth. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar