Kamis, 29 Agustus 2013

Mewacanakan Kembali Pemikiran Pembaruan Islam Nurcholis Madjid

Mewacanakan Kembali
Pemikiran Pembaruan Islam Nurcholis Madjid
Neng Dara Alfiah ;   Komisioner Komnas Perempuan 2010-2014; Aktif dalam Komunitas Epistemik Muslim Indonesia (KEMI) dan Pemimpin Perguruan Islam "Annizhomiyyah", Labuan, Banten
KORAN TEMPO, 29 Agustus 2013


Pada 29 agustus 2013, sejumlah orang terdekat Cak Nur--panggilan akrab cendekiawan Nurcholish Madjid--baik karena kedekatan berproses bersama dalam memperjuangkan dan mewujudkan gagasan-gagasan Cak Nur maupun karena kedekatan ide dan persetujuan atas pemikirannya, akan menyelenggarakan Sewindu Haul Cak Nur. Tujuan peringatan ini sama sekali bukan untuk mengultuskan Cak Nur sebagai pribadi, melainkan untuk mengetengahkan kembali pemikiran-pemikirannya yang dipandang relevan hingga hari ini.
Kristalisasi dari pemikiran Cak Nur terdiri atas tiga kata kunci, yakni integrasi keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan. Keislaman yang dimaksud Cak Nur adalah Islam dengan basis utama etika dan moral, karena menurut Cak Nur, dengan sering mengutip Gurnal Myrdal, bangsa Indonesia adalah bangsa yang tergolong soft state, yakni bangsa yang tidak jelas dan tegas membedakan tindakan yang baik dan buruk. Karena itu, bangsa ini sulit mengalami kemajuannya, karena kemajuan sebuah bangsa menurut Cak Nur harus dilandasi pegangan etika yang kuat.
Mengapa Cak Nur konsentrasinya pada etika Islam? Dengan membandingkan Indonesia dengan Amerika, yang terakhir ini menurut Cak Nur, sekalipun ia berasal dari pelbagai bangsa dan agama, basis karakter dan etika sosial Amerika sebagian besar berakar dari Protestanisme dan tradisi budaya Eropa Barat. Dengan mengutip Robert N. Bellah, Kristen di Amerika merupakan civil religion yang kurang-lebih sama dengan Islam di Indonesia. Karena itu, ia berharap Indonesia pun dapat mengembangkan etika Islam dalam proses berbangsa dengan tidak melembagakannya secara formal dalam bentuk simbol-simbol atau hukum-hukum formal dan apalagi partai politik. Tapi nilai-nilai dasar Islam dihayati sepenuhnya oleh muslim di Indonesia dan kemudian dinyatakan sebagai nilai bermasyarakat secara umum.
Pancasila, menurut Cak Nur, telah mencerminkan landasan etis Islam karena ketuhanan, keadilan, musyawarah, keadaban, dan persatuan adalah wujud luhur etika Islam. Tetapi sebagian umat masih terus menyoalnya, karena praktek keislaman di Indonesia lebih mengutamakan aspek ritual dan formal ketimbang aspek etika. Ia masih mengidap apa yang disebut Cak Nur sebagai diabolisme, yakni orang yang berhenti pada simbol dan menyembah simbol itu sendiri. Sejalan dengan pemikiran ini, Cak Nur mengajukan gagasan desakralisasi, yakni umat Islam tidak menyucikan atau memberhalakan hal-hal yang tidak suci dan merohanikan hal-hal yang bukan rohani. 
Pancasila pun, menurut Cak Nur, merupakan kalimat-un sawa, yakni landasan bernegara yang memiliki titik temu atau perjumpaan dengan agama-agama yang hidup di Indonesia. Untuk menguatkan argumentasi ini, Cak Nur mengeksplorasi historisitas sejarah Islam dengan mengumpamakan Pancasila dengan Piagam Madinah (Shahifat al-Madinah), sebuah piagam yang dilakukan Nabi Muhammad untuk menaungi masyarakat plural yang memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk masing-masing golongan yang hidup di Madinah pada masa itu. 
Sebagai konsekuensi dari penerimaan umat Islam terhadap Pancasila ini, umat Islam pun harus toleran terhadap agama-agama lain, terutama agama yang hidup di Indonesia. Sikap toleransi ini disebut Cak Nur sebagai al-hanifiyat al-samhah, yakni sikap beragama yang bersemangat mencari kebenaran yang lapang, toleran, tanpa kefanatikan dan tidak membelenggu jiwa. Sikap beragama yang lapang, menurut Cak Nur, memiliki dimensi historis dan teologisnya bagi agama-agama yang berakar dari tradisi Nabi Ibrahim, di mana ia tidak terikat pada agama-agama formal, melainkan agama yang memiliki semangat pencarian kebenaran dan tunduk pada kebenaran itu sendiri. 
Selain integrasi Islam dalam keindonesiaan, Cak Nur pun mengembangkan ide modernisasi dalam pengertian perlunya pembaruan pemikiran atas Islam. Gagasan ini mulai ia kembangkan ketika ia berceramah pada 2 Januari 1970 di hadapan organisasi-organisasi mahasiswa yang berjudul "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat". Dalam ceramah tersebut, Cak Nur menekankan perlunya peningkatan kualitas umat dibanding kuantitas. Disadari oleh Cak Nur bahwa ide pembaruan ini tidaklah mudah, karena ia mensyaratkan perubahan pola pikir mapan yang dianggap benar pada dirinya sendiri.
Santrinisasi
Dengan pengetahuan Islam yang kokoh dan visinya tentang kemodernan, ia memperoleh simpati luas publik muslim kelas menengah dan atas di Indonesia. Gagasan-gagasan Cak Nur ini seperti menjawab kedahagaan kelas menengah dan atas muslim atas ajaran Islam yang dijawabnya melalui lembaga yang didirikannya, yakni Yayasan Wakaf Paramadina. Melalui lembaga ini, Cak Nur menyemai dan meluaskan gagasannya yang kelak memiliki jejak kuat dalam melahirkan sejumlah intelektual muslim dari pelbagai perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi Islam dan juga jejak kelas menengah dan atas santri. Melalui lembaga ini, ide-ide pembaruan Islam ditebarkan dan pengajian-pengajian dalam bentuknya yang canggih digelar. Mungkin Paramadina-lah yang mempelopori pengajian dalam bentuk modern dengan audiens kelas menengah dan atas. Dengan kepeloporan ini, Paramadina membongkar stereotipe bahwa yang aktif dalam pengajian hanya mereka yang berafiliasi pada organisasi-organisasi Islam atau kelompok santri yang tinggal di pedesaan, dan menyiratkan bahwa kalangan eksekutif serta kaum profesional kelas menengah dan elite kota pun aktif dalam pengajian itu. Terdapat kecenderungan santrinisasi yang dilakukan Cak Nur terhadap mereka yang sebelumnya kurang percaya diri mengekspresikan kesantriannya, karena situasi politik dan sosial di masa awal dan pertengahan Orde Baru. Paramadina hadir mengisi kekosongan tersebut. 
Saat ini, meski raga Cak Nur telah tiada, kekuatan pikiran dan gagasan-gagasannya masih tetap hidup. Kekuatan pikiran yang relevan adalah tentang Pancasila sebagai common platform bagi bangsa Indonesia di tengah-tengah masih adanya sebagian warga negara yang berjuang untuk menggantinya. Selain itu, basis etika yang harus menjadi landasan hidup bernegara di tengah-tengah permisifnya para penyelenggara negara yang tidak dapat membedakan mana hal yang baik dan yang buruk. Di samping tentang bagaimana semestinya beragama yang lapang dan penuh toleransi di tengah-tengah kelompok minoritas agama yang teraniaya, seperti Syiah di Sampang, Ahmadiyah di pelbagai daerah, GKI Yasmin dan Filadelfia di Jawa Barat, dan lainnya. 
Semoga pelajaran-pelajaran besar yang disampaikan Cak Nur menjadi jejak dan kontribusi abadi yang ditorehkan selama hidupnya dan tetap dilanjutkan oleh generasi penerus yang mewarisi pemikirannya. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar