|
Pada 29 agustus 2013, sejumlah orang terdekat Cak
Nur--panggilan akrab cendekiawan Nurcholish Madjid--baik karena kedekatan
berproses bersama dalam memperjuangkan dan mewujudkan gagasan-gagasan Cak Nur
maupun karena kedekatan ide dan persetujuan atas pemikirannya, akan
menyelenggarakan Sewindu Haul Cak Nur. Tujuan peringatan ini sama sekali bukan
untuk mengultuskan Cak Nur sebagai pribadi, melainkan untuk mengetengahkan
kembali pemikiran-pemikirannya yang dipandang relevan hingga hari ini.
Kristalisasi dari pemikiran Cak Nur terdiri atas tiga kata
kunci, yakni integrasi keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan. Keislaman yang
dimaksud Cak Nur adalah Islam dengan basis utama etika dan moral, karena
menurut Cak Nur, dengan sering mengutip Gurnal Myrdal, bangsa Indonesia adalah
bangsa yang tergolong soft state, yakni bangsa yang tidak jelas dan tegas
membedakan tindakan yang baik dan buruk. Karena itu, bangsa ini sulit mengalami
kemajuannya, karena kemajuan sebuah bangsa menurut Cak Nur harus dilandasi
pegangan etika yang kuat.
Mengapa Cak Nur konsentrasinya pada etika Islam? Dengan
membandingkan Indonesia dengan Amerika, yang terakhir ini menurut Cak Nur,
sekalipun ia berasal dari pelbagai bangsa dan agama, basis karakter dan etika
sosial Amerika sebagian besar berakar dari Protestanisme dan tradisi budaya
Eropa Barat. Dengan mengutip Robert N. Bellah, Kristen di Amerika merupakan
civil religion yang kurang-lebih sama dengan Islam di Indonesia. Karena itu, ia
berharap Indonesia pun dapat mengembangkan etika Islam dalam proses berbangsa
dengan tidak melembagakannya secara formal dalam bentuk simbol-simbol atau
hukum-hukum formal dan apalagi partai politik. Tapi nilai-nilai dasar Islam
dihayati sepenuhnya oleh muslim di Indonesia dan kemudian dinyatakan sebagai nilai
bermasyarakat secara umum.
Pancasila, menurut Cak Nur, telah mencerminkan landasan
etis Islam karena ketuhanan, keadilan, musyawarah, keadaban, dan persatuan
adalah wujud luhur etika Islam. Tetapi sebagian umat masih terus menyoalnya,
karena praktek keislaman di Indonesia lebih mengutamakan aspek ritual dan
formal ketimbang aspek etika. Ia masih mengidap apa yang disebut Cak Nur
sebagai diabolisme, yakni orang yang berhenti pada simbol dan menyembah simbol
itu sendiri. Sejalan dengan pemikiran ini, Cak Nur mengajukan gagasan
desakralisasi, yakni umat Islam tidak menyucikan atau memberhalakan hal-hal
yang tidak suci dan merohanikan hal-hal yang bukan rohani.
Pancasila pun, menurut Cak Nur, merupakan kalimat-un sawa,
yakni landasan bernegara yang memiliki titik temu atau perjumpaan dengan
agama-agama yang hidup di Indonesia. Untuk menguatkan argumentasi ini, Cak Nur
mengeksplorasi historisitas sejarah Islam dengan mengumpamakan Pancasila dengan
Piagam Madinah (Shahifat al-Madinah), sebuah piagam yang dilakukan Nabi
Muhammad untuk menaungi masyarakat plural yang memiliki hak dan kewajiban yang
sama untuk masing-masing golongan yang hidup di Madinah pada masa itu.
Sebagai konsekuensi dari penerimaan umat Islam terhadap
Pancasila ini, umat Islam pun harus toleran terhadap agama-agama lain, terutama
agama yang hidup di Indonesia. Sikap toleransi ini disebut Cak Nur sebagai
al-hanifiyat al-samhah, yakni sikap beragama yang bersemangat mencari kebenaran
yang lapang, toleran, tanpa kefanatikan dan tidak membelenggu jiwa. Sikap
beragama yang lapang, menurut Cak Nur, memiliki dimensi historis dan
teologisnya bagi agama-agama yang berakar dari tradisi Nabi Ibrahim, di mana ia
tidak terikat pada agama-agama formal, melainkan agama yang memiliki semangat
pencarian kebenaran dan tunduk pada kebenaran itu sendiri.
Selain integrasi Islam dalam keindonesiaan, Cak Nur pun
mengembangkan ide modernisasi dalam pengertian perlunya pembaruan pemikiran
atas Islam. Gagasan ini mulai ia kembangkan ketika ia berceramah pada 2 Januari
1970 di hadapan organisasi-organisasi mahasiswa yang berjudul "Keharusan
Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat". Dalam ceramah
tersebut, Cak Nur menekankan perlunya peningkatan kualitas umat dibanding
kuantitas. Disadari oleh Cak Nur bahwa ide pembaruan ini tidaklah mudah, karena
ia mensyaratkan perubahan pola pikir mapan yang dianggap benar pada dirinya
sendiri.
Santrinisasi
Dengan pengetahuan Islam yang kokoh dan visinya tentang
kemodernan, ia memperoleh simpati luas publik muslim kelas menengah dan atas di
Indonesia. Gagasan-gagasan Cak Nur ini seperti menjawab kedahagaan kelas
menengah dan atas muslim atas ajaran Islam yang dijawabnya melalui lembaga yang
didirikannya, yakni Yayasan Wakaf Paramadina. Melalui lembaga ini, Cak Nur
menyemai dan meluaskan gagasannya yang kelak memiliki jejak kuat dalam
melahirkan sejumlah intelektual muslim dari pelbagai perguruan tinggi, terutama
perguruan tinggi Islam dan juga jejak kelas menengah dan atas santri. Melalui
lembaga ini, ide-ide pembaruan Islam ditebarkan dan pengajian-pengajian dalam
bentuknya yang canggih digelar. Mungkin Paramadina-lah yang mempelopori
pengajian dalam bentuk modern dengan audiens kelas menengah dan atas. Dengan
kepeloporan ini, Paramadina membongkar stereotipe bahwa yang aktif dalam
pengajian hanya mereka yang berafiliasi pada organisasi-organisasi Islam atau
kelompok santri yang tinggal di pedesaan, dan menyiratkan bahwa kalangan eksekutif
serta kaum profesional kelas menengah dan elite kota pun aktif dalam pengajian
itu. Terdapat kecenderungan santrinisasi yang dilakukan Cak Nur terhadap mereka
yang sebelumnya kurang percaya diri mengekspresikan kesantriannya, karena
situasi politik dan sosial di masa awal dan pertengahan Orde Baru. Paramadina
hadir mengisi kekosongan tersebut.
Saat ini, meski raga Cak Nur telah tiada, kekuatan pikiran
dan gagasan-gagasannya masih tetap hidup. Kekuatan pikiran yang relevan adalah
tentang Pancasila sebagai common platform bagi bangsa Indonesia di
tengah-tengah masih adanya sebagian warga negara yang berjuang untuk
menggantinya. Selain itu, basis etika yang harus menjadi landasan hidup
bernegara di tengah-tengah permisifnya para penyelenggara negara yang tidak
dapat membedakan mana hal yang baik dan yang buruk. Di samping tentang
bagaimana semestinya beragama yang lapang dan penuh toleransi di tengah-tengah
kelompok minoritas agama yang teraniaya, seperti Syiah di Sampang, Ahmadiyah di
pelbagai daerah, GKI Yasmin dan Filadelfia di Jawa Barat, dan lainnya.
Semoga pelajaran-pelajaran besar yang disampaikan Cak Nur
menjadi jejak dan kontribusi abadi yang ditorehkan selama hidupnya dan tetap
dilanjutkan oleh generasi penerus yang mewarisi pemikirannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar