Jumat, 30 Agustus 2013

Pencari Suaka dan Kepentingan Kita

Pencari Suaka dan Kepentingan Kita
Khasan Ashari ;   Pemerhati Masalah Internasional
KOMPAS, 29 Agustus 2013


PERISTIWA tenggelamnya kapal tongkang berpenumpang pencari suaka, ─lebih tepatnya irregular migrants─, di perairan Cianjur, Jawa Barat, menjadi berita di berbagai media. Mereka disebut irregular migrants karena berpindah antarnegara tanpa mematuhi regulasi atau aturan hukum yang berlaku.
Tenggelamnya kapal berpenumpang 189 orang yang diduga hendak memulai perjalanan menuju Australia ini menambah panjang cerita tentang keberadaan irregular migrants di sekitar kita. Karena tujuan akhir mereka adalah Australia, wajar jika ada yang melihat keberadaan irregular migrants berikut permasalahan yang mengikutinya dalam konteks hubungan bilateral Indonesia-Australia.
Pada kenyataannya keberadaan mereka juga menjadi masalah bagi Indonesia sebagai negara transit. Mengapa?
Terus meningkat
Jumlah irregular migrants yang berpindah dari negara asal dengan menggunakan metode penyelundupan manusia atau people smuggling terus meningkat. Istilah penyelundupan manusia juga sering disamakan dengan perdagangan orang atau human trafficking meskipun keduanya merupakan tindak kejahatan yang berbeda.
Pada penyelundupan manusia, pencari suaka secara sadar membayar seseorang atau sekelompok orang untuk membawa mereka ke negara tujuan. Artinya, mereka mengetahui risiko yang mungkin dihadapi dan menyadari tindakan itu melanggar hukum. Aspek kesadaran ini membuat mereka tidak masuk kategori korban atau victim.
Sebaliknya, pada kasus perdagangan orang, sebagian besar obyek tindakan dapat disebut korban karena dieksploitasi, dipekerjakan secara paksa, atau dipekerjakan tidak sesuai kontrak awal. Kasus perdagangan orang banyak dijumpai di kalangan pekerja migran dan dapat terjadi baik antarnegara maupun antardaerah.
Laporan yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bulan April 2013 menyebutkan bahwa setiap tahun sekitar 6.000 irregular migrants berusaha masuk ke Australia melalui jalur laut. Rata-rata mereka membayar 14.000 dollar Amerika Serikat (AS) kepada sindikat penyelundup manusia (smugglers). Artinya, pendapatan yang diperoleh sindikat penyelundup manusia dalam setahun sekitar 85 juta dollar AS.
Besarnya keuntungan membuat penyelundupan manusia menjadi bisnis ilegal yang menggiurkan. Berbagai upaya memperlancar bisnis ilegal dilakukan, umumnya dalam bentuk tindakan pelanggaran hukum. Tindakan tersebut menimbulkan dampak negatif di bidang keamanan, sosial, ekonomi, dan hukum yang cukup signifikan bagi Indonesia sebagai negara transit.
Di bidang keamanan, kedatangan irregular migrants secara sporadis melalui laut menunjukkan bahwa kita belum dapat mengawasi titik masuk atau entry points secara optimal, khususnya titik-titik masuk tidak resmi. Begitu juga dengan lalu lintas keluar kapal-kapal pengangkut pencari suaka di pantai selatan Jawa dan gugus kepulauan Nusa Tenggara. Pada banyak kasus, pergerakan mereka baru diketahui setelah terjadi kecelakaan.
Dampak negatif di bidang sosial juga tidak kalah signifikan. Besarnya uang yang berputar memungkinkan sindikat penyelundup manusia melakukan praktik suap kepada aparat penegak hukum dan penyedia layanan publik untuk memuluskan aksi mereka.
Untuk menjamin kerahasiaan, sindikat penyelundup manusia mempraktikkan  outsourcing dengan merekrut pemain-pemain lokal, khususnya sebagai penyedia dan operator kapal. Sindikat penyelundup manusia sanggup membayar nelayan-nelayan Indonesia menjadi nakhoda kapal untuk mengantar irregular migrants ke Australia. Jika fenomena ini dibiarkan, akan semakin banyak nelayan kita yang berhenti mencari ikan dan memilih bekerja untuk sindikat penyelundup manusia karena upah lebih besar.
Kerawanan sosial
Keberadaan irregular migrants di tengah-tengah masyarakat juga potensial menimbulkan kerawanan sosial. Mereka pada umumnya tidak mau membaur karena hanya melihat Indonesia sebagai transit. Kekuatan finansial mereka juga potensial menciptakan apa yang oleh PBB disebut sebagai illegal economy.
Di bidang hukum, keberadaan irregular migrants juga berdampak terhadap meningkatnya biaya di bidang penegakan hukum yang harus ditanggung pemerintah. Tenggelamnya kapal di Cianjur, sebagai contoh, mengharuskan pemerintah mengeluarkan biaya ekstra untuk penyelamatan korban. Pemerintah juga harus menyediakan penampungan untuk irregular migrants yang selamat karena bisa dituduh tidak menghormati HAM.
Praktik penyelundupan manusia memiliki dimensi antarnegara sehingga kerja sama internasional mutlak diperlukan. Kerja sama bilateral dengan Australia sebagai negara tujuan telah terjalin dengan baik, begitu juga kerja sama regional kawasan Asia-Pasifik melalui mekanisme Bali Process. Indonesia juga menjadi negara pihak pada Konvensi PBB Menentang Kejahatan Lintas Negara Terorganisir (UNTOC) berikut protokol yang mengatur penyelundupan manusia.
Meskipun demikian, kerja sama internasional tidak dapat sepenuhnya mengatasi persoalan. Diperlukan kesamaan pemahaman serta kebijakan yang terpadu di tingkat domestik. Pengambil kebijakan, penegak hukum, dan masyarakat harus memiliki pemahaman yang sama mengenai dampak negatif penyelundupan manusia agar aksi penyuapan dapat dicegah dan nelayan-nelayan kita tidak mudah tergoda upah tinggi.
Tanpa upaya serius di tingkat domestik, Indonesia akan menjadi ”surga” bagi sindikat penyelundup manusia dan irregular migrantsakan terus berdatangan. Kita tentu tidak ingin tindakan ”memfasilitasi” irregular migrants menjadi sesuatu yang dianggap lumrah dan wajar. Kita ingin semua pihak menyadari bahwa penyelundupan manusia tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mencederai nilai kemanusiaan.
Kita belum terlambat dan masih cukup waktu untuk bertindak.  ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar