|
PERISTIWA tenggelamnya kapal
tongkang berpenumpang pencari suaka, ─lebih tepatnya irregular migrants─, di
perairan Cianjur, Jawa Barat, menjadi berita di berbagai media. Mereka disebut
irregular migrants karena berpindah antarnegara tanpa mematuhi regulasi atau
aturan hukum yang berlaku.
Tenggelamnya
kapal berpenumpang 189 orang yang diduga hendak memulai perjalanan menuju
Australia ini menambah panjang cerita tentang keberadaan irregular
migrants di sekitar kita. Karena tujuan akhir mereka adalah Australia,
wajar jika ada yang melihat keberadaan irregular migrants berikut
permasalahan yang mengikutinya dalam konteks hubungan bilateral
Indonesia-Australia.
Pada
kenyataannya keberadaan mereka juga menjadi masalah bagi Indonesia sebagai
negara transit. Mengapa?
Terus meningkat
Jumlah irregular
migrants yang berpindah dari negara asal dengan menggunakan metode
penyelundupan manusia atau people
smuggling terus meningkat. Istilah penyelundupan manusia juga sering
disamakan dengan perdagangan orang atau human trafficking meskipun keduanya merupakan tindak kejahatan
yang berbeda.
Pada penyelundupan
manusia, pencari suaka secara sadar membayar seseorang atau sekelompok orang
untuk membawa mereka ke negara tujuan. Artinya, mereka mengetahui risiko yang
mungkin dihadapi dan menyadari tindakan itu melanggar hukum. Aspek kesadaran
ini membuat mereka tidak masuk kategori korban atau victim.
Sebaliknya,
pada kasus perdagangan orang, sebagian besar obyek tindakan dapat disebut
korban karena dieksploitasi, dipekerjakan secara paksa, atau dipekerjakan tidak
sesuai kontrak awal. Kasus perdagangan orang banyak dijumpai di kalangan
pekerja migran dan dapat terjadi baik antarnegara maupun antardaerah.
Laporan yang
dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bulan April 2013 menyebutkan bahwa
setiap tahun sekitar 6.000 irregular migrants berusaha masuk ke
Australia melalui jalur laut. Rata-rata mereka membayar 14.000 dollar Amerika
Serikat (AS) kepada sindikat penyelundup manusia (smugglers). Artinya, pendapatan yang diperoleh sindikat penyelundup
manusia dalam setahun sekitar 85 juta dollar AS.
Besarnya keuntungan
membuat penyelundupan manusia menjadi bisnis ilegal yang menggiurkan. Berbagai
upaya memperlancar bisnis ilegal dilakukan, umumnya dalam bentuk tindakan
pelanggaran hukum. Tindakan tersebut menimbulkan dampak negatif di bidang
keamanan, sosial, ekonomi, dan hukum yang cukup signifikan bagi Indonesia
sebagai negara transit.
Di bidang
keamanan, kedatangan irregular
migrants secara sporadis melalui laut menunjukkan bahwa kita belum
dapat mengawasi titik masuk atau entry
points secara optimal, khususnya titik-titik masuk tidak resmi. Begitu
juga dengan lalu lintas keluar kapal-kapal pengangkut pencari suaka di pantai
selatan Jawa dan gugus kepulauan Nusa Tenggara. Pada banyak kasus, pergerakan
mereka baru diketahui setelah terjadi kecelakaan.
Dampak negatif
di bidang sosial juga tidak kalah signifikan. Besarnya uang yang berputar
memungkinkan sindikat penyelundup manusia melakukan praktik suap kepada aparat
penegak hukum dan penyedia layanan publik untuk memuluskan aksi mereka.
Untuk menjamin
kerahasiaan, sindikat penyelundup manusia mempraktikkan outsourcing dengan merekrut
pemain-pemain lokal, khususnya sebagai penyedia dan operator kapal. Sindikat
penyelundup manusia sanggup membayar nelayan-nelayan Indonesia menjadi nakhoda
kapal untuk mengantar irregular
migrants ke Australia. Jika fenomena ini dibiarkan, akan semakin
banyak nelayan kita yang berhenti mencari ikan dan memilih bekerja untuk
sindikat penyelundup manusia karena upah lebih besar.
Kerawanan sosial
Keberadaan irregular
migrants di tengah-tengah masyarakat juga potensial menimbulkan kerawanan
sosial. Mereka pada umumnya tidak mau membaur karena hanya melihat Indonesia
sebagai transit. Kekuatan finansial mereka juga potensial menciptakan apa yang
oleh PBB disebut sebagai illegal
economy.
Di bidang
hukum, keberadaan irregular migrants juga berdampak terhadap
meningkatnya biaya di bidang penegakan hukum yang harus ditanggung pemerintah.
Tenggelamnya kapal di Cianjur, sebagai contoh, mengharuskan pemerintah
mengeluarkan biaya ekstra untuk penyelamatan korban. Pemerintah juga harus
menyediakan penampungan untuk irregular
migrants yang selamat karena bisa dituduh tidak menghormati HAM.
Praktik
penyelundupan manusia memiliki dimensi antarnegara sehingga kerja sama
internasional mutlak diperlukan. Kerja sama bilateral dengan Australia sebagai
negara tujuan telah terjalin dengan baik, begitu juga kerja sama regional
kawasan Asia-Pasifik melalui mekanisme Bali
Process. Indonesia juga menjadi negara pihak pada Konvensi PBB Menentang
Kejahatan Lintas Negara Terorganisir (UNTOC) berikut protokol yang mengatur
penyelundupan manusia.
Meskipun
demikian, kerja sama internasional tidak dapat sepenuhnya mengatasi persoalan.
Diperlukan kesamaan pemahaman serta kebijakan yang terpadu di tingkat domestik.
Pengambil kebijakan, penegak hukum, dan masyarakat harus memiliki pemahaman
yang sama mengenai dampak negatif penyelundupan manusia agar aksi penyuapan
dapat dicegah dan nelayan-nelayan kita tidak mudah tergoda upah tinggi.
Tanpa upaya
serius di tingkat domestik, Indonesia akan menjadi ”surga” bagi sindikat
penyelundup manusia dan irregular migrantsakan terus berdatangan. Kita
tentu tidak ingin tindakan ”memfasilitasi” irregular migrants menjadi
sesuatu yang dianggap lumrah dan wajar. Kita ingin semua pihak menyadari bahwa
penyelundupan manusia tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mencederai nilai
kemanusiaan.
Kita belum
terlambat dan masih cukup waktu untuk bertindak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar