|
Akhir-akhir ini banyak kalangan mengajukan pertanyaan
tentang daya tahan ekonomi kita dalam menghadapi gejolak pasar keuangan global.
Pertanyaan ini semakin mengemuka ketika India dan Thailand mengalami resesi
ekonomi.
Selain itu, dampak pengurangan atau penghentian stimulus moneter di Amerika Serikat telah membuat guncangan tidak hanya di Asia-Pasifik (misalnya India, Australia, Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand), melainkan juga di Amerika Latin. Brasil beberapa hari ini menggelontorkan USD60 miliar untuk menstabilkan nilai tukar mata uangnya dan pasar saham. Nilai intervensi dan operasi pasar Brasil dalam pasar keuangan direncanakan dapat mencapai USD100 miliar.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Beberapa pihak mulai mengkhawatirkan situasi yang kita hadapi saat ini berpotensi menciptakan situasi krisis seperti pada 1998. Beberapa kalangan juga mulai mempertanyakan daya tahan (resilient) ekonomi kita saat ini apakah sekuat ketika menghadapi krisis subprime-mortgage di Amerika Serikat pada 2008. Untuk menjawab hal ini kita perlu melihat kembali fundamental ekonomi Indonesia, termasuk karakteristik tiap gejolak eksternal.
Saya berpandangan fundamental ekonomi kita jauh lebih kuat apabila dibandingkan pada 1998 dan 2008. Meskipun begitu, kewaspadaan, kecepatan, dan ketepatan dalam respons kebijakan perlu terus kita tingkatkan. Ketika krisis ekonomi terjadi pada 1998, kita baru tersadar, fundamental ekonomi nasional belum kuat benar untuk menopang gejolak eksternal meski dalam beberapa waktu sebelum krisis, ekonomi kita mampu tumbuh secara mengesankan.
Misalnya, pada 1994 angka pertumbuhan ekonomi mencapai 7,54% dan bahkan pada 1995 mencapai 8,22%. Sementara itu, cadangan devisa kita tertinggi pada 1996 mencapai USD19,125 miliar. Namun, buruknya pengelolaan perbankan serta tidak terkendalinya penumpukan utang luar negeri swasta ditambah dengan posisi rupiah yang dianggap overvalued mengakibatkan kerentanan (vulnerabilitas) pada sistem keuangan kita pada saat itu.
Sejumlah faktor nonekonomi pada saat itu juga membuat krisis 1998 lebih dalam dan jauh lebih kompleks. Akibatnya terjadi krisis multidimensi dan tidak hanya terbatas pada krisis ekonomi saja. Faktor nonekonomi antara lain sentralitas kekuasaan, belum berjalannya sistem dan budaya demokrasi secara lebih substansial, kebebasan pers dan media yang sangat terbatas serta terbatasnya akses politik dan rendahnya partisipasi segenap elemen bangsa dalam pembangunan di berbagai bidang.
Akibatnya, krisis keuangan yang terjadi di sejumlah negara seperti Korea Selatan dan Thailand membuat guncangan hebat dalam sistem ekonomi, politik, tata kelembagaan dan sosial di Indonesia pada 1998. Setelah krisis 1998, kita masuk dalam era Reformasi. Indonesia relatif berhasil membangun kembali sistem ekonomi, tata kelembagaan politik dan negara serta penerapan prinsip-prinsip good governance.
Fundamental ekonomi diperbaiki bersama dan ketika krisis subprime mortgage 2008 terjadi, kita telah memiliki pengalaman untuk mengelola ancaman krisis eksternal. Titik krusial adalah ketika kita melunasi semua utang kita ke IMF dan CGI kita bubarkan pada 2006–2007. Independensi dan kemandirian dalam mengambil kebijakan ekonomi kita dapatkan kembali. Penanganan dampak krisis subprime mortgage 2008 merupakan pelajaran berharga.
Tekanan tidak hanya terjadi pada rupiah, cadangan devisa, tetapi juga bagaimana kita mengelola tekanan inflasi pada saat itu. Cadangan devisa kita sampai akhir 2008 mengalami tekanan dan tercatat sebesar USD51,6 miliar. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat pada 19 November 2008 ditutup pada posisi Rp12.190 per dolar AS. Di era Reformasi, posisi ini merupakan tertinggi dan lebih tinggi bila dibandingkan dengan penutupan 11 April 2001 sebesar Rp11.755 per dolar AS.
Kita bersyukur, dampak krisis subprime mortgage mampu kita lewati bersama dan ekonomi bisa tumbuh 6,1% pada 2008. Saat ini, posisi fundamental ekonomi dan nonekonomi kita jauh lebih kuat bila dibandingkan pada 1998 dan 2008. Dari sisi ekonomi, cadangan devisa kita tercatat sebesar USD92,67 miliar dan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya dalam kisaran 24%.
Adapun pertumbuhan ekonomi, meski diperkirakan menurun, tetap diproyeksikan di atas 5,9% pada 2013 dan investasi di sektor riil meningkat 30,3% pada semester I 2013 (YoY). Besaran dan keamanan utang swasta juga terus dimonitor Bank Indonesia. Kemampuan BUMN dan swasta nasional saat ini juga jauh lebih kuat bila dibandingkan dengan dua periodemasalalu. Sementara itu, sistem manajemen serta pengelolaan perbankan dan industri keuangan jauh lebih kuat bila dibandingkan pada 1998 dan 2008.
Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) semakin memperkuat industri keuangan nasional. Belajar dari krisis ekonomi 1998 dan 2008, koordinasi atas respons kebijakan melalui Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) semakin diintensifkan. Pemerintah baru saja mengeluarkan empat paket kebijakan untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi, stabilisasi pasar keuangan, perbaikan neraca perdagangan, serta peningkatan investasi dan daya beli masyarakat.
Beberapa waktu lalu, Bank Indonesia juga telah menyesuaikan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin. Selain operasi pasar, minggu lalu, BI juga telah mengeluarkan lima paket kebijakan untuk stabilisasi pasar uang dan moneter di Indonesia. Sementara itu, OJK telah mengeluarkan keputusan yang memungkinkan emiten melakukan pembelian kembali (buy-back) saham dalam kondisi tertentu dapat dilakukan tanpa melalui RUPS.
Terjaganya fundamental ekonomi saat ini ditambah dengan bauran kebijakan baik dalam fiskal-moneter-sektor riil akan meningkatkan daya tahan (resilient) ekonomi kita terhadap dampak gejolak eksternal. Selain itu, kita juga berpengalaman untuk mengelola stabilitas politik-keamanan seiring meningkatnya tensi politik jelang pemilihan umum. Krisis subprime mortgage terjadi dan berdampak ke Indonesia juga setahun menjelang Pemilu 2009.
Sementara gejolak sistem keuangan dunia yang terjadi saat ini juga setahun menjelang Pemilu 2014. Meskipun optimistis fundamental kita semakin baik dan memiliki pengalaman menghadapi sejumlah krisis ekonomi dunia, kita perlu terus meningkatkan kewaspadaan dan kemampuan antisipatif. Terlebih, guncangan yang kita rasakan ini terjadi hanya karena “rencana” dan belum benar-benar direalisasikannya pengurangan atau penghentian stimulus moneter (quantitative easing) tahap III di Amerika Serikat.
Apabila The Fed benar-benar merealisasi hal ini, kita perlu segera menghitung dan merumuskan kembali apakah obat penawar atau paket kebijakan yang kita miliki telah memadai. Seperti halnya orang sakit, apabila kondisi kesehatan menjadi lebih buruk, diperlukan tambahan dosis atau treatment berbeda untuk menyembuhkannya.
Dan kita percaya, sistem dan jaring pengaman dalam sistem moneter-fiskal sector riil nasional telah tersedia dan mampu mengantisipasi setiap gejolak yang muncul dari sumber eksternal. ●
Selain itu, dampak pengurangan atau penghentian stimulus moneter di Amerika Serikat telah membuat guncangan tidak hanya di Asia-Pasifik (misalnya India, Australia, Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand), melainkan juga di Amerika Latin. Brasil beberapa hari ini menggelontorkan USD60 miliar untuk menstabilkan nilai tukar mata uangnya dan pasar saham. Nilai intervensi dan operasi pasar Brasil dalam pasar keuangan direncanakan dapat mencapai USD100 miliar.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Beberapa pihak mulai mengkhawatirkan situasi yang kita hadapi saat ini berpotensi menciptakan situasi krisis seperti pada 1998. Beberapa kalangan juga mulai mempertanyakan daya tahan (resilient) ekonomi kita saat ini apakah sekuat ketika menghadapi krisis subprime-mortgage di Amerika Serikat pada 2008. Untuk menjawab hal ini kita perlu melihat kembali fundamental ekonomi Indonesia, termasuk karakteristik tiap gejolak eksternal.
Saya berpandangan fundamental ekonomi kita jauh lebih kuat apabila dibandingkan pada 1998 dan 2008. Meskipun begitu, kewaspadaan, kecepatan, dan ketepatan dalam respons kebijakan perlu terus kita tingkatkan. Ketika krisis ekonomi terjadi pada 1998, kita baru tersadar, fundamental ekonomi nasional belum kuat benar untuk menopang gejolak eksternal meski dalam beberapa waktu sebelum krisis, ekonomi kita mampu tumbuh secara mengesankan.
Misalnya, pada 1994 angka pertumbuhan ekonomi mencapai 7,54% dan bahkan pada 1995 mencapai 8,22%. Sementara itu, cadangan devisa kita tertinggi pada 1996 mencapai USD19,125 miliar. Namun, buruknya pengelolaan perbankan serta tidak terkendalinya penumpukan utang luar negeri swasta ditambah dengan posisi rupiah yang dianggap overvalued mengakibatkan kerentanan (vulnerabilitas) pada sistem keuangan kita pada saat itu.
Sejumlah faktor nonekonomi pada saat itu juga membuat krisis 1998 lebih dalam dan jauh lebih kompleks. Akibatnya terjadi krisis multidimensi dan tidak hanya terbatas pada krisis ekonomi saja. Faktor nonekonomi antara lain sentralitas kekuasaan, belum berjalannya sistem dan budaya demokrasi secara lebih substansial, kebebasan pers dan media yang sangat terbatas serta terbatasnya akses politik dan rendahnya partisipasi segenap elemen bangsa dalam pembangunan di berbagai bidang.
Akibatnya, krisis keuangan yang terjadi di sejumlah negara seperti Korea Selatan dan Thailand membuat guncangan hebat dalam sistem ekonomi, politik, tata kelembagaan dan sosial di Indonesia pada 1998. Setelah krisis 1998, kita masuk dalam era Reformasi. Indonesia relatif berhasil membangun kembali sistem ekonomi, tata kelembagaan politik dan negara serta penerapan prinsip-prinsip good governance.
Fundamental ekonomi diperbaiki bersama dan ketika krisis subprime mortgage 2008 terjadi, kita telah memiliki pengalaman untuk mengelola ancaman krisis eksternal. Titik krusial adalah ketika kita melunasi semua utang kita ke IMF dan CGI kita bubarkan pada 2006–2007. Independensi dan kemandirian dalam mengambil kebijakan ekonomi kita dapatkan kembali. Penanganan dampak krisis subprime mortgage 2008 merupakan pelajaran berharga.
Tekanan tidak hanya terjadi pada rupiah, cadangan devisa, tetapi juga bagaimana kita mengelola tekanan inflasi pada saat itu. Cadangan devisa kita sampai akhir 2008 mengalami tekanan dan tercatat sebesar USD51,6 miliar. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat pada 19 November 2008 ditutup pada posisi Rp12.190 per dolar AS. Di era Reformasi, posisi ini merupakan tertinggi dan lebih tinggi bila dibandingkan dengan penutupan 11 April 2001 sebesar Rp11.755 per dolar AS.
Kita bersyukur, dampak krisis subprime mortgage mampu kita lewati bersama dan ekonomi bisa tumbuh 6,1% pada 2008. Saat ini, posisi fundamental ekonomi dan nonekonomi kita jauh lebih kuat bila dibandingkan pada 1998 dan 2008. Dari sisi ekonomi, cadangan devisa kita tercatat sebesar USD92,67 miliar dan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya dalam kisaran 24%.
Adapun pertumbuhan ekonomi, meski diperkirakan menurun, tetap diproyeksikan di atas 5,9% pada 2013 dan investasi di sektor riil meningkat 30,3% pada semester I 2013 (YoY). Besaran dan keamanan utang swasta juga terus dimonitor Bank Indonesia. Kemampuan BUMN dan swasta nasional saat ini juga jauh lebih kuat bila dibandingkan dengan dua periodemasalalu. Sementara itu, sistem manajemen serta pengelolaan perbankan dan industri keuangan jauh lebih kuat bila dibandingkan pada 1998 dan 2008.
Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) semakin memperkuat industri keuangan nasional. Belajar dari krisis ekonomi 1998 dan 2008, koordinasi atas respons kebijakan melalui Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) semakin diintensifkan. Pemerintah baru saja mengeluarkan empat paket kebijakan untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi, stabilisasi pasar keuangan, perbaikan neraca perdagangan, serta peningkatan investasi dan daya beli masyarakat.
Beberapa waktu lalu, Bank Indonesia juga telah menyesuaikan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin. Selain operasi pasar, minggu lalu, BI juga telah mengeluarkan lima paket kebijakan untuk stabilisasi pasar uang dan moneter di Indonesia. Sementara itu, OJK telah mengeluarkan keputusan yang memungkinkan emiten melakukan pembelian kembali (buy-back) saham dalam kondisi tertentu dapat dilakukan tanpa melalui RUPS.
Terjaganya fundamental ekonomi saat ini ditambah dengan bauran kebijakan baik dalam fiskal-moneter-sektor riil akan meningkatkan daya tahan (resilient) ekonomi kita terhadap dampak gejolak eksternal. Selain itu, kita juga berpengalaman untuk mengelola stabilitas politik-keamanan seiring meningkatnya tensi politik jelang pemilihan umum. Krisis subprime mortgage terjadi dan berdampak ke Indonesia juga setahun menjelang Pemilu 2009.
Sementara gejolak sistem keuangan dunia yang terjadi saat ini juga setahun menjelang Pemilu 2014. Meskipun optimistis fundamental kita semakin baik dan memiliki pengalaman menghadapi sejumlah krisis ekonomi dunia, kita perlu terus meningkatkan kewaspadaan dan kemampuan antisipatif. Terlebih, guncangan yang kita rasakan ini terjadi hanya karena “rencana” dan belum benar-benar direalisasikannya pengurangan atau penghentian stimulus moneter (quantitative easing) tahap III di Amerika Serikat.
Apabila The Fed benar-benar merealisasi hal ini, kita perlu segera menghitung dan merumuskan kembali apakah obat penawar atau paket kebijakan yang kita miliki telah memadai. Seperti halnya orang sakit, apabila kondisi kesehatan menjadi lebih buruk, diperlukan tambahan dosis atau treatment berbeda untuk menyembuhkannya.
Dan kita percaya, sistem dan jaring pengaman dalam sistem moneter-fiskal sector riil nasional telah tersedia dan mampu mengantisipasi setiap gejolak yang muncul dari sumber eksternal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar