|
Penangkapan sejumlah pelajar yang
terlibat menjadi anggota geng motor di sejumlah kota besar, kembali memperburam
wajah pendidikan kita. Bagaimana tidak, di saat banyak pelajar di negara lain
saling berkompetisi mengukir prestasi, ulah para pelajar kita itu justru
beramai-ramai melanggengkan kehancuran moral.
Jaringan geng motor tertentu di
Riau, baru-baru ini, misalnya, seakan telah didoktrin untuk melakukan sejumlah
aksi kekerasan dan kriminalitas. Tak heran, jika meluasnya tren geng motor di
kalangan pelajar ini telah menjadi bagian mass culture, bahkan mengarah menjadi
popular culture. Hal ini terjadi lantaran semakin kuatnya pengaruh perubahan
permisif seiring dengan bertambahnya usia pelajar menuju kedewasaan.
Ironisnya, proses transisional
pelajar ini sering kali luput dari perhatian sekolah dan para orangtua.
Akibatnya, motivasi hidup mereka cenderung hanya untuk memuaskan hasrat
pribadi. Hasrat untuk meluapkan jati diri dan ingin diakui keberadaannya di
masyarakat yang disalurkan pada hal-hal yang menyimpang (perverse) dari tatanan sosial (social
order).
Inilah potret paradoksal
pendidikan. Demoralisai telah menjangkiti perilaku sebagian pelajar kita.
Nilai-nilai moral kemanusiaan (human
morality) dialpakan dalam pergaulan kehidupan mereka. Pendidikan gagal
membentuk pribadi anak bangsa yang memiliki akhlak, moral dan budi pekerti.
Cita-cita pendidikan sebagai medium strategis bagi pengembangan potensi dan
kepribadian pelajar semakin jauh dari kenyataan.
Ini menjadi bukti otentik bahwa
para pelajar tengah mengalami apa yang disebut cacat moral. Atas dasar kondisi
fisik, mental dan spiritual semacam itulah, cacat moral dapat dikatakan sebagai
cacat yang sebenarnya. Kecacatan tersebut secara kasat mata lahir dari aspek
batiniah, kemudian berimbas pada perilaku lahiriah. Implikasinya, harkat dan
martabat kemanusiaan lenyap tanpa menyisakan jejak makna sosok kaum terpelajar.
Sikap insan kecendekiawanan dengan semangat intelektualitas terkubur dalam
ingatan dan tak terejawantah menjadi perilaku di lingkungan sosialnya.
Menurut Erich Fromm (2000), cacat
moral yang mewujud dalam bentuk geng motor, kekerasan dan kriminalitas ini
lahir dari kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan pelajar berkembang secara
positif. Itu terjadi ketika individu mengalami hambatan untuk tumbuh secara
baik. Keterhambatan inilah yang membalikkan pertumbuhan individu ke arah
perilaku agresif. Lebih-lebih, masa remaja adalah masa transisi dari masa
kanak-kanak menuju ke masa dewasa.
Di masa ini, seseorang akan
berusaha menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial lingkungannya dan dengan
keinginan pribadinya. Di sinilah pelajar mengalami konflik identity versus role confusion. Pelajar merasakan ketidakpastian
mengenai identitas dirinya sendiri, sehingga cenderung mengidentifikasi dirinya
dengan kelompoknya.
Mereka akan mempersepsikan diri
dan orang-orang yang sama dengan diri mereka dalam suatu in-group dan mempersepsikan ketidaksamaannya dengan orang lain
sebagai out-group. Mereka akan mencari dan menonjolkan kelebihan kelompoknya
demi harga diri dan kelompok orang lain tidak dipandang sebagai 'manusia
seperti kita'.
Dari sinilah embrio kekerasan
kelompok geng motor di kalangan pelajar bermula, yakni dari kondisi-kondisi
epistemologi di mana proses pengenalan manusia terhadap sesamanya berlangsung
secara stigmatif. Dari sini pula lahir sistem-sistem nilai yang mendisosiasikan
mereka ke dalam 'kawan dan 'lawan'. Dengan demikian, kekerasan dilakukan bukan
terhadap yang sama, melainkan yang lain yang berbeda. Korban mengalami
depersonalisasi sampai pada status objek yang ditentukan oleh yang lain. Di
tengah-tengah itu, pendidikan yang seharusnya sebagai alat pembebasan, justru
menjadi ajang penindasan, dominasi dan intimidasi dengan berbagai bentuknya
yang dapat membonsai perkembangan pertumbuhan manusia.
Kini, saatnya membangun gerakan
kolektif dengan melibatkan unsur pemerintah (aparat), sekolah dan keluarga agar
lebih sensitif terhadap aksi kekerasan yang melibatkan pelajar. Keluarga harus
kembali berperan aktif dan nyata. Dari keluarga, anak pertama kali mendapat
pengaruh yang akan mendasari pertumbuhan sikap dan kemampuan interaksi sosial
di masyarakat.
Untuk itu, kondisi keluarga harus
ramah bagi penanaman nilai-nilai moral, agama, pengetahuan, keterampilan,
kebiasaan, dan pandangan hidup yang diperlukan anak. Di sini, orangtua harus
intensif memonitor perilaku anak dan bertindak sebagai teladan dan contoh yang
baik. Keteladanan harus dipelihara dengan menjaga komitmennya untuk selalu
berperilaku sesuai nilai-nilai moral dan mencegah berlakunya nilai-nilai amoral
dalam keluarga.
Sekolah harus serius membangun
lingkungan belajar yang aman, nyaman, ramah, sehat demi kesejahteraan pelajar.
Proses belajar bukan saja urusan kepala (otak), melainkan totalitas diri
individu (fisik, psikis, harga diri). Potensi intelektualitas, emosionalitas
dan spiritualitas pelajar harus berkembang secara optimal. Sekolah harus
transparan dan akuntabel dalam memberikan laporan ihwal perkembangan meraka.
Tak kalah penting, koordinasi harus berjalan secara integratif dengan
melibatkan pemerintah secara proaktif dalam mendeteksi adanya potensi yang
mengarah kepada aksi kekerasan.
Koordinasi harus dilakukan secara
simultan demi upaya membentuk kepribadian pelajar yang bermoral, sehingga mampu
menjalankan perbuatan utama. Pribadi yang bermoral adalah pribadi yang memiliki
kemampuan untuk mengelola hidupnya sesuai nilai-nilai moral kemanusiaan sebagai
dasar berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Karena, keberhasilan pembangunan
adalah seberapa jauh pendidikan bisa meningkatkan harkat kemanusiaan seutuhnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar