Sabtu, 31 Agustus 2013

Cacat Moral Kaum Pelajar

Cacat Moral Kaum Pelajar
Niken Ulfah Rahmaningrum ;   Guru di MTs N Model Sumberlawang,
Sragen, alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUARA KARYA, 30 Agustus 2013


Penangkapan sejumlah pelajar yang terlibat menjadi anggota geng motor di sejumlah kota besar, kembali memperburam wajah pendidikan kita. Bagaimana tidak, di saat banyak pelajar di negara lain saling berkompetisi mengukir prestasi, ulah para pelajar kita itu justru beramai-ramai melanggengkan kehancuran moral.

Jaringan geng motor tertentu di Riau, baru-baru ini, misalnya, seakan telah didoktrin untuk melakukan sejumlah aksi kekerasan dan kriminalitas. Tak heran, jika meluasnya tren geng motor di kalangan pelajar ini telah menjadi bagian mass culture, bahkan mengarah menjadi popular culture. Hal ini terjadi lantaran semakin kuatnya pengaruh perubahan permisif seiring dengan bertambahnya usia pelajar menuju kedewasaan.

Ironisnya, proses transisional pelajar ini sering kali luput dari perhatian sekolah dan para orangtua. Akibatnya, motivasi hidup mereka cenderung hanya untuk memuaskan hasrat pribadi. Hasrat untuk meluapkan jati diri dan ingin diakui keberadaannya di masyarakat yang disalurkan pada hal-hal yang menyimpang (perverse) dari tatanan sosial (social order).

Inilah potret paradoksal pendidikan. Demoralisai telah menjangkiti perilaku sebagian pelajar kita. Nilai-nilai moral kemanusiaan (human morality) dialpakan dalam pergaulan kehidupan mereka. Pendidikan gagal membentuk pribadi anak bangsa yang memiliki akhlak, moral dan budi pekerti. Cita-cita pendidikan sebagai medium strategis bagi pengembangan potensi dan kepribadian pelajar semakin jauh dari kenyataan.

Ini menjadi bukti otentik bahwa para pelajar tengah mengalami apa yang disebut cacat moral. Atas dasar kondisi fisik, mental dan spiritual semacam itulah, cacat moral dapat dikatakan sebagai cacat yang sebenarnya. Kecacatan tersebut secara kasat mata lahir dari aspek batiniah, kemudian berimbas pada perilaku lahiriah. Implikasinya, harkat dan martabat kemanusiaan lenyap tanpa menyisakan jejak makna sosok kaum terpelajar. Sikap insan kecendekiawanan dengan semangat intelektualitas terkubur dalam ingatan dan tak terejawantah menjadi perilaku di lingkungan sosialnya.

Menurut Erich Fromm (2000), cacat moral yang mewujud dalam bentuk geng motor, kekerasan dan kriminalitas ini lahir dari kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan pelajar berkembang secara positif. Itu terjadi ketika individu mengalami hambatan untuk tumbuh secara baik. Keterhambatan inilah yang membalikkan pertumbuhan individu ke arah perilaku agresif. Lebih-lebih, masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju ke masa dewasa.

Di masa ini, seseorang akan berusaha menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial lingkungannya dan dengan keinginan pribadinya. Di sinilah pelajar mengalami konflik identity versus role confusion. Pelajar merasakan ketidakpastian mengenai identitas dirinya sendiri, sehingga cenderung mengidentifikasi dirinya dengan kelompoknya.

Mereka akan mempersepsikan diri dan orang-orang yang sama dengan diri mereka dalam suatu in-group dan mempersepsikan ketidaksamaannya dengan orang lain sebagai out-group. Mereka akan mencari dan menonjolkan kelebihan kelompoknya demi harga diri dan kelompok orang lain tidak dipandang sebagai 'manusia seperti kita'.

Dari sinilah embrio kekerasan kelompok geng motor di kalangan pelajar bermula, yakni dari kondisi-kondisi epistemologi di mana proses pengenalan manusia terhadap sesamanya berlangsung secara stigmatif. Dari sini pula lahir sistem-sistem nilai yang mendisosiasikan mereka ke dalam 'kawan dan 'lawan'. Dengan demikian, kekerasan dilakukan bukan terhadap yang sama, melainkan yang lain yang berbeda. Korban mengalami depersonalisasi sampai pada status objek yang ditentukan oleh yang lain. Di tengah-tengah itu, pendidikan yang seharusnya sebagai alat pembebasan, justru menjadi ajang penindasan, dominasi dan intimidasi dengan berbagai bentuknya yang dapat membonsai perkembangan pertumbuhan manusia.

Kini, saatnya membangun gerakan kolektif dengan melibatkan unsur pemerintah (aparat), sekolah dan keluarga agar lebih sensitif terhadap aksi kekerasan yang melibatkan pelajar. Keluarga harus kembali berperan aktif dan nyata. Dari keluarga, anak pertama kali mendapat pengaruh yang akan mendasari pertumbuhan sikap dan kemampuan interaksi sosial di masyarakat.

Untuk itu, kondisi keluarga harus ramah bagi penanaman nilai-nilai moral, agama, pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, dan pandangan hidup yang diperlukan anak. Di sini, orangtua harus intensif memonitor perilaku anak dan bertindak sebagai teladan dan contoh yang baik. Keteladanan harus dipelihara dengan menjaga komitmennya untuk selalu berperilaku sesuai nilai-nilai moral dan mencegah berlakunya nilai-nilai amoral dalam keluarga.

Sekolah harus serius membangun lingkungan belajar yang aman, nyaman, ramah, sehat demi kesejahteraan pelajar. Proses belajar bukan saja urusan kepala (otak), melainkan totalitas diri individu (fisik, psikis, harga diri). Potensi intelektualitas, emosionalitas dan spiritualitas pelajar harus berkembang secara optimal. Sekolah harus transparan dan akuntabel dalam memberikan laporan ihwal perkembangan meraka. Tak kalah penting, koordinasi harus berjalan secara integratif dengan melibatkan pemerintah secara proaktif dalam mendeteksi adanya potensi yang mengarah kepada aksi kekerasan.


Koordinasi harus dilakukan secara simultan demi upaya membentuk kepribadian pelajar yang bermoral, sehingga mampu menjalankan perbuatan utama. Pribadi yang bermoral adalah pribadi yang memiliki kemampuan untuk mengelola hidupnya sesuai nilai-nilai moral kemanusiaan sebagai dasar berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Karena, keberhasilan pembangunan adalah seberapa jauh pendidikan bisa meningkatkan harkat kemanusiaan seutuhnya. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar