|
Anda penggemar tahu tempe? Siap-siap
menghadapi kelangkaan lauk-pauk itu. Kedelai, sang bahan baku tahu tempe kini
harganya sedang meroket dan membuat para produsen yang rata-rata Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah (UMKM) pusing. Tak sedikit UMKM berbasis kacang kedelai
terpaksa berhenti berproduksi karena terus melejitnya harga bahan baku kedelai.
Jika ini tidak dicarikan solusinya, maka sekitar 3,2 juta tenaga kerja industri
kedelai terancam menganggur.
Berbagai keluhan dan aksi protes
datang dari kalangan pengusaha tahu tempe yang notabene UMKM itu. Kini, mereka
sempoyongan digempur tingginya harga kedelai yang terus meningkat. Hitungan
para perajin di sejumlah daerah menunjukkan harga kedelai sudah menyentuh Rp
10.500 per kg dari harga sebelumnya di kisaran Rp 7.000 - Rp 7.500 per kg.
Tak pelak, usaha pengolahan tahu
tempe di ambang kebangkrutan karena tak mampu lagi menjangkau harga bahan baku.
Jika mereka benar-benar bangkrut, ratusan ribu tenaga kerja bakal terancam
menganggur. Banyak pihak menyesalkan tindakan pemerintah mencabut subsidi
kedelai sejak 1999. Akibatnya, para perajin tahu tempe ibarat menghadapi buah
simalakama. Mau terus berproduksi, harga bahan baku terus naik. Jika mundur,
nafkah keluarga jadi berantakan. Kini, para perajin tahu tempe di berbagai
daerah menunggu langkah nyata pemerintah menyelamatkan usaha perekonomian
rakyat tersebut, jika ingin mempertahankan tahu dan tempe sebagai lauk andalan
asupan gizi minimal yang terjangkau masyarakat luas!
Kita mengenal tempe adalah makanan
tradisional Indonesia dan sudah sejak lama menjadi sumber protein masyarakat,
terutama masyarakat golongan menengah ke bawah. Bahkan, kebiasaan masyarakat
Indonesia menyantap tempe, mendapat pujian dari WHO (Badan Kesehatan Dunia)
karena ternyata tempe selain kaya protein, di dalamnya juga terkandung banyak
senyawa gizi yang bermanfaat untuk kesehatan dan kebugaran, antara lain lesitin
penghambat PJK (penyakit jantung koroner) serta antioksidan, antibiotika,
antivirus dan zat pengatur tumbuh yang memiliki manfaat tinggi untuk kesehatan dan
kebugaran.
Berbagai upaya untuk meningkatkan
kedelai Indonesia setiap tahun terus diupayakan, mulai dari teknologi budidaya,
penggunan pupuk N (nitrogen), penggunan bibit unggul dan seterusnya. Secara
keseluruhan hasilnya belum memuaskan. Banyak varietas baru unggul, seperti
dempo, merbabu, raung, kerinci, wilis dan sebagainya dengan tinggi tanaman
antara 40-50 cm, masa panen 40-60 hari dan produksi sekira 1,5 ton per ha.
Namun, karena kebutuhan terus meningkat hasil kedelai dalam negeri tetap tidak
dapat mencukupi kebutuhan.
Menurut catatan, Indonesia pernah
mengalami masa puncak swasembada kedelai pada 1992. Sayangnya, dengan munculnya
pasar bebas, kebijakan tata niaga kedelai pun berubah. Misalnya, impor kedelai
dipermudah dengan biaya murah dan tarif bea masuk ringan. Ini mengubah situasi
hingga Indonesia berbalik menjadi negara pengimpor kedelai. Impor kedelai kian
menjadi-jadi akibat dirangsang oleh adanya bantuan kredit impor dari negara
eksportir.
Memang, sudah banyak program
dilakukan pemerintah untuk mengejar laju produksi kedelai demi peningkatan
kebutuhan masyarakat. Di antaranya Program Pengapuran, Supra Insus, Opsus
kedelai dan program yang paling terkenal ketika era pemerintahan Soeharto,
yakni Program Gema Palagung. (Gerakan Mandiri Padi Kedelai Jagung) Menuju
Swasembada 2001.
Tetapi, sampai saat ini Indonesia
belum mampu melakukan swasembada komoditas-komoditas tersebut, termasuk
kedelai. Yang terjadi justru terus merosotnya produksi kedelai. Setiap tahun,
produksi kedelai cenderung turun. Sedangkan konsumsi naik terus. Lantaran itu,
dalam 15 tahun terakhir, Indonesia menjadi pengimpor utama kedelai dengan
kecenderungan volume makin besar. Dari total kebutuhan kedelai yang 2 juta ton,
hampir 90% diserap industri tahu tempe.
Pengembangan budidaya kedelai
berteknologi di Indonesia bukanlah hal yang mustahil. Untuk pengembangan itu
diperlukan kebijakan antara lain kebijakan benih kedelai, harga berorientasi
pada petani, pengembangan paket teknologi termasuk teknologi peningkatan nilai
tambah kedelai, subsidi sarana produksi, penyimpangan dan pengendalian impor,
serta perdagangan dalam negeri yang kondusif.
Kegiatan pengembangan kedelai
merupakan suatu mata rantai kegiatan yang harus dilaksanakan secara terpadu,
terkoordinasi sinergis mulai dari hulu sampai hilir yang melibatkan banyak
instansi terkait. Petani baru bergairah untuk menanam kedelai, jika usaha
taninya menguntungkan, harga terjamin, sarana produksi terpenuhi dan lain-lain.
Kebijakan tata niaga impor kedelai, yang menyebabkan masuknya kedelai impor
dengan harga murah, menyebabkan petani kita sulit untuk bersaing.
Semangat petani untuk meningkatkan
produksi harus diakui sangat besar. Namun, keberpihakan pemerintah terhadap
petani juga harus ada. Apabila instrumen itu tidak ada target swasembada
kedelai rasanya masih jauh dari harapan atau masih sebatas impian.
Akhirnya pemerintah harus segera
mengambil langkah penyelamatan terhadap ratusan ribu perajin tahu tempe di
Tanah Air. Sektor UMKM ini harus diselamatkan demi masyarakat sebagai konsumen.
Mengapa? Karena, UMKM mampu memberikan kontribusi terhadap PDB sebesar 56
persen.
Persentase jumlah UMKM terhadap
jumlah badan usaha di Indonesia pun terbilang sangat besar, sekitar 99 persen.
Sektor ini bahkan memiliki potensi penyerapan tenaga kerja yang sangat besar.
Data yang dipublikasikan oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM menunjukkan
bahwa tenaga kerja yang bekerja pada sektor UMKM mencapai 96 persen (2000-2006)
terhadap total tenaga kerja yang tersebar di sembilan sektor ekonomi Indonesia.
Jadi, rasanya tidak ada alasan lagi untuk menunda langkah penyelamatan UMKM, di
mana usaha tempe-tahu ada di dalamnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar