Selasa, 27 Agustus 2013

Politik Anggaran tak Efektif

Politik Anggaran tak Efektif
Aunur Rofiq  ;    Ketua DPP PPP Bidang Ekonomi dan Kewirausahaan
KORAN JAKARTA, 26 Agustus 2013


Perekonomian selama ini sensitif terhadap pertumbuhan. Jika suku bunga naik, akan mendorong kontraksi ekonomi.
Tanggal 16 Agustus yang lalu, Presiden SBY telah menyampaikan Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2014. Tahun 2014 merupakan babak akhir dari pelaksanaan rencana pembangunan jangka menengah tahap kedua (2010-2014) dan tahun terakhir masa kerja Presiden SBY dan KIB II dalam mengelola anggaran negara.

Dalam RAPBN 2014, pemerintah telah mematok target makro pertumbuhan ekonomi 6,4 persen, nilai tukar rupiah 9.750 terhadap dollar AS, inflasi 4,5 persen, suku bunga SPN 3 bulan 5,5 persen, lifting minyak 870 ribu barel per hari dan lifting gas bumi 1,24 juta barel setara minyak perhari.

Sasaran makro ekonomi sangat optimistis jika memperhatikan kondisi perekonomian sekarang yang melemah. Pelemahan diperkirakan berlanjut hingga Juni 2014. Meski cukup optimistis, pada sisi lain, target tersebut juga jauh dari sasaran 2010-2014. Misalnya, target pertumbuhan sebesar 6,4 persen sangat tinggi, meski lebih rendah dari sasaran 2010-2014, yakni rata rata 7-7,7 persen.

Tahun ini Bank Indonesia (BI) sudah merevisi target pertumbuhan dari 5,9 persen-6,3 persen menjadi 5,8 persen -6,2 persen. Bank Dunia sudah lebih dulu mengoreksi dari 6,2 persen menjadi 5,9 persen. Sementara itu, target dalam APBN-P 2013 sebesar 6,3 persen. Pertumbuhan ekonomi tahun 2013 bakal tergelincir dari target 6,3 persen sehingga dikhawatirkan bisa berdampak berkesinambungan tahun depan karena tidak ada faktor pendorong eksternal dan internal yang menjadi stimulus.

Target inflasi 4,5 persen juga sangat optimistis. Inflasi diperkirakan akan terus berada di atas 8 persen hingga akhir tahun 2013 bahkan mungkin sampai Juni 2014. Ini menyebabkan suku bunga rendah sudah tidak relevan lagi yang ditandai BI menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) dan fasilitas diskonto. BI diperkirakan masih akan menaikkan suku bunga acuan lagi. Itu pun masih juga tidak akan mampu meredam inflasi dan penurunan nilai tukar. Itulah sebabnya RAPBN 2014 yang mematok suku bunga SPN 3 bulan sebesar 5,5 persen dan nilai tukar rupiah 9.750 terhadap dollar AS, masih berpotensi dikoreksi.

Kebijakan menaikkan suku bunga guna menjinakkan rupiah dan inflasi akan berdampak pada perkembangan sektor riil tahun depan. Era suku bunga murah sudah berakhir dan kenaikan bunga bukan hanya memukul sektor riil, tetapi juga bisa memangkas target pertumbuhan ekonomi tahun 2014. Perekonomian selama ini sensitif terhadap pertumbuhan. Jika suku bunga naik, akan mendorong kontraksi ekonomi.

Sisi Belanja

Bukan hanya asumsi makro yang dihadapkan pada tekanan sehingga berpotensi dikoreksi, belanja negara juga demikian karena masih didominasi nonproduktif seperti untuk pembiayaan birokrasi, pembayaran cicilan, dan bunga utang serta beban subsidi.

Di sisi lain, pendapatan negara dari perpajakan meningkat, tapi belum signifikan. Dalam RAPBN 2014 pendapatan negara direncanakan 1.662,5 triliun. Jumlah ini naik 10,7 persen dari target APBN-P 2013 sebesar 1.502 triliun. Sementara itu, anggaran belanja negara juga naik menjadi 1.816,7 triliun dari 1.726,2 triliun.

Penerimaan perpajakan direncanakan 1.310 triliun naik 14,1 persen dari target dalam APBN-P 2013 sebesar 1.148,4 triliun. Kenaikan perpajakan kali ini paling rendah selama tiga tahun terakhir, padahal ekonomi rata-rata tumbuh di atas 6 persen dan PDB juga terus naik. Dengan demikian, sistem perpajakan masih belum banyak maju karena rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB atau tax ratio hanya naik dari 12,2 persen di tahun 2013 menjadi 12,6 persen di tahun 2014.

Sementara itu, beban belanja negara yang tidak produktif justru hampir mencapai separuh belanja negara sehingga sulit mengharapkan RAPBN 2014 sebagai alat politik anggaran untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran, peningkatan hidup rakyat, serta memajukan kehidupan industri nasional.

Alokasi pengentasan kemiskinan masih sangat kecil. Dalam rangka memperkuat pelaksanaan empat klaster penanggulangan kemiskinan tahun 2014, seperti program keluarga harapan (PKH) "hanya" 5,2 triliun. Sementara itu, program nasional pemberdayaan masyarakat kota dan pedesaan masing masing 14,4 triliun.

Dalam pengentasan kemiskinan, program 2009-2013 telah menghabiskan 470 triliun rupiah dan tetap menyisakan masyarakat miskin dan rentan miskin yang relatif tinggi, dari 53 juta penduduk pada tahun 2009 menjadi 52 tahun 2013.

RAPBN 2014 tidak ada pendekatan baru dalam pengentasan kemiskinan. Visi keadilan tidak tergambar, terutama strategi penurunan rasio gini yang mencapai 0,41.

Sementara itu, dalam RAPBN 2014, pemerintah mengalokasikan 636,4 triliun untuk subsidi dan pembayaran bunga utang. Ini hampir sepertiga dari total anggaran. Anggaran belanja pegawai dalam RAPBN 2014 mencapai 276,7 triliun atau meningkat 18,8 persen dari tahun sebelumnya. Peningkatan ini jauh melampui kenaikan penerimaan negara yang hanya tambah 10,7 persen.

Tak Berpengaruh

Belanja nonproduktif seperti anggaran birokrasi, beban pembayaran utang pokok, bunga dan cicilan utang serta subsidi tidak berpengaruh signifikan dalam pergerakan ekonmi dibanding belanja modal, yang dalam RAPBN 2014 "hanya" 205 triliun. Ini membuat anggaran investasi tidak mendapat porsi tinggi.

Tahun depan, belanja pegawai mencapai 276 triliun yang sejak 2009 naik 107 persen. Tahun 2009-2013, belanja birokrasi (pegawai dan barang) naik 191 triliun, sedangkan belanja modal hanya bertambah 117 triliun. Pembayaran cicilan bunga dan pokok utang 2009-2013 mencapai 780 trilun, lebih besar dari total belanja modal 634 trilun rupiah.

Pembayaran bunga utang, selain membebani anggaran, pengelolaannya juga masih buruk. Hal ini kian menumpuknya utang pemerintah yang pada April 2013 sebesar 1.245,5 triliun dan swasta 1.253,4 triliun rupiah.

Sebagian besar, komposisi utang luar negeri berdenominasi mata uang asing sehingga sangat berfluktuatif dan harus dilakukan lindung nilai (hedging). Selain itu, pinjaman luar negeri hendaknya tidak berbentuk valas, tetapi dalam rupiah. Setiap pelemahan nilai tukar rupiah 100 poin, utang Indonesia akan membengkak 25,7 triliun menjadi 2.524,7 triliun rupiah.

Penyerapan utang luar negeri juga rendah. Setiap tahun hanya sekitar 71,2 persen. Utang pun untuk hal yang sia-sia seperti membayar subsidi dan biaya birokrasi. Ini menunjukkan pengelolaan utang tidak efektif dan efisien.

Di tengah fluktuatifnya nilai tukar rupiah saat ini, pemerintah harus bisa menjaga stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan sehingga tidak menimbulkan keraguan terhadap prospek ekonomi di mata investor dan pengusaha. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar