|
Cukup mengejutkan, awal Agustus 2013
muncul pengumuman bahwa koran legendaris di AS, Washington Post, dibeli Jeff
Bezos, bos Amazon.com, dengan nilai cukup fantastis, 250 juta dollar AS atau
lebih kurang Rp 2,5 triliun.
Situs BBC
menyebutkan, pembelian dilakukan atas kapasitas Bezos pribadi. Sebelum
pembelian ini, keluarga Graham, salah satu keluarga terpandang di AS, telah
memiliki koran ini selama sekitar 80 tahun. Menurut duo sejarawan pers AS,
Michael Emery dan Edwin Emery (The Press and America: An Interpretive History
of the Mass Media, 1988), Washington Post dibeli Eugene Meyer dari
keluarga McLean pada tahun 1933. Meyer membeli The Post karena ingin
di ibu kota AS ada koran yang memberikan suara berbeda dan lebih bernuansa
intelektual. Pada 1946, Meyer menunjuk menantunya, Philip L Graham, memimpin The
Post. Keluarga Graham memegang tampuk kepemimpinan koran ini selama 10 windu.
Katharine
Graham, istri Philip, mengambil alih tampuk kepemimpinan The Post tahun
1963 menyusul tindakan tragis bunuh diri Philip. Katharine berhasil menunjukkan
kualitas kepemimpinannya saat The Post berhadapan dengan dua kasus
besar awal 1970-an: kasus Pentagon Papers dan kasus Watergate, yang mendorong
mundurnya Richard Nixon. Nixon mundur dari kursi kepresidenan akibat liputan
investigasi dua wartawan The Post: Bob Woodward dan Carl Bernstein, yang
menggambarkan kecurangan penyadapan terhadap kantor Partai Demokrat menjelang
pemilu. Liputan ini meraih Pulitzer pada 1975.
Peralihan
kepemilikan Washington Post kepada Bezos ini menambah daftar panjang
penjualan sejumlah media cetak di Amerika kepada pemilik baru. Sidney
Harman—pengusaha peralatan audio—yang membeli majalah Newsweek tahun
2010; Chris Hughes pendiri Facebook membeli majalah New Republic tahun
2012; dan John Henry, seorang investor hedge fund dan pemilik Boston
Red Sox,
membeli koran Boston Globe Juli 2013 (sumber: BBC News Magazine). Apakah pemilik baru ini akan mengubah total isi media cetak sebelumnya? Kita harus melihat perkembangannya.
membeli koran Boston Globe Juli 2013 (sumber: BBC News Magazine). Apakah pemilik baru ini akan mengubah total isi media cetak sebelumnya? Kita harus melihat perkembangannya.
Tanda-tanda kemunduran
Sebenarnya
perpindahan kepemilikan The Post sudah bisa diperkirakan sejak
sejumlah koran besar di Amerika tutup ataupun beralih kepemilikan setelah krisis
ekonomi di AS yang membuat jumlah pengiklan surat kabar menurun drastis. Di
lain pihak, kian berkembangnya media online juga turut memperparah
kondisi Washington Post.
Dave Kindred,
dalam buku Morning Miracle: Inside
the Washington Post: A Great Newspaper Fights for Its Life (2010), telah
menunjukkan tanda-tanda koran legendaris ini menuju kematiannya. Buku ini
memaparkan kejayaan masa lalu koran di wilayah timur AS ini sembari menggerutu
mengapa koran sebesar ini harus takluk dengan roda sejarah yang seolah tak
memihak mereka. Wartawan veteran The
Post, Gene Weingarten, yang menjadi narasumber Kindred menyebutkan, ”Buku yang kamu tulis ini adalah kisah
tentang sebuah surat kabar besar yang menuju kematiannya, tetapi ia mati secara
terhormat.”
Donald Graham,
mewakili pemilik lama The Post,
awal Agustus 2013, mengatakan, mereka akhirnya rela melepaskan kepemilikan The
Post sembari berharap pemilik baru akan melakukan perbaikan demi kemajuan
koran itu. Graham memuji Bezos yang dianggap genius dalam bisnis media masa
kini dan keahliannya sudah terbukti.
Banyak reaksi
terhadap pembelian Bezos atas Washington Post. Tara Mc Kelvey dari BBC
News Magazine mengatakan, Bezos tengah berjudi dengan nilai 250 juta dollar AS
dan berjudi terhadap media yang dianggap kuno (old media), sementara yang sedang naik daun adalah media-media online yang
dianggap sebagai media baru (new media).
Sebelumnya The Post, yang juga memiliki Newsweek, telah melepas
kepemilikannya tiga tahun lalu kepada Sidney Harman. Menurut Alliance for Audited Media, lembaga
audit sirkulasi koran di AS, koran Washington Post adalah koran
ketujuh terpopuler di AS dengan total sirkulasi 474.767 kopi per hari.
Pihak yang
cukup optimistis dengan pengambilalihan ini juga tak sedikit. Banyak yang
memuji langkah penjualan The Post kepada Bezos. Jim Brady, mantan
Redaktur Pelaksana thewashingtonpost.com,
tak menduga The Post akan dijual kepada Bezos. Sementara ia sendiri
merasa eksperimen yang ia lakukan pada media online-nya tak sia-sia, ”Namun, mungkin dengan Bezos, ia akan
mempercepat proses transisi dari media cetak ke media digital.” Jeff
Jarvis, penulis buku Google, juga memuji tindakan Bezos yang hendak
menyelamatkan salah satu institusi besar di AS. Namun, ia menyelipkan
pandangannya bahwa mungkin saja Bezos tengah melakukan tindakan filantropi
dengan langkah ini. Jarvis berharap masuknya Bezos akan mulus membawa The
Post memasuki era pascamedia cetak.
Refleksi untuk Indonesia
Bisnis media di
Indonesia saat ini belum sedramatis kondisi di AS. Pertumbuhan surat kabar di
Indonesia memang melambat, tetapi pertumbuhan media lain (seperti televisi)
masih berkembang meski belum sampai memaksa media tertentu gulung tikar. Memang
transisi menuju media digital disadari para pengasuhnya di sana-sini, tetapi
apakah betul sudah ditemukan model bisnis yang memadai untuk media online?
Beberapa telah menemukan, tetapi banyak media lain yang masih kalang kabut
menemukan formulanya.
Bukan tak
mungkin kondisi di AS akan juga terjadi di Indonesia, entah berapa lama lagi.
Tak bisa tidak, yang harus dilakukan adalah upaya menangkap esensi dari
transisi menuju media digital ini. Media bentuk lama, seperti cetak, tetap ada,
tetapi platform digital juga telah
tersedia. Ini bukan semata soal memindahkan isi ke dalam format baru, tetapi
juga terkait dengan cara bertutur atau cara menampilkan informasi yang harus
juga menyesuaikan dengan kondisi baru.
Interaktivitas
dengan pembaca, kedalaman informasi, tampilan visual yang menggugah, relevansi
dengan kepentingan publik, dan independensi media adalah sebagian dari rumus
yang perlu dirancang dan diterjemahkan secara spesifik buat media saat ini dan
masa mendatang. Situasi ini tak perlu diratapi, tetapi harus dijawab dengan
kerja keras untuk membuat media tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat masa
kini dan masa mendatang sembari mengambil hikmah dari perkembangan yang telah
lewat. Masa lalu, masa kini, dan masa mendatang memang terus saling berkaitan,
termasuk bagi industri media dewasa ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar