|
Ledakan bom berdaya ledak rendah yang terjadi di Wihara
Ekayana, Jakarta Barat, beberapa waktu lalu, membuat publik kembali bertanya:
apakah ini potret kinerja telik sandi negara yang lemah sehingga terkesan
kebobolan lagi?
Kenapa
pergerakan jaringan ini sepertinya tidak terendus? Sebenarnya upaya pencegahan
seperti apa yang seharusnya dilakukan negara untuk menghadapi aksi terorisme?
Kinerja intelijen negara selalu jadi pihak yang tertuduh ”kecolongan” setiap
aksi terorisme terjadi. Fenomena ini muncul karena kurangnya imajinasi,
koordinasi, dan kepercayaan antaragensi.
Bom Boston
(15/4/2013) adalah salah satu contoh nyata. Intelijen Rusia sudah memberi tahu
sosok pelaku kepada intelijen Amerika Serikat, CIA. Namun, CIA tidak memberikan
informasi yang komprehensif kepada pihak kepolisian (FBI) selaku agensi yang
bertanggung jawab terhadap keamanan lokal.
Ibarat bermain puzzle, ”gambar besar” tidak terlihat
karena setiap agensi enggan berbagi ”gambar kecil”. Di dunia intelijen, ”gambar
besar” itu sering kali tidak terdeteksi sama sekali karena kurangnya imajinasi.
Misalnya, pihak intelijen Norwegia, negara yang mempunyai indeks kebahagiaan
tertinggi di dunia, tidak pernah berimajinasi akan menghadapi ledakan bom di
Oslo (22/7/2011) yang dilakukan dengan pola lone wolf (serigala kesepian) atau sang pelaku bertindak atas
inisiatif individu.
Fakta di
lapangan menunjukkan, jaringan terorisme cenderung bergerak secara acak. Mereka
terus bermutasi dan berevolusi karena tekanan aparat, lemahnya kepemimpinan,
atau kekecewaan anggota jaringan atas sikap organisasi.
Di Indonesia,
jaringan yang selalu muncul dalam kurun 12 tahun ini adalah sempalan dari
organisasi-organisasi jihad besar yang telah ada, yaitu Darul Islam, Jemaah
Islamiyah, atau Jamaah Anshorut Tauhid. Namun, tidak satu pun aksi terorisme
itu direncanakan dan disepakati organisasi. Sempalan ini secara sadar
melepaskan diri dari organisasi-organisasi tersebut karena wacana program amaliyah (serangan
teror) yang mereka sodorkan ditolak organisasi. Ironisnya, tidak ada anggota
organisasi ini yang melaporkan kepada aparat jika mengetahui ada yang akan
melakukan aksi.
Minimnya
dukungan dari organisasi dan sumber daya yang ada menyebabkan serangan mereka
cenderung terkesan amatiran, tergesa-gesa, dan sporadis. Meskipun demikian,
terbaca motifnya, terutama pada ledakan di wihara tersebut, yaitu pembalasan
terhadap perlakuan kekerasan kaum ekstremis Buddha di Myanmar terhadap umat
Islam.
Dipicu peristiwa global
Memahami
konteks kenapa sebuah serangan teror itu muncul menjadi sangat penting. Sering
kali peristiwa global-lah yang memengaruhi strategi gerakan sebagai dampak
langsung dari proses globalisasi.
Meminjam
paparan ilmuwan Inggris, Anthony Giddens, dalam globalisasi terjadi ”intensifikasi
relasi sosial sedunia yang menghubungkan lokalitas yang berjauhan sedemikian
rupa sehingga sejumlah peristiwa sosial dibentuk oleh peristiwa yang terjadi
pada jarak yang bermil-mil”. Paparan Giddens tersebut dapat menjelaskan kenapa
konflik di Afganistan pada tahun 1980-an telah melahirkan gelombang pengiriman
tidak kurang dari 350 WNI terlibat dalam pelatihan militer di sana. Fatwa Osama
bin Laden tahun 1998 telah memicu bom Bali pertama pada 2002.
Tak berlebihan
jika serangan di Wihara Ekayana dapat membangkitkan kembali jaringan yang telah
lama tidur untuk kembali bangun dan menyerang simbol-simbol asing yang dianggap
memojokkan kepentingan mereka di luar negeri. Sangat mungkin pula konflik yang
terjadi di Suriah hari ini, yang melibatkan kelompok Islam bermazhab Sunni dan
Syiah, akan merembes dan memicu konflik di antara kedua mazhab ini di
Indonesia. Demikian pula gejolak politik di Mesir dan Yaman diduga telah
menghidupkan kembali jejaring Al Qaeda dengan memberikan bantuan logistik dan
dana kepada para pendukungnya di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Kompleksitas
permasalahan yang menyelimuti tindakan terorisme ini, negara perlu memiliki
strategi nasional yang mempunyai semangat pemberdayaan, inovatif, dan terbuka
terhadap sejumlah elemen yang ingin berkontribusi secara aktif dalam penanganan
terhadap isu ini. Terlalu menitikberatkan pendekatan keamanan, seperti kerja
intelijen dan kepolisian, saja bukanlah pilihan strategi yang tepat.
Mereka memang
memerankan fungsi sangat penting, yaitu menetralkan ancaman dan penegakan hukum
yang terbuka dan adil atas pelaku tindak pidana terorisme. Namun, jika dalam
proses ini negara masih ”belepotan” dalam meladeni tudingan para aktivis
kemanusiaan karena dugaan pelanggaran HAM terhadap tersangka pelaku terorisme,
jangan bermimpi ancaman terorisme di Indonesia akan segera berhenti. Hampir
tiap ada pemakaman tersangka teroris, hadir ratusan, bahkan ribuan pelayat,
dari beragam gerakan yang dahulu berseberangan dalam strategi. Prosesi ini juga
jadi ajang charge battery semangat
resistansi kepada negara.
Oleh karena
itu, salah satu upaya pencegahan yang perlu dilakukan negara bagi yang sudah
terlibat dan sekarang mendekam di penjara adalah menyiapkan program kuratif
bagi mereka. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah dengan tidak
menyamaratakan mereka dengan memahami tingkat keterlibatan dan tingkat
keterlepasan dalam jaringan. Dengan begitu, ketika bebas, mereka akan didorong
untuk dapat berasimilasi ke masyarakat tanpa stigma.
Sementara ini,
Ditjen Pemasyarakatan-lah yang melakukan fungsi ini. Ke depan, Kementerian
Sosial seharusnya juga terlibat aktif dalam proses rehabilitasi. Demikian juga
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah dengan menggandeng pihak swasta
kiranya menyiapkan program kewirausahaan sosial bagi bekas napi terorisme yang
ingin memulai lembaran baru dalam hidup mereka.
Kewirausahaan
sosial ini akan mendorong terciptanya jejaring sosial baru (social tent) sehingga mereka tidak akan
kembali ke jejaring lama mereka (group
tent) dan akan menakar ulang (cost
and benefit) untuk kembali ke dalam pusaran aksi kekerasan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar