|
Ustaz, kiai,
tuan guru, ajengan, dan romo adalah gelar kultural yang biasa dinisbatkan
masyarakat (umat) kepada orang yang memiliki kecakapan di bidang keagamaan.
Gelar itu tak
berdiri sendiri. Interaksi simbolisnya berkelindan bukan hanya dengan pemahaman
keagamaan (kognitif) yang disalurkan dalam wujud keelokan bertablig, melainkan
juga keteladanan hidupnya. Keikhlasan, pilihan hidup asketik, kejujuran,
satunya kata dengan perbuatan, kesederhanaan yang kemudian membuat sang kiai
itu dihormati. Dari wajahnya tebersit karisma. Umat kemudian menyebutnya
”karamah” dan keberkahan. Jangankan fatwa, bahkan gestur tubuhnya dipandang
mencerminkan jejak-jejak wibawa kenabian. Warasatul
anbiya.
Kiai tidak
”mengetuk” pintu kekuasaan, tetapi justru kekuasaan yang mendatanginya. Di mana
pun kuasa selalu membutuhkan jaringan legitimasi moral, dan kiai yang sejarah
pengalaman kesehariannya bergumul dengan napas masyarakat dipandang dapat
merepresentasikan keinginan massa, penyambung lidah rakyat. Di titik ini, kiai
memerankan diri sebagai tenda moral dan jangkar kekuatan masyarakat madani.
Zaman kolonial
Tipikal kiai
seperti itulah yang dahulu sangat ditakuti kaum kolonial. Mereka tahu bahwa di
balik kibaran sarungnya tersimpan kekuatan mengonsolidasi rakyat untuk
membangkitkan perlawanan terhadap ihwal yang dianggap mungkar dan kafir. Sekali
”jihad” diserukan, dengan serta-merta masyarakat termobilisasi dan serentak
mengikuti sabda kiai. Dalam alam pikiran insan negeri kepulauan, kalau titah
raja yang menggema dari keraton dianggap sebanding dengan perintah Tuhan, hal
yang sama berlaku juga untuk kiai. Tausiah-nya
yang didengungkan dari bilik pesantren dipandang sebangun dengan firman Tuhan.
Sartono
Kartodirdjo menuturkan bahwa peristiwa penentangan sosial-politik terhadap
penguasa kolonial, menurut laporan Pemerintah Belanda sendiri, dipelopori para
kiai. Jika diperlukan, para kiai menjalin hubungan dengan kalangan elite lokal
(Steenbrink, 1984). Kartodirdjo
mendokumentasikan dengan cukup baik fakta sosial perlawanan kiai ini
dalam Protest Movement in Rural Java dan The Peasants’ Revolt of Banten in 1888. Sir
Thomas Raffles dalam The History of
Java menggambarkan, dalam setiap pergolakan sosial, hampir semua kiai
di Nusantara menjadi aktor paling militan dalam menentang kaum kolonial, hampir
tidak ada kiai yang melakukan politik kompromistis dengan penjajah.
Pada masa
pergerakan mempertahankan kemerdekaan ”resolusi jihad” telah cukup
menggambarkan tentang kekuatan karisma politik kiai. Resolusi jihad yang
kemudian menjadi pemantik lahirnya peristiwa 10 November 1945. Bung Tomo
menjalin hubungan sinergis dengan KH Hasyim Asy’ari dan politisi muda anaknya,
KH Wahid Hasyim. KH Zainul Arifin (Laskar Hisbullah), KH Wahab Hasbullah
(Barisan Mujahidin), KH Masykur (Laskar Sabilillah), batalion PETA yang hampir
setengahnya dipimpin kiai Nahdlatul Ulama berada di barisan terdepan dalam
pertempuran hari pahlawan itu.
Kiai hari ini
Itu dulu.
Ketika dakwah keagamaan dilakukan dengan ikhlas. Tatkala budaya populer belum
menyerbu semua segmen kehidupan. Hari ini riwayatnya lain lagi. Hikayatnya
sudah sangat jauh berbeda.
Tersebutlah
pada awal abad ke-21 fragmen kegaduhan mempersoalkan tarif kiai, lebih tepat
lagi ustaz. Kita sesungguhnya tidak perlu ikut mencaci maki sang ustaz yang
dengan telanjang memasang tarif atas kecakapannya dalam menyampaikan senarai
firman Tuhan yang dianggap sakral dan konon haram ”diperjualbelikan” oleh
sebagian kalangan.
Bukankah
fenomena praktik ”memperjualbelikan” ayat-ayat Tuhan bukan hanya dilakukan
ustaz, melainkan juga oleh para politisi, baik yang beraliran nasionalis,
sekularis, sosialis, maupun agamis? Bahkan, bisa jadi aktivis ”partai yang
berbasis agama” yang paling hobi mempraktikkannya. Kabar terakhir, yang
terbelit kasus impor sapi yang menimpa sebuah partai dakwah, semua tersangka
dan para saksinya dipanggil ”ustaz”. Semua media menulisnya dengan panggilan
”ustaz” walaupun nyata-nyata berlumuran ”kemungkaran sosial” (korupsi), malah
disebut-sebut tidak hanya menyebar dinar, tetapi juga ”mengoleksi” sekian
perempuan ghair muhrim. Sesuatu
yang tidak terbayangkan menimpa kiai tempo dulu.
Betul apa yang
pernah dibilang Michel Foucault bahwa agama memiliki energi metafisik untuk
melakukan dominasi simbolis dengan efek dahsyat yang terkadang tidak diinsafi
pemeluknya sendiri. Di balik kelihaian para pendakwahnya (dan kaum agamawan),
tersembunyi naluri manusia: menyalurkan hasrat serta mengejar benda dan
kekuasaan.
Kenapa tarif
tidak perlu dipersoalkan? Sebab sesungguhnya sejak awal sang ustaz mungkin di
bawah layar bawah sadarnya tidak memosisikan dirinya sebagai ”ustaz”, tetapi
lebih sebagai bagian dari kerumunan selebritas atau minimal motivator yang
mengambil agama sebagai bahan motivasinya. Halnya dunia selebritas, yang harus
dikedepankan adalah ”tubuh” dengan segala aksesori pencitraannya. Yang
diperlukan bukan kedalaman materi agama, apalagi penghayatan kudus
religiositas, melainkan kepandaian beretorika. Bukan pencerahan, melainkan
kesanggupannya membuat humor-humor yang bikin terpingkal-pingkal khalayak.
Mimbar infotainmen
Laikya
selebritas, panggung utamanya bukan di masjid, madrasah, dan pesantren,
melainkan di televisi. Media untuk melipatgandakan ”pengaruhnya” apalagi kalau
bukan mimbar infotainmen. Bukan kitab kuning yang dilogati lewat bandungan dan
sorogan. Sudah menjadi pasal besi bahwa bagi infotainmen yang menarik untuk
dikabarkan adalah percakapan soal artifisial, semisal jenis kendaraan, merek
sepatu, rumah tinggal, hobi, dan lebih menarik lagi cerita ”percintaannya”
walaupun itu sah, misalnya, menurut agama seperti poligami. Maka, akhirnya
ustaz harus menyesuaikan dengan selera pasar. Bukan sebaliknya. Dipilihlah
Lamborghini, motor gede, wisata ke luar negeri, dan salon. Jika gaya hidup
seperti itu tidak bisa ditutupi dengan penghasilan dari dakwah, dirangkaplah
peran sebagai bintang iklan. Agen iklan tentu jatuh cinta kepada sosok yang
dianggap memiliki massa.
Dengan tarif
ustaz tidak ada yang salah. Tidak ada yang dilanggar. Sebab sejak sedari awal
relasinya bukan ustaz dengan jemaahnya, melainkan ustaz dengan penggemarnya.
Seorang idol dengan fansnya. Di
wilayah ini, etika otomatis dianggap fosil, sebagai bagian silam norma
skolastik. Sementara yang menahbiskannya sebagai ustaz bukan umat, melainkan
televisi! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar