|
Sosok
pemimpin selalu menjadi sorotan publik yang dipimpinnya. Hal itu tentu hal yang
wajar. Aneka bentuk sorotan akan membuat seorang pemimpin mampu menyadari
dirinya. Kesadaran diri menjadi satu elemen penting bagi seorang pemimpin untuk
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Kesadaran
diri membentuk keterarahan diri akan kehendak, keberanian, dan kejujuran untuk
meneliti dirinya sendiri. Tetapi sikap itu sering kali tidak muncul dari sosok
pemimpin kita dewasa ini. Justru yang sering kali muncul adalah adanya sikap
pembelaan diri atas kesalahan dan kelemahan, serta menutupinya dengan sikap
pencitraan diri agar tampak santun dan berwibawa.
Oleh
karena itu, aneka sorotan yang dilontarkan atas pemimpin tak jarang menjadi
suara-suara yang berlalu begitu saja tanpa ada tanggapan positif dan perubahan
konkret yang dapat dilihat serta dirasakan publik.
Yang
terjadi adalah pemimpin tidak lagi mendengarkan publik yang dipimpinnya,
melainkan mendengarkan dan memuaskan dirinya sendiri. Inilah karakter pemimpin
yang kerap dijumpai dewasa ini. Tetapi, di tengah situasi yang demikian pelik
dan runyam, masih terdapat orang yang mau memberi diri dan hati untuk memimpin
semisal Jokowi-Ahok.
Apresiasi
masyarakat luas maupun masyarakat Jakarta terhadap Jokowi-Ahok sebagai gubernur
DKI Jakarta akhir-akhir ini menunjukkan terpenuhinya kehausan publik akan model
pemimpin yang mau mendengarkan dan memuaskan dahaga rakyatnya.
Pemimpin
yang mau mendengarkan dan memuaskan dahaga rakyat menajdi suatu model
pendekatan yang sangat dinginkan oleh masyarakat pada umumnya. Inilah model
pendekatan ditawarkan dan dijalankan oleh Jokowi-Ahok sebagai karakter
kepemimpinannya.
Ternyata,
model pendekatan ini cukup ampuh untuk memuaskan dahaga publik Jakarta. Roda
pemerintahan memang belum selesai hingga masa bakti, namun ukuran keberhasilan
sudah mulai menampakkan wajahnya. Indikasi akan harapan untuk mau dan mampu
mendengarkan serta memuaskan publik itulah yang membuat rakyat Jakarta begitu
mengagumi Jokowi-Ahok sebagai sosok pemimpin idaman mereka.
Sesungguhnya,
keberhasilan Jokowi-Ahok tidak semata-mata mau menunjukkan kehebatan pendekatan
politik yang ditawarkan pasangan ini, tetapi juga menjadi bukti akan kehausan
publik terhadap model pemimpin yang diharapkan untuk zaman sekarang, yakni
pemimpin yang mau mendengarkan dan memuaskan dahaga publiknya.
Model
pemimpin demikian sesungguhnya tidak hanya dimimpikan masyarakat Jakarta,
melainkan juga rakyat Indonesia pada umumnya. Banyak situasi dan kondisi rakyat
Indonesia saat ini yang menuntut munculnya pemimpin yang mampu untuk
mendengarkan dan memuaskan dahaga rakyat Indonesia saat ini.
Mendengarkan
dan memuaskan dahaga rakyat bukan semata-mata merujuk pada perkara psikologis.
Kemampuan untuk mendengarkan dan memuaskan dahaga rakyat memaksudkan kemampuan
holistik seorang pemimpin untuk merealisasikan kapasitas dirinya sebagai
pemimpin, yakni pemimpin yang tampil sebagai seorang hamba yang mau melayani.
Menjadi
seorang pemimpin berarti juga menjadi hamba atas publik yang dipimpinnya. Pada
saat yang sama, seorang pemimpin hendaknya menjadi pelayan yang mau melayani
dan bukan untuk dilayani, seorang pemimpin yang mau mengangkat harkat dan
martabat rakyatnya dan bukan mengangkat harkat dan martabatnya sendiri!
Tiga
Kemampuan
Mengutip
terminologi yang digunakan Dr Anthony D’souza, seorang pemimpin ideal yang
dimimpikan Indonesia saat ini adalah pemimpin yang memiliki kemampuan untuk
meng-ennoble, enable, dan empower rakyatnya.
Tiga
kemampuan tersebut tidak dimaksudkan untuk dimiliki oleh seorang pemimpin bagi
dirinya sendiri demi prestise dan gengsi di mata dunia, melainkan diperuntukkan
untuk kepentingan rakyat. Apa artinya prestise dan gengsi bagi seorang pemimpin
yang hanya mampu untuk meng-ennoble, enable, empower dirinya sendiri, sedangkan
rakyatnya merintih dan meraung-raung karena dihiraukan, dilemahkan, dan
diperdaya?
Suatu
kenyataan yang ironis di mana seorang pemimpin mampu meraih prestasi dan
penghargaan di atas kertas sebagai pejuang lingkungan hidup dan ekonomi di mata
dunia, sedangkan kenyataan lingkungan hidup di berbagai provinsi di Indonesia
semakin hancur akibat perambahan hutan dan eksploitasi alam sebagai wujud
investasi yang dikomersialkan demi kepentingan para pemilik modal dan kelompok
yang terlibat di dalamnya.
Pada
saat yang sama, tingkat ekonomi rakyat Indonesia pun belum mencapai titik
kesejahteraan yang diharapkan. Quo vadis
Indonesia?
Perkara
menjadi pemimpin adalah soal memperjuangkan tata hidup bersama. Selama
kekuasaan semasa kepemimpinan diarahkan hanya untuk kepentingan diri dan
kelompok tertentu, selama itu pula sang pemimpin telah menodai nilai-nilai
luhur kepemimpinan itu sendiri.
Munculnya
pemimpin dalam peradaban manusia ditujukan pertama-tama adalah untuk
menciptakan kebaikan dan kesejahteraan bersama. Dengan kata lain, menciptakan
kebaikan dan kesejahteraan bersama berarti juga mau dan mampu mendengarkan dan
memuaskan dahaga rakyatnya.
Maka
perlu suatu perubahan pemahaman yang radikal akan makna kepemimpinan bagi siapa
saja yang memiliki hasrat untuk menjadi pemimpin pada pilgub maupun pilpres
2014, baik sebagai wakil independen maupun wakil partai. Menjadi pemimpin
berarti harus memiliki kesadaran dan kemampuan diri yang holistik dan rela
menjadi hamba serta gembala bagi rakyatnya! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar