|
Media massa di Tanah Air dan trending topic media sosial
akhir-akhir ini membicarakan kasus ustaz selebritas. Salah satu ustaz yang
menjadi objek pembicaraan adalah Soleh Mahmud (Ustaz Solmed).
Fenomena ustaz sebebritas mencuat ke permukaan setelah terjadi perseteruan antara Ustaz Solmed dan Ustazah Khalifah (pimpinan Majelis Taklim Shalawatullah Dakwah Tariqul Jannah di Hong Kong) soal pembatalan sepihak ceramah, honor terlalu tinggi, sampai tuduhan komunis di balik TKI Hong Kong.
Pembicaraan semakin ramai karena kasus itu beredar di ranah publik, sehingga orang yang tidak mengetahui duduk persoalannya ikut-ikutan terbawa arus memojokkan salah satu pihak. Ustaz Solmed, dengan segala kekurangannya, menjadi `kambing hitam' atas semua masalah tersebut.
Realitas media Status ustaz seharusnya diberikan oleh masyarakat atau komunitas karena memang dia seorang pengajar, pemberi nasihat, guru (biasanya di bidang agama Islam). Sementara itu, status Ustaz Solmed lebih banyak diberikan (diframing/dibingkai) oleh televisi yang kemudian diikuti masyarakat umum.
Kenyataan itu mengungkapkan, apa pun julukan yang diberikan oleh televisi maka itu semua realitas televisi, bukan realitas sebenarnya. Bagaimana dengan julukan Ustaz Solmed? Karena julukan ustaz lebih banyak diberikan televisi, maka Ustaz Solmed adalah ustaz televisi atau boleh disebut dengan ustaz selebritas.
Media tidak salah karena hanya memberikan label saja. Ustaz Solmed juga tidak salah karena ia hanya melakoni dan menikmati julukan itu. Masyarakat yang telanjur menjuluki Solmed dengan ustaz juga tidak bisa disalahkan karena mengikuti label yang diberikan media.
Masalahnya, media memberikan label ustaz kepada seseorang juga punya kepentingan tertentu. Sebut saja, kepentingan pasar atau ekonomi. Sementara, Soleh Mahmud mau saja disebut ustaz karena bisa mengeruk keuntungan dari julukan itu. Buktinya ia laris manis sampai mempunyai seorang manajer segala, layaknya selebritas.
Bagaimana melihat realitas media dalam persoalan ini? Menurut Dennis Mc- Quail (2000), media berfungsi sebagai window of reality (jendela realitas). Artinya, apa yang ditampilkan media belum senyatanya. Oleh karena itu, apa yang ditampilkan televisi itu hanya sepenggal cerita yang tidak bisa menggambarkan secara utuh. Artinya, masyarakat tidak boleh gampang percaya begitu saja bahwa julukan ustaz bagi orang-orang yang dibesarkan melalui televisi itu mereka memang benar-benar seorang ustaz. Itu semua adalah realitas televisi, bukan realitas sebenarnya.
Televisi mengedepankan hiburan, sementara hiburan berkaitan
dengan fungsi-fungsi ekonomis. Maka, memaknai televisi sebagai media bukan
hiburan jelas tidak seluruhnya benar. Karena fungsi hiburan ada pada ranking
tinggi maka fungsi-fungsi yang bisa mendatangkan keuntungan ekonomislah yang
cenderung disajikan.
Tumpang tindih status
Tumpang tindih status
Setiap orang dengan hanya menguasai sejumlah ayat dan
mengucapkan dengan agak fasih apalagi ganteng akan gampang menjadi ustaz
televisi. Jika ustaz itu dibesarkan oleh televisi maka ia tak banyak beda
dengan artis. Bagaimana dengan Ustaz Solmed? Ustaz ini lebih banyak dibesarkan
juga oleh televisi. Masalahnya ada pada persepsi masyarakat. Karena ia seorang
ustaz, masyarakat akan menganggap apa yang dilakukannya itulah ajaran atau
minimal sesuai ajaran agama. Apa yang ditampilkannya dalam dialog di sinetron
akan diklaim sebagai pendapat seorang ustaz, padahal ia seorang pemain
sinetron.
Sebagai seorang artis, Ustaz Solmed tentu semakin terkenal. Sama dengan artis, semakin terkenal ustaz selebritis, bayarannya semakin `mahal'. Dalam posisi ini, majelis di Hong Kong yang mengundang Ustaz Solmed untuk ceramah dan membatalkan secara sepihak dengan nilai ceramah mahal harus memahami Soleh Mahmud juga seorang selebritas bukan semata-mata ustaz. Ini penting dipahami agar tidak salah paham.
Kalau sebuah majelis mengundang Ustaz Solmed kapasitasnya sebagai seorang pendakwah dengan honorarium tinggi mereka tentu akan kecewa. Daripada begitu, undang dia sebagai selebritas yang sekaligus bisa berceramah agama. Mengundang selebritas honorariumnya tentu mahal.
Konflik Solmed-Khalifah membuat sang ustaz jengkel. Kejengkelannya ini diungkapkan melalui twitter yang menuduh ada komunisme yang berdiri di belakang para TKI Hong Kong. Cara Soleh Mahmud ngetweet kejengkelan itu bukan semata-mata perilaku seorang ustaz dalam mengomunikasikan sesuatu ke masyarakat, tetapi seorang selebritas.
Sama seperti ketika artis Luna Maya pernah curhat kata-kata
kotor, "Infotainment derajatnya lebih
HINA daripada PELACUR, PEMBUNUH!!!! may ur soul burn in hell!" pada tahun
2009. Ustaz Solmed sebagai selebritas juga boleh berkomentar apa saja di media
sosial. Jika ia memosisikan diri seorang ustaz kemudian menulis time line yang mengundang sentimen dan
kejengkelan lain di twitter itu tidak pada tempatnya.
Memang susah membedakan dua status yang ada pada diri
seseorang. Sering kali manusia bermain di dua sisi, mana yang lebih
menguntungkan sambil mencari pembenar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar