|
Indonesia terlalu
besar dan beragam untuk hanya dikendalikan oleh satu pemerintahan pusat.
Keanekaragaman yang luar biasa ditambah kondisi alamiah sebagai negara
kepulauan merupakan realitas obyektif keindonesiaan.
Realitas
tersebut telah memengaruhi para pendiri negara untuk memberlakukan
desentralisasi sesaat setelah merdeka, ditandai dengan kelahiran UU No 1 Tahun
1945. Demikian pula para elite kekuasaan pada era Reformasi yang memandang
sejumlah realitas itu sebagai alasan utama mengapa Indonesia perlu otonomi daerah.
Namun, di lain pihak, Indonesia juga terlalu semrawut kalau diurus oleh begitu
banyak orang dengan latar visi dan kepentingan yang sangat variatif. Bagaimana
tidak, sejak 1999 sampai 2009, jumlah daerah otonom berkembang dari 26
provinsi, 223 kabupaten, dan 58 kota menjadi 33 provinsi, 386 kabupaten, dan 91
kota. Jadi, dalam 10 tahun ini terjadi pemekaran 10 provinsi, 163 kabupaten,
dan 33 kota. Itu berarti ada 523 kepala daerah yang memiliki visi dan
kepentingan yang berbeda-beda. Perbedaan demikian dipaksakan untuk mengurus
rumah Indonesia.
Pengendalian
pusat yang lemah serta aneka latar visi dan kepentingan lokal tersebut membuat
bangunan Indonesia itu miring ke kiri, ke kanan, atau belum menemukan bentuknya
yang stabil. Kondisi ini hanya melanggengkan sejumlah penyakit sosial-ekonomi
(kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan) yang berlawanan dengan mandat
konstitusi, yakni tercapainya masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Dengan
potret itu, tak berlebihan jika dikatakan konsepsi dan implementasi otonomi di
Indonesia belum berhasil dan masih terus mencari bentuknya yang ideal. Hal ini
sejalan dengan hasil studi Mawhood di negara-negara sedang berkembang pada
kawasan Afrika tropis (1987) tentang hambatan mendasar bagi implementasi
kebijakan desentralisasi (bdk: Syarif Hidayat, 2005).
Pertama, struktur
internal dan manajemen pengelolaan pemerintah daerah. Hal ini tecermin dari
praktik-praktik mismanajemen atau bahkan nirmanajemen pemerintahan serta
tumpang tindih kewenangan antartingkat pemerintahan, antara pemerintah pusat
dan daerah, antara provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini perlu dibenahi secara
serius yang pembenahannya bisa saja secara fundamental menyangkut sistem
otonomi dalam NKRI sebagaimana digariskan oleh konstitusi.
Kedua, terbatasnya
kemampuan keuangan yang dimiliki pemda. Kenyataan memperlihatkan bahwa sebagian
besar pemda kurang memiliki kemampuan dalam membiayai implementasi program-
program yang telah ditetapkannya. Jika mau jujur, hampir semua daerah di
Indonesia tak ada yang bisa ”hidup” hanya dari pendapatan asli daerah, selain
DKI Jakarta. Tidak heran, pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah sangat
bergantung pada alokasi anggaran pusat.
Ketiga,
rendahnya keterampilan yang dimiliki para personel penyelenggara pemerintah
daerah. Banyak fakta yang menunjukkan hubungan darah (nepotisme) dan uang
(korupsi) merupakan daya tarik orang untuk berada dalam ruang-ruang birokrasi.
Sementara kompetensi dan profesionalisme bukanlah aspek penting yang patut
dapat perhatian. Akibat dari gejala ini, daerah miskin inovasi dan kreativitas
dalam pembangunan. Alih-alih memikirkan pembangunan, elite daerah cenderung
cari untung dari proyek-proyek pembangunan. Alih-alih melayani masyarakat,
elite daerah justru minta dilayani bak raja-raja kecil daerah. Rendahnya
kompetensi dan profesionalisme pejabat dan aparatus daerah adalah potret suram
birokrasi, khususnya di negara berkembang.
Mencari
solusi
Berkaca pada
permasalahan dan hambatan mendasar di atas, perlu bagi kita mendesain ulang
otonomi dan praktik pemerintahan yang selama ini berjalan agar lebih terarah
dan produktif. Pemikiran berikut dapat jadi bahan diskusi sebagai bagian dari
ikhtiar mencari solusi implementasi otonomi di Indonesia.
Pertama,
menyangkut efektivitas otonomi. Desain otonomi Indonesia berdasarkan tafsir
atas Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 yang menyematkan status otonomi pada provinsi
dan kabupaten/kota serta kedudukan provinsi daerah administratif pemerintah
berdampak pada ambiguitas manajemen pemerintahan secara nasional. Hal ini paling
tidak mencuat dalam pembahasan RUU Pilkada, di mana pemerintah mengusulkan
gubernur dipilih DPRD, dengan pertimbangan titik tekan (lokus) otonomi dan
pelayanan publik bukan pada tingkat provinsi, tetapi kabupaten/kota sehingga
yang dipilih langsung oleh rakyat cukup bupati/wali kota.
Dengan kata
lain, kebutuhan kita saat ini adalah menentukan lokus otonomi pada satu level,
apakah hanya provinsi atau hanya kabupaten/kota. Dengan penetapan satu lokus
otonomi, baru kita bisa bicara tentang status (otonom atau administratif),
kedudukan (kepala daerah), dan sistem perekrutan kepala daerah.
Dalam
perspektif ini, ada dua alternatif yang bisa didiskusikan. Pertama, menetapkan
satu tingkat otonomi di tingkat provinsi, sementara kabupaten/kota adalah
daerah administratif provinsi sebagaimana berlaku di wilayah DKI saat ini.
Kedua, kalau kita membaca konstitusi saat ini, sejatinya secara implisit
otonomi yang kuat (lokus otonomi) adalah otonomi provinsi. Pasal 18 UUD NRI
Tahun 1945 menyatakan, NKRI dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi itu
dibagi atas kabupaten dan kota, di mana masing- masing daerah mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi. Rumusan ketentuan
UUD ini justru memungkinkan penafsiran ”otonomi berjenjang”, artinya otonomi
dari negara diletakkan pada provinsi dan dalam provinsi ada ”otonomi
kabupaten/kota”. Jadi, di mana lokus otonomi? Berdasarkan tafsir ini ada pada
provinsi.
Perlu dipahami,
meletakkan lokus otonomi (negara) pada tingkat provinsi tidaklah berarti harus
memperkuat SKPD pada tingkat provinsi. Bisa saja otonomi pada provinsi
(penjabaran kebijakan pusat, pengarahan, dan pengawasan), tetapi
operasionalisasi otonomi pada dasarnya ada pada kabupaten/kota. Sebagai daerah
otonom, provinsi mengacu pada kebijakan nasional dan mendapatkan pengawasan
atau supervisi dari pemerintah pusat.
Kedua, terkait
mekanisme pemilihan kepala daerah. Dengan lokus otonomi di level provinsi,
konsekuensinya gubernur dipilih langsung oleh rakyat sehingga memiliki dampak
legitimasi kuat, sementara bupati/wali kota dipilih DPRD. Keuntungan langsung
dari pemilihan bupati/wali kota oleh DPRD akan terjadi efisiensi besar-besar
atas dana penyelenggaraan pilkada dan mendorong efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Ketiga, terkait
pembentukan daerah otonom baru. Meski disadari kemampuan keuangan daerah
terbatas, rupanya hal ini tak menyurutkan semangat pemekaran di sejumlah
daerah. Dus, sebagian besar semangat dan inisiatif pemekaran tak didasarkan
pada kebutuhan riil untuk tujuan kesejahteraan dan mendekatkan jangkauan
pelayanan publik. Sebaliknya pemekaran didasarkan pada motif meraih oportunitas
ekonomi dan kekuasaan bagi sebagian kecil elite. Alhasil, pemekaran
menghasilkan pemborosan yang menggerogoti kemampuan keuangan pusat ataupun
daerah, sementara hasilnya jauh dari harapan. Oleh karena itu, sangat perlu
desain yang memberikan kejelasan ide pemekaran ini karena hal ini memiliki
konsekuensi anggaran yang tidak kecil. Dalam hal ini, pemekaran dapat dilakukan
atas kepentingan negara dan atas aspirasi daerah di mana tanggung jawab
anggaran mengikuti secara konsekuensional.
Dengan desain
otonomi berjenjang, lokus otonomi ada pada provinsi, pemekaran daerah yang
relevan ada pada tingkat provinsi. Sementara untuk pemekaran kabupaten/kota
secara selektif ditentukan oleh provinsi sesuai kebutuhan dan kemampuan
keuangan daerah. Provinsi tak hanya mengusulkan, tetapi juga harus bertanggung
jawab atas pembiayaannya karena dana transfer daerah terbatas. Persetujuan
seluruh kabupaten/kota mutlak diperoleh karena pemekaran akan mengurangi porsi
dana transfer bagi tiap-tiap kabupaten/kota di provinsi. Bisa saja persetujuan
pemekaran ditempuh dengan referendum provinsi sehingga menutup celah pemaksaan
kehendak kelompok-kelompok tertentu yang ”memanipulasi aspirasi” seperti
acapkali terjadi selama ini.
Keempat,
evaluasi atas implementasi otonomi menegaskan betapa penting kualitas pemimpin
dan kepemimpinan daerah. Pada dimensi kultural, perlu ditumbuhkan kesadaran
kolektif, terutama di kalangan parpol dan independen, jangan main-main dengan
kualitas kepemimpinan daerah karena sejatinya ia kawah candradimuka
kepemimpinan nasional dan muara dari kemajuan dan kesejahteraan daerah. Pada
dimensi regulasi, UU harus mengatur tegas persyaratan calon kepala daerah harus
memenuhi kualifikasi maksimal karena mereka sejatinya primus inter
pares, orang terpilih di antara masyarakatnya sehingga parpol dituntut
memajukan calon yang bukan saja punya potensi menang (semata-mata atas dasar
popularitas dan kekuatan finansial), melainkan juga mengedepankan rekam jejak,
kualitas, dan kapabilitas sebagai pemimpin.
Atas dasar itu,
DPD mengusulkan, dalam forum pembahasan RUU Pilkada yang sedang berjalan di
DPR, diberlakukan peningkatan syarat calon kepala daerah, mulai dari syarat
pendidikan, kemampuan manajemen pemerintahan daerah, dan pengalaman dalam
pekerjaan terkait pelayanan publik. Petahana juga bersih dari kasus korupsi
yang dilakukan bawahan (secara struktural) sebagai bentuk tanggung jawab
manajerial. RUU harus menjamin pemilihan bupati/wali kota oleh DPRD dengan
kualitas lebih baik. Kekhawatiran akan praktik politik uang dapat
diantisipasi dengan penguatan program pemberantasan korupsi sejak dini dalam
prosesnya.
Bagi DPD,
partisipasi politik atas dasar afiliasi seseorang terhadap tokoh
atau incumbent (politik dinasti) tak bisa dibatasi karena bisa
melanggar hak asasi seseorang, apalagi jika yang bersangkutan memiliki
kompetensi dan profesionalisme. Yang bisa dibatasi adalah kondisinya, bukan
hubungan atau afiliasi seseorang terhadap orang lain. Artinya, jika seorang
bakal calon kepala daerah punya hubungan darah dengan petahana, maka karena
kondisinya tersebut, UU bisa membatasi siapa yang dapat melanjutkan proses
pencalonan. Kita menyadari, implementasi otda belum sesuai harapan terwujudnya
kesejahteraan nasional. Muara pembahasan di atas adalah bagaimana
mengefektifkan implementasi otda dengan menetapkan satu lokus otonomi di
tingkat provinsi, mengikuti lokus otonomi maka pilkada dilaksanakan hanya untuk
memilih gubernur, pemekaran kabupaten/kota jadi tanggung jawab provinsi.
Selanjutnya memantapkan kualitas kepemimpinan daerah sehingga mampu mewujudkan
esensi otda, yaitu kesejahteraan masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar