|
Meski Pemilu
Presiden (Pilpres) 2014 terbilang masih satu tahun lagi namun kampanye dari
calon presiden (Capres) sudah marak. Kalau kita melihat iklan di televisi,
terutama pada saat bulan puasa, para Capres tak henti-hentinya
mensosialisasikan diri. Lihat saja bagaimana Prabowo Subianto, Wiranto, dan
Aburizal Bakrie, tampil dalam media itu selain mengucapkan selamat berpuasa dan
Idul Fitri juga menjual program kerjanya. Karena iklan di televisi terbilang
mahal maka program yang ditunjukkan adalah visualisasi kedekatan dengan rakyat
kecil dan kesuksesan pembangunan pertanian.
Di rasa iklan di televisi kurang, maka untuk menjabarkan program-programnya para Capres memasang iklan di media cetak mengenai uraian secara gamblang apa yang bisa dilakukan bila dirinya terpilih.
Karena iklan atau promosi maka mereka pasti terikat dengan teori dan strategi iklan yang mengharuskan produk yang ada dibuat sedemikian bagus dan menarik sehingga mampu membuat orang untuk memilih atau menggunakan produk itu sehingga tak ada iklan yang jelek.
Saking semangatnya beriklan terkadang iklan itu terlalu mengada-ada dan sepertinya susah untuk dinalar. Contohnya, ada sebuah iklan pewangi tubuh pria yang menawarkan pengguna produknya untuk menjadi astronot. Tentu tidak semua pengguna produk pewangi tubuh itu bisa langsung ke luar angkasa setelah membeli namun mereka harus diseleksi secara ketat. Menjadi astronot bukan perkara mudah. Seseorang harus menjalani rangkaian test yang demikian panjang dan njlimet. Dan itu pun harus disesuaikan dengan program institusi yang sudah biasa mengirim astronot ke luar angkasa, misalnya NASA. Orang Indonesia yakni Pratiwi Soedharmono saja gagal pergi mengangkasa meski sudah menjalani berbagai rangkaian test yang panjang dan njlimet apalagi hanya seorang pengguna pewangi tubuh. Jadi sepertinya iklan itu mengada-ada. Boombastis!
Disebut terlalu mengada-ada mungkin tidak menjadi masalah bagi pengiklan, yang penting bagi mereka produknya laris manis. Dalam beriklan, tim sukses Capres pun menggunakan teori seperti itu sehingga semua yang divisualkan atau diuraikan yang menonjolkan kebaikan, kesuksesan, dan janji untuk hidup yang lebih baik.
Terlalu boombatisnya iklan Capres rupanya menimbulkan pertanyaan akan realitisnya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa galau ada sebuah iklan kampanye dari seorang Capres. Diungkapkan dalam sebuah acara, pria asal Pacitan, Jawa Timur, itu mencontohkan ada seorang Capres yang dalam berpidato berapi-api bahwa pertumbuhan akan dua digit, nilai tukar 7.000 atau 8. 000 rupiah, pendidikan dan kesehatan gratis, tidak akan ada impor lagi karena semua kebutuhan dicukupi, korupsi tidak ada, infastruktur dibangun serentak, dan tanah dibagi sesuai landreform. Susilo Bambang Yudhoyono mengharap agar kita berpikir jernih dan tidak memberi angin surga. Ini ditekankan sebab Capres harus tahu betul kondisi bangsa Indonesia dan dunia.
Capres yang mengkampanyekan mampu berbuat seperti itu bisa jadi sangat bersemangat untuk menjadi Presiden sehingga dirinya optimis mampu berbuat yang lebih baik. Capres yang mengkampanyekan demikian bisa jadi merasa mempunyai pengalaman dalam bidang ekonomi, pertanian, dan lain sebagainya sehingga dirinya memberi harapan baru kepada rakyat Indonesia.
Iklan boombatis sebenarnya bukan kali ini seperti yang disinggung oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam setiap Pilkada, para calon kepala daerah selalu mengiklankan diri mampu berbuat baik untuk daerahnya. Iklan yang biasa ditawarkan adalah pendidikan dan sekolah gratis. Karena hal yang demikian biasa maka calon kepala daerah biasanya mengiklan sesuatu yang menjadi masalah besar di daerah itu. Contohnya di Jakarta problemnya adalah kemacetan dan banjir. Untuk menarik pemilih maka calon kepala daerah berjanji akan mampu mengatasi kemacetan dan banjir. Dalam Pilkada Jakarta tahun lalu bahkan ada seorang calon kepala daerah berani berjanji akan mampu membenahi masalah Jakarta dalam waktu 3 tahun. Boombastis!
Menanggapi iklan-iklan yang demikian, ada masyarakat yang cuek ada pula masyarakat yang kritis. Masyarakat tingkat bawah dan ini merupakan mayoritas pemilih dalam pemilu, biasanya cuek akan iklan-iklan itu. Mereka hanya melihat sosoknya itu tampilannya bagus dan mempunyai kharisma.
Namun ada pula masyarakat yang melihat seseorang dari pengalaman kerjanya yang terbukti. Dalam Pilkada Jakarta yang lalu sepertinya Jokowi tidak beriklan secara boombatis namun karena kinerjanya saat menjadi Walikota Solo bagus maka rakyat Jakarta memilihnya. Dukungan masyarakat kepada Jokowi semakin menguat ketika Fauzi Wibowo dalam memimpin Jakarta terbilang tidak sukses di mana problem kemacetan dan banjir tak terentaskan sehingga masyarakat ingin adanya perubahan dengan tampilnya gubernur baru.
Kita di sini jangan terjebak atau saling serang pada kampanye Capres yang boombastis. Penting di sini adalah dilakukan pendidikan politik yang cerdas. Bila masyarakat cerdas tentu masyarakat akan mampu mengkalkulasi janji-janji dari para Capres. Misalnya ada janji pendidikan dan kesehatan gratis maka janji itu bisa dicek dengan APBN untuk bidang itu selama ini. Demikian pula bila landreform dijanjikan itu bisa diukur dengan luas tanah di Indonesia. Demikian pula bila janji mampu mencukupi kebutuhan diri sendiri atau tidak impor hal demikian bisa dibandingkan dengan kemampuan kita berproduksi dan jumlah konsumsi.
Dengan membandingkan angka-angka di lapangan dan janji yang dikampanyekan maka kita bisa mengukur janji itu hanya sekadar janji atau janji yang bisa direalisasikan. Bila janji itu hanya sekadar janji maka jangan pilih Capres itu namun bila janji itu bisa direalisasikan maka kita harus dukung dia. ●
Di rasa iklan di televisi kurang, maka untuk menjabarkan program-programnya para Capres memasang iklan di media cetak mengenai uraian secara gamblang apa yang bisa dilakukan bila dirinya terpilih.
Karena iklan atau promosi maka mereka pasti terikat dengan teori dan strategi iklan yang mengharuskan produk yang ada dibuat sedemikian bagus dan menarik sehingga mampu membuat orang untuk memilih atau menggunakan produk itu sehingga tak ada iklan yang jelek.
Saking semangatnya beriklan terkadang iklan itu terlalu mengada-ada dan sepertinya susah untuk dinalar. Contohnya, ada sebuah iklan pewangi tubuh pria yang menawarkan pengguna produknya untuk menjadi astronot. Tentu tidak semua pengguna produk pewangi tubuh itu bisa langsung ke luar angkasa setelah membeli namun mereka harus diseleksi secara ketat. Menjadi astronot bukan perkara mudah. Seseorang harus menjalani rangkaian test yang demikian panjang dan njlimet. Dan itu pun harus disesuaikan dengan program institusi yang sudah biasa mengirim astronot ke luar angkasa, misalnya NASA. Orang Indonesia yakni Pratiwi Soedharmono saja gagal pergi mengangkasa meski sudah menjalani berbagai rangkaian test yang panjang dan njlimet apalagi hanya seorang pengguna pewangi tubuh. Jadi sepertinya iklan itu mengada-ada. Boombastis!
Disebut terlalu mengada-ada mungkin tidak menjadi masalah bagi pengiklan, yang penting bagi mereka produknya laris manis. Dalam beriklan, tim sukses Capres pun menggunakan teori seperti itu sehingga semua yang divisualkan atau diuraikan yang menonjolkan kebaikan, kesuksesan, dan janji untuk hidup yang lebih baik.
Terlalu boombatisnya iklan Capres rupanya menimbulkan pertanyaan akan realitisnya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa galau ada sebuah iklan kampanye dari seorang Capres. Diungkapkan dalam sebuah acara, pria asal Pacitan, Jawa Timur, itu mencontohkan ada seorang Capres yang dalam berpidato berapi-api bahwa pertumbuhan akan dua digit, nilai tukar 7.000 atau 8. 000 rupiah, pendidikan dan kesehatan gratis, tidak akan ada impor lagi karena semua kebutuhan dicukupi, korupsi tidak ada, infastruktur dibangun serentak, dan tanah dibagi sesuai landreform. Susilo Bambang Yudhoyono mengharap agar kita berpikir jernih dan tidak memberi angin surga. Ini ditekankan sebab Capres harus tahu betul kondisi bangsa Indonesia dan dunia.
Capres yang mengkampanyekan mampu berbuat seperti itu bisa jadi sangat bersemangat untuk menjadi Presiden sehingga dirinya optimis mampu berbuat yang lebih baik. Capres yang mengkampanyekan demikian bisa jadi merasa mempunyai pengalaman dalam bidang ekonomi, pertanian, dan lain sebagainya sehingga dirinya memberi harapan baru kepada rakyat Indonesia.
Iklan boombatis sebenarnya bukan kali ini seperti yang disinggung oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam setiap Pilkada, para calon kepala daerah selalu mengiklankan diri mampu berbuat baik untuk daerahnya. Iklan yang biasa ditawarkan adalah pendidikan dan sekolah gratis. Karena hal yang demikian biasa maka calon kepala daerah biasanya mengiklan sesuatu yang menjadi masalah besar di daerah itu. Contohnya di Jakarta problemnya adalah kemacetan dan banjir. Untuk menarik pemilih maka calon kepala daerah berjanji akan mampu mengatasi kemacetan dan banjir. Dalam Pilkada Jakarta tahun lalu bahkan ada seorang calon kepala daerah berani berjanji akan mampu membenahi masalah Jakarta dalam waktu 3 tahun. Boombastis!
Menanggapi iklan-iklan yang demikian, ada masyarakat yang cuek ada pula masyarakat yang kritis. Masyarakat tingkat bawah dan ini merupakan mayoritas pemilih dalam pemilu, biasanya cuek akan iklan-iklan itu. Mereka hanya melihat sosoknya itu tampilannya bagus dan mempunyai kharisma.
Namun ada pula masyarakat yang melihat seseorang dari pengalaman kerjanya yang terbukti. Dalam Pilkada Jakarta yang lalu sepertinya Jokowi tidak beriklan secara boombatis namun karena kinerjanya saat menjadi Walikota Solo bagus maka rakyat Jakarta memilihnya. Dukungan masyarakat kepada Jokowi semakin menguat ketika Fauzi Wibowo dalam memimpin Jakarta terbilang tidak sukses di mana problem kemacetan dan banjir tak terentaskan sehingga masyarakat ingin adanya perubahan dengan tampilnya gubernur baru.
Kita di sini jangan terjebak atau saling serang pada kampanye Capres yang boombastis. Penting di sini adalah dilakukan pendidikan politik yang cerdas. Bila masyarakat cerdas tentu masyarakat akan mampu mengkalkulasi janji-janji dari para Capres. Misalnya ada janji pendidikan dan kesehatan gratis maka janji itu bisa dicek dengan APBN untuk bidang itu selama ini. Demikian pula bila landreform dijanjikan itu bisa diukur dengan luas tanah di Indonesia. Demikian pula bila janji mampu mencukupi kebutuhan diri sendiri atau tidak impor hal demikian bisa dibandingkan dengan kemampuan kita berproduksi dan jumlah konsumsi.
Dengan membandingkan angka-angka di lapangan dan janji yang dikampanyekan maka kita bisa mengukur janji itu hanya sekadar janji atau janji yang bisa direalisasikan. Bila janji itu hanya sekadar janji maka jangan pilih Capres itu namun bila janji itu bisa direalisasikan maka kita harus dukung dia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar