|
Pada
pertengahan tahun 1997 krisis ekonomi menyerang wilayah Asia dan terus merembet
ke negara-negara lain. Krisis itu dipicu jatuhnya nilai tukar baht (Thailand)
terhadap dollar AS pada 2 Juli 1997.
Depresiasi
nilai tukar tersebut tanpa dapat diisolasi menjalar secara cepat ke Malaysia,
Indonesia, Korsel, dan lain-lain. Indeks saham di Thailand turun 80 persen dan
baht terdevaluasi 100 persen; harga saham di Indonesia anjlok 60 persen dan
rupiah terdevaluasi sangat parah 600 persen; sedangkan di Korsel harga saham
turun 65 persen dan won terdevaluasi 100 persen (Jang dan Sul, 2002). Dari data
itu terlihat betapa parah dampak krisis moneter saat itu sehingga memengaruhi
kinerja ekonomi keseluruhan, termasuk sektor riil. Saat ini, penurunan nilai
tukar juga berjalan cukup cepat. Angka Rp 11.000 per dollar AS sudah tertembus.
Sumber
krisis
Secara
teoretis, sumber krisis nilai tukar bisa dilacak dari dua pandangan
(Charoenseang dan Manakit, 2002). Pertama, pandangan yang berargumentasi
fundamental ekonomi yang rapuh dan inkonsistensi kebijakan sebagai sumber utama
krisis. Perspektif ini kerap disebut first
generation model yang menjelaskan krisis mata uang sebagai hasil dari
inkonsistensi fundamental dalam memformulasikan kebijakan ekonomi domestik.
Kedua, keyakinan bahwa sumber krisis adalah kepanikan yang terjadi di sektor
keuangan yang berinteraksi dengan ekspektasi pelaku ekonomi sehingga
berpengaruh langsung terhadap kebijakan makroekonomi.
Penjelasan ini
kerap disebut second generation
model, yang memberi penjelasan deskripsi generik hubungan teoretis antara
model makroekonomi dan ekspektasi rasional, di mana diyakini ekspektasi di
pasar berpengaruh terhadap keputusan membuat kebijakan ekonomi.
Dalam kasus
Indonesia, pandangan first
generation model itu dapat dilacak kebenarannya setelah melihat
situasi fundamental ekonomi nasional saat ini. Neraca perdagangan pertama kali
defisit pada 2012, yang sebenarnya dengan mudah dapat diprediksi karena 6 tahun
terakhir pertumbuhan impor melebihi ekspor. Defisit neraca transaksi berjalan
(NTB) terus terjadi karena repatriasi laba PMA melebihi jumlah investasi asing
yang masuk, di luar arus modal keluar akibat makin pulihnya ekonomi negara
maju.
Pada triwulan
II-2013, defisit NTB mencapai 9,8 miliar dollar AS. Gabungan defisit neraca
perdagangan dan defisit NTB membuat neraca pembayaran kian tertekan dan jadi
sumber krisis nilai tukar. Hal ini masih ditambah defisit keseimbangan primer
APBN yang negatif sejak 2011 sehingga solusi utang jadi keniscayaan. Jangan
pula dilupakan, rasio utang (debt service
ratio/DSR) pada triwulan II- 2013 mencapai 44,1 persen. DSR dihitung
berdasarkan pembayaran utang dibagi penerimaan ekspor. Pada saat pembayaran
utang kian besar dan ekspor menurun, DSR akan meningkat. DSR dianggap aman jika
tak lebih dari 30 persen.
Sementara itu,
menurut pendekatan kedua, pemerintah tak menyadari bahwa kebijakan kenaikan
harga BBM dan kegagalan mengendalikan harga pangan telah memicu ekspektasi yang
begitu besar terhadap inflasi. Pemerintah mudah diperdaya para analis yang
mencoba menyederhanakan masalah bahwa inflasi bakal dapat dikendalikan sehingga
tak akan melebihi 7,2 persen. Begitu inflasi Juli 2013 mencapai 3,29 persen dan
disusul BI menaikkan bunga acuan sebesar 75 basis poin, masyarakat memiliki
ekspektasi inflasi lebih tinggi dari pemerintah.
Tak mudah bagi
pemerintah yang telah kehilangan kredibilitasnya untuk memulihkan kepercayaan
masyarakat sehingga kepanikan muncul di pasar. Apalagi, sebagian besar pelaku
di pasar adalah spekulan yang mengejar profit jangka pendek. Dua hal ini
(kredibilitas pemerintah yang rendah dan spekulan di pasar keuangan) merupakan
kombinasi yang sempurna untuk mengoyak stabilitas nilai tukar.
Paket
ekonomi
Lantas, apa
relevansi empat paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah dengan
masalah yang terjadi? Terlihat sekali sebagian besar paket kebijakan itu kurang
operasional dan tak menukik menembus jantung persoalan, sehingga wajar pasar
merespons negatif.
Kebijakan
mengerem laju impor sudah benar secara substansi, tetapi perlu masuk ke struktur
lebih dalam dengan melihat 70 persen impor adalah bahan baku. Oleh karena itu,
disinsentif impor perlu menyasar bahan baku ini, bukan sekadar kenaikan pajak
impor barang mewah (yang persentasenya kecil terhadap keseluruhan nilai impor)
dan impor minyak. Menjaga daya beli masyarakat lewat perbaikan tata niaga
pangan tak dapat selesai sebulan, bahkan setahun pun belum tentu bisa.
Mendorong ekspor dan perbaiki iklim investasi merupakan paket kebijakan ekonomi
paling normatif, sejak lama hanya berhenti di atas kertas. Tak usah jauh-jauh,
urusan lama tunggu di pelabuhan saja malah makin buruk dari waktu ke waktu.
Jangka pendek
seharusnya pemerintah menyasar tiga hal. Pertama, kontrol lalu lintas devisa
hal yang niscaya dilakukan. Sangat sulit bagi pemerintah dan bank sentral
mengendalikan stabilitas ekonomi (nilai tukar) jika lalu lintas modal tak
dibatasi, lebih-lebih ketergantungan sektor keuangan terhadap luar negeri cukup
besar. Kedua, struktur defisit NTB antara lain disumbang repatriasi laba PMA.
Pada 2012, pendapatan investasi langsung minus 17,1 miliar dollar AS dan hingga
triwulan I-2013 minus 3,9 miliar dollar AS. Jika regulasi repatriasi profit PMA
tak diatur, PMA jadi bencana bagi ekonomi.
Ketiga, sejak
2011 keseimbangan primer APBN sudah minus. Ini sinyal ketidaksehatan APBN meski
rasio defisit fiskal dan utang terhadap PDB masih lebih kecil dari konsensus.
Defisit keseimbangan primer ini dapat diatasi jika pemerintah punya komitmen
menambah pendapatan dan efisiensi belanja anggaran.
Kebijakan pengurangan
pajak untuk industri padat karya dan penghapusan pajak penjualan atas barang
mewah menampakkan sinyal membingungkan. Jika ini berjalan, penerimaan pajak
akan berkurang sehingga tujuan menahan defisit pada angka yang ditetapkan sulit
dicapai. Kebijakan menahan defisit anggaran dan pengurangan pajak secara
teoretis akan bertabrakan. Pemerintah lebih baik menempuh kebijakan realokasi
anggaran dengan memperbanyak pos untuk pertanian, industri, dan UMKM yang punya
potensi penyerapan tenaga kerja besar. Belanja modal diprioritaskan untuk
mendukung sektor-sektor ini. Peluang realokasi ini sangat besar, apalagi
ditambah kesediaan pemerintah mengurangi belanja barang, sehingga memberi rasa
keadilan bagi masyarakat. Dengan jalan ini, penerimaan pajak tak terganggu dan
tujuan penciptaan lapangan kerja dapat dicapai sekaligus.
Di luar aspek
teknis di atas, krisis nilai tukar selalu merupakan fenomena kompleks. Ada
pertautan antara kelembagaan dan ekspektasi masyarakat (pasar). Pada
kelembagaan ekonomi, jika tak ada desain yang bisa menyatukan koordinasi antara
otoritas fiskal dan moneter (juga koordinasi pada internal masing-masing
otoritas), inkonsistensi kebijakan mudah muncul. Sekadar contoh, otoritas
moneter sudah menaikkan bunga acuan BI untuk menekan inflasi, tetapi otoritas
fiskal masih terus terobsesi pertumbuhan ekonomi. Dalam situasi krisis tak ada
kemewahan untuk memilih keduanya, harus mengambil prioritas paling penting.
Berikutnya, pada kelembagaan politik belum ada protokol krisis yang melindungi
tiap otoritas untuk mengambil kebijakan secara penuh. Jika situasi ini terus
memburuk, trauma kasus krisis 1997/1998 dan 2008 akan terus menghantui
otoritas. Absennya kelembagaan politik dan ekonomi itulah yang membuat
ekspektasi pasar terhadap perekonomian menjadi makin gelap. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar