|
Pandora adalah perempuan pertama yang
diciptakan para dewa di Olimpus—diciptakan atas keinginan Mahadewa Jupiter yang
marah—untuk diberikan kepada Prometeus di Bumi. Ini sebagai ”hukuman” karena
Prometeus telah mencuri api surga dan memakmurkan kehidupan di Bumi.
Prometeus yang
waspada menolak pemberian Jupiter itu. Namun, saudara Prometeus, Epimeteus,
dengan gembira menerimanya. Hingga suatu hari datanglah Merkurius ke rumah
Pandora dan menitipkan sebuah peti kayu hitam sangat berat yang dililit rantai
emas. Setelah Merkurius pergi, Pandora yang penasaran lalu membuka peti itu,
dan dalam sekejap berhamburanlah sejumlah makhluk kecil bersayap penyebar
segala macam penyakit, tabiat buruk, dan aneka kejahatan yang menjadi sumber
bencana bagi umat manusia.
Analogi
reformasi
Kisah kotak
Pandora dari mitologi Yunani itu sedikit banyak bisa dianalogikan dengan proses
reformasi politik kita yang pintunya terbuka pada 1998. Setelah itu, sepanjang
15 tahun ini, kita hanya menyaksikan maraknya aneka kejahatan, terutama korupsi
yang menjadi sumber bencana bagi kelangsungan hidup republik ini.
Bulan Agustus
ini, umur pemerintahan negara kita, jika diukur menurut kesempatan hidup
manusia, sesungguhnya telah mencapai masa uzur dan sudah layak masuk liang
kubur. Namun, pertumbuhan bangsa selama masa kemerdekaan ini ternyata tak bisa
mencapai kesesuaian dengan tahap perkembangannya. Pertambahan umur tak seiring
dengan pertumbuhan kedewasaan dan kematangan berbangsa-bernegara. Kita hanya
mendapatkan umur, tanpa mendapatkan kearifan.
Reformasi hanya
jadi sebuah guncangan besar (Fukuyama) yang menjebol dinding dan sekat-sekat
yang sebelumnya dianggap mengungkung. Namun, kebebasan yang didapat hanya
dimanfaatkan untuk menumpahkan aneka syahwat purba yang emosional, egoistis,
gelap, dan destruktif. Seperti dikiaskan oleh sebuah ungkapan Melayu (Tengku
Luckman Sinar): ”Sekali air bah, sekali
tepian berubah.”
Kejahatan
korupsi para pejabat negara dan aneka perbuatan destruktif para anggota
masyarakat tak hanya telah membinasakan marwah, tetapi juga sekaligus modal
sosial (Tocqueville, Weber, Putnam) yang dibutuhkan sebuah bangsa dan negara
untuk membangun kekuatan diri. Sebagaimana dirumuskan James Coleman, modal
sosial adalah ”seperangkat sumber daya
yang tertanam dalam hubungan keluarga dan organisasi sosial serta berguna untuk
pengembangan kognitif atau sosial anak.” Namun, justru ulah para politisi
dan birokrat di lembaga eksekutif-legislatif-yudikatif yang korup
menghancurkannya.
Alhasil,
keluarga-bangsa pun kehilangan teladan dan landasan moral bagi pengukuhan dan
pewarisan norma-norma dan aturan bagi perilaku luhur dan kerja sama sesama
warga negara. Kita terperangkap oleh arogansi sektoral, sektarian, dan
primordial. Sebagian besar energi bangsa pun terkuras untuk hal-hal sepele,
remeh-temeh, dangkal, dan bodoh.
Namun,
sebagaimana yang ditunjukkan oleh telaah Fukuyama, setiap guncangan besar
niscaya akan melalui proses alamiah penataan kembali, dari disordering ke reordering of the society. Setelah
zaman Kalabendu akan datang zaman Kalasuba yang penuh harapan (Jayabaya,
Ronggowarsito). Kotak Pandora pun harus dibuka lebih lebar lagi. Itu karena
Jupiter pun masih menyisakan cintanya kepada manusia dengan menempatkan
makhluk-makhluk bernama ”Harapan” di dasar kotak Pandora, untuk menyembuhkan
aneka penyakit yang menyengsarakan.
Kita yang hidup
di zaman kini patut bersyukur terhadap perkembangan teknologi informasi yang
memberikan kemudahan dan kecepatan berkomunikasi melalui internet dan jejaring
media sosial. Selain memberikan dampak negatif bagi runtuhnya hegemoni
lembaga-lembaga (kekuasaan) formal dan menyuburkan lahan bagi aneka bentuk
pemberontakan, perlawanan, dan individualisme, kebebasan setiap orang untuk
menyatakan pendapatnya pun berperan bagi pembentukan opini yang lebih lekas dan
luas.
Dalam beberapa
tahun terakhir, para pengguna media sosial tanpa harus merasa takut bisa dengan
tegas dan keras menyatakan dukungan bagi kebaikan dan kutukan bagi kejahatan di
lingkungannya. Dengan semua fasilitas yang tersedia, tiap warga negara secara
spontan dan tanpa tekanan telah bersama-sama membangun kembali modal sosial
yang dirusak para aparatur negara, berlandaskan pada nilai-nilai luhur dari
sejumlah agama serta norma-norma budaya tradisional yang diwariskan para
leluhurnya. Itulah anugerah yang diberikan kemajuan teknologi kepada zaman ini.
Itulah wadah baru bagi penguatan modal sosial setiap bangsa.
Kata
kuncinya: budaya
Ada yang
berpendapat, tanpa modal sosial tidak akan ada masyarakat sipil, dan tanpa
masyarakat sipil tidak akan ada demokrasi yang berhasil. Dengan kata lain, kata
kuncinya adalah budaya. Tanpa mengukuhkan (kembali) kekuatan budaya, tidak akan
ada kemajuan yang bisa dicapai suatu bangsa. Hal itu karena modal sosial
sesungguhnya adalah nilai-nilai yang ditumbuhkan sebuah kebudayaan. Kebudayaan
adalah kumpulan hasil karya cipta, rasa, dan karsa manusia yang memperkaya dan
menentukan tinggi-rendahnya sebuah peradaban.
Dalam hal ini,
bangsa Melayu telah memberikan andil yang fundamental bagi jati diri bangsa
Indonesia. Jadi, harus dikatakan, kebudayaan Melayu adalah salah satu modal
sosial terbesar bangsa ini. Sudah saatnya Republik Indonesia berterima kasih
kepada bangsa Melayu yang tidak hanya telah memberikan fondasi bagi bahasa
Indonesia, tetapi juga telah memberikan pataka kejayaan pada masa silam melalui
Kerajaan Sriwijaya di Palembang yang berkuasa hingga ke Burma dan Thailand;
melalui Dinasti Sailendra di Jawa Tengah yang telah membangun Candi Borobudur, menyebarkan
agama Hindu-Buddha, dan menjadi nenek moyang raja-raja di Tanah Jawa; serta
leluhur bagi para sultan yang menyebarkan agama Islam di Nusantara.
Memperingati
hari proklamasi kemerdekaan adalah memuliakan modal sosial, dan memuliakan
modal sosial adalah menjunjung tinggi kebudayaan. Dengan begitu, sebagaimana
dikiaskan dalam hikayat lama Melayu: ”Maka
negeri itu pun makmur sejahtera. Ramailah para saudagar datang ke bandar itu.
Padi pun menguning, dan rakyat banyak bersukacita!” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar