|
Jika polisi sudah jadi
sasaran teror oleh kelompok bersenjata, bagaimana rasa aman masyarakat bisa
terjamin. Apakah ini merupakan balas dendam dari kelompok teroris yang merasa
dirintangi misinya?
Beragam dugaan bisa muncul, tetapi hanya Polri yang patut mengungkapnya. Penembakan terhadap anggota Polri hingga tewas tidak boleh disikapi biasa-biasa saja, harus ada langkah tegas karena teror terhadap polisi juga teror terhadap masyarakat. Berbagai penembakan dan serangan bom terhadap institusi Polri bukan hal baru sebagai isyarat bahwa kelompok penyerang semakin berani. Mereka tidak boleh dianggap remeh, sebab akan sangat memengaruhi kredibilitas dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri.
Jika polisi lamban, apalagi gagal mengungkap pelaku dan motifnya, dipastikan akan meningkatkan tren modus balas dendam. Apalagi musuh yang dihadapi tidak kelihatan, sementara polisi tersebar luas di ruang publik karena tugasnya memang berada dalam kehidupan sosial masyarakat. Kita tidak ingin anggota polisi menjadi korban sia-sia tanpa mengungkap pelakunya.
Mengungkap Motif
Setidaknya ada dua alasan yang bisa menimbulkan dendam pada polisi. Pertama, tugas konstitusional polisi diatur dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, bahwa Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Keberhasilan polisi memberantas terorisme, penyalahgunaan narkoba, dan berbagai bentuk kejahatan lainnya, tentu patut diapresiasi.
Dalam rangkaian itulah polisi dianggap sebagai musuh yang harus diberi pelajaran. Betapa tidak, sehari menjelang hari idul fitri, anggota Polsek Cilandak, Aiptu Dwiyatno meninggal setelah ditembak di Ciputat, Tangerang Selatan. Kemudian pada 16 Agustus 2013, dua anggota Polsek Pondok Aren, Tangerang juga tewas ditembak yang diduga keras dilakukan oleh teroris. Dugaan itu bukan tanpa alasan, sebab bukan kali ini Polri jadi sasaran serangan teroris.
Beberapa kali kantor polisi diserang dengan bom dan rentetan tembakan. Ledakan bom di kantor Polsek Rajapolah, Tasikmalaya, Jawa Barat pertengahan Juli 2013 bisa dijadikan indikasi kalau mereka menjadikan institusi Polri sebagai target balas dendam. Kedua, dendam dan sakit hati juga bisa muncul akibat penanganan berbagai kasus yang menurut penilaian publik tidak memihak pada rasa keadilan masyarakat.
Begitu pula, pelayanan yang sering membuat masyarakat kecewa, atau seringnya polisi melakukan pungutan liar di jalan. Tetapi golongan ini belum tentu perasaan sakit hatinya dibalas dengan menembak polisi, tetapi tetap berpengaruh pada keberhasilan tugas polisi. Kurangnya dukungan publik atas penembakan yang berbanding terbalik saat KPK diserang balik oleh koruptor, boleh jadi sebagai wujud pelampiasan kekecewaan pada polisi. Tetapi polisi tidak perlu berkecil hati, sebab keberhasilan membongkar terorisme, narkoba, dan berbagai bentuk kejahatan merupakan kerja ”positif” yang sebetulnya mendapat tempat di hati publik.
Yang publik harapkan, agar pelaku penembakan segera ditangkap dan diungkap motifnya. Kita tidak menutup mata kalau banyak polisi yang juga tidak becus dalam memberi pelayanan kepada masyarakat. Maka itu, polisi harus membangun kepercayaan bahwa teror itu akan segera berlalu. Setidaknya dijadikan cermin untuk berkaca, apakah ada yang keliru dalam menegakkan hukum atau dalam melayani masyarakat.
Jangan sampai perilaku menyimpang yang selama ini tertanam di benak masyarakat, justru menjadi bumerang dalam menata kepercayaan. Kasus dugaan korupsi sejumlah perwira tinggi polisi, merupakan salah satu contoh kasus yang akan menjatuhkan citra jika penanganannya tidak tuntas. Tidak ada kata terlambat untuk berubah dan memperbaiki diri. Ancaman dalam bentuk apa pun harus dihadapi bersama, sebab bagaimanapun, masyarakat akan selalu butuh rasa aman yang sesungguhnya menjadi salah satu tugas utama Polri.
Bebas Senjata
Salah satu hal yang harus diseriusi adalah peredaran senjata api di kalangan warga sipil. Saya sejak awal tidak setuju kebijakan pemberian izin kepemilikan senjata api bagi warga sipil, sebab risikonya tidak akan mungkin bisa diantisipasi oleh polisi. Sekarang polisi menuai teror dari kebijakan itu, malah kewalahan mencegah dan menangkap peredaran senjata api ilegal. Kondisi itu dimanfaatkan para penjahat, senjata api ilegal dijadikan sarana untuk melakukan aksinya.
Bukan hanya warga sipil yang terancam, malah berbalik menghantam anggota polisi. Ini merupakan bukti kegagalan pemberian izin menggunakan senjata api bagi warga sipil. Bahkan memicu peredaran senjata api ilegal, baik itu senjata api rakitan, airsoft gunsebagai senjata mainan yang berbahaya, maupun senjata api modern yang diselundupkan dari luar negeri. Saatnya menghentikan pemberian izin kepemilikan senjata api, kemudian menarik semua senjata api yang terlanjur diberikan pada warga sipil lantaran rentan disalahgunakan.
Bebaskan kehidupan sipil dari senjata api, tidak boleh lagi ada senjata api yang beredar di lingkungan masyarakat. Kecuali senjata api organik bagi TNI, kepolisian, dan instansi lain yang menurut peraturan perundang-undangan diperbolehkan memiliki senjata api. Razia senjata api harus terus dilakukan, jangan ada pengecualian dengan alasan sebagai alat membeladiri bagi pejabat, anggota DPR, atau anggota organisasi tertentu.
Keselamatan rakyat dan aparat kepolisian yang kini dalam ancaman jauh lebih penting. Menurut data Indonesia Police Watch (Koran SINDO, 19/8/ 2013), sekitar 18.000 senjata api yang beredar di tangan warga sipil. Ini merupakan ancaman serius bagi keselamatan jiwa polisi dan masyarakat. ●
Beragam dugaan bisa muncul, tetapi hanya Polri yang patut mengungkapnya. Penembakan terhadap anggota Polri hingga tewas tidak boleh disikapi biasa-biasa saja, harus ada langkah tegas karena teror terhadap polisi juga teror terhadap masyarakat. Berbagai penembakan dan serangan bom terhadap institusi Polri bukan hal baru sebagai isyarat bahwa kelompok penyerang semakin berani. Mereka tidak boleh dianggap remeh, sebab akan sangat memengaruhi kredibilitas dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri.
Jika polisi lamban, apalagi gagal mengungkap pelaku dan motifnya, dipastikan akan meningkatkan tren modus balas dendam. Apalagi musuh yang dihadapi tidak kelihatan, sementara polisi tersebar luas di ruang publik karena tugasnya memang berada dalam kehidupan sosial masyarakat. Kita tidak ingin anggota polisi menjadi korban sia-sia tanpa mengungkap pelakunya.
Mengungkap Motif
Setidaknya ada dua alasan yang bisa menimbulkan dendam pada polisi. Pertama, tugas konstitusional polisi diatur dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, bahwa Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Keberhasilan polisi memberantas terorisme, penyalahgunaan narkoba, dan berbagai bentuk kejahatan lainnya, tentu patut diapresiasi.
Dalam rangkaian itulah polisi dianggap sebagai musuh yang harus diberi pelajaran. Betapa tidak, sehari menjelang hari idul fitri, anggota Polsek Cilandak, Aiptu Dwiyatno meninggal setelah ditembak di Ciputat, Tangerang Selatan. Kemudian pada 16 Agustus 2013, dua anggota Polsek Pondok Aren, Tangerang juga tewas ditembak yang diduga keras dilakukan oleh teroris. Dugaan itu bukan tanpa alasan, sebab bukan kali ini Polri jadi sasaran serangan teroris.
Beberapa kali kantor polisi diserang dengan bom dan rentetan tembakan. Ledakan bom di kantor Polsek Rajapolah, Tasikmalaya, Jawa Barat pertengahan Juli 2013 bisa dijadikan indikasi kalau mereka menjadikan institusi Polri sebagai target balas dendam. Kedua, dendam dan sakit hati juga bisa muncul akibat penanganan berbagai kasus yang menurut penilaian publik tidak memihak pada rasa keadilan masyarakat.
Begitu pula, pelayanan yang sering membuat masyarakat kecewa, atau seringnya polisi melakukan pungutan liar di jalan. Tetapi golongan ini belum tentu perasaan sakit hatinya dibalas dengan menembak polisi, tetapi tetap berpengaruh pada keberhasilan tugas polisi. Kurangnya dukungan publik atas penembakan yang berbanding terbalik saat KPK diserang balik oleh koruptor, boleh jadi sebagai wujud pelampiasan kekecewaan pada polisi. Tetapi polisi tidak perlu berkecil hati, sebab keberhasilan membongkar terorisme, narkoba, dan berbagai bentuk kejahatan merupakan kerja ”positif” yang sebetulnya mendapat tempat di hati publik.
Yang publik harapkan, agar pelaku penembakan segera ditangkap dan diungkap motifnya. Kita tidak menutup mata kalau banyak polisi yang juga tidak becus dalam memberi pelayanan kepada masyarakat. Maka itu, polisi harus membangun kepercayaan bahwa teror itu akan segera berlalu. Setidaknya dijadikan cermin untuk berkaca, apakah ada yang keliru dalam menegakkan hukum atau dalam melayani masyarakat.
Jangan sampai perilaku menyimpang yang selama ini tertanam di benak masyarakat, justru menjadi bumerang dalam menata kepercayaan. Kasus dugaan korupsi sejumlah perwira tinggi polisi, merupakan salah satu contoh kasus yang akan menjatuhkan citra jika penanganannya tidak tuntas. Tidak ada kata terlambat untuk berubah dan memperbaiki diri. Ancaman dalam bentuk apa pun harus dihadapi bersama, sebab bagaimanapun, masyarakat akan selalu butuh rasa aman yang sesungguhnya menjadi salah satu tugas utama Polri.
Bebas Senjata
Salah satu hal yang harus diseriusi adalah peredaran senjata api di kalangan warga sipil. Saya sejak awal tidak setuju kebijakan pemberian izin kepemilikan senjata api bagi warga sipil, sebab risikonya tidak akan mungkin bisa diantisipasi oleh polisi. Sekarang polisi menuai teror dari kebijakan itu, malah kewalahan mencegah dan menangkap peredaran senjata api ilegal. Kondisi itu dimanfaatkan para penjahat, senjata api ilegal dijadikan sarana untuk melakukan aksinya.
Bukan hanya warga sipil yang terancam, malah berbalik menghantam anggota polisi. Ini merupakan bukti kegagalan pemberian izin menggunakan senjata api bagi warga sipil. Bahkan memicu peredaran senjata api ilegal, baik itu senjata api rakitan, airsoft gunsebagai senjata mainan yang berbahaya, maupun senjata api modern yang diselundupkan dari luar negeri. Saatnya menghentikan pemberian izin kepemilikan senjata api, kemudian menarik semua senjata api yang terlanjur diberikan pada warga sipil lantaran rentan disalahgunakan.
Bebaskan kehidupan sipil dari senjata api, tidak boleh lagi ada senjata api yang beredar di lingkungan masyarakat. Kecuali senjata api organik bagi TNI, kepolisian, dan instansi lain yang menurut peraturan perundang-undangan diperbolehkan memiliki senjata api. Razia senjata api harus terus dilakukan, jangan ada pengecualian dengan alasan sebagai alat membeladiri bagi pejabat, anggota DPR, atau anggota organisasi tertentu.
Keselamatan rakyat dan aparat kepolisian yang kini dalam ancaman jauh lebih penting. Menurut data Indonesia Police Watch (Koran SINDO, 19/8/ 2013), sekitar 18.000 senjata api yang beredar di tangan warga sipil. Ini merupakan ancaman serius bagi keselamatan jiwa polisi dan masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar