Senin, 26 Agustus 2013

Spirit Diaspora Ekonomi Indonesia

Spirit Diaspora Ekonomi Indonesia
Ismatillah A Nu’ad  ;    Peneliti dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
SUARA MERDEKA, 26 Agustus 2013


"Pemerintah dipastikan masih diuntungkan oleh kehadiran lembaga donor untuk sama-sama korupsi berjamaah"

MENARIK mencermati penyelenggaraan Kongres II Diaspora Indonesia (2nd Congress of Indonesian Diaspora) di Jakarta. Forum itu menghadirkan sejumlah ekonom kawakan Indonesia yang sukses dan berkiprah di luar negeri, dan mereka disuruh pulang kampung untuk memperbaiki perekonomian negeri sendiri. Salah satunya Sri Mulyani, yang dalam forum itu meminta Indonesia belajar dari Israel dan India. 

Forum tersebut juga menghadirkan ekonom dunia, untuk ikut bicara mengenai reformasi ekonomi Indonesia dan krisis ekonomi global. Kali pertama forum ini diadakan di Los Angeles AS. Adapun forum di Jakarta yang mengangkat tema “Pulang Kampung”  atau “Home Coming” dibuka secara resmi oleh Presiden SBY.

Terkait penyelenggaraan kegiatan di Jakarta, forum itu diharapkan dapat memperluas jaringan, meningkatkan kolaborasi, dan memperkuat tekad memberi kontribusi lebih besar ke Tanah Air. Sayang, forum itu menafikan persoalan utang luar negeri Indonesia. Padahal pemerintah kita masih memiliki utang luar negeri yang diperkirakan mencapai 45,77 miliar dolar AS, mengingat kita belum bisa lepas dengan lembaga-lembaga donor.

Pemerintah mengimplementasikan pemanfaatan uang itu dalam bentuk proyek-proyek untuk  pembangunan sektor riil tertentu yang diasumsikan masih lemah dan memerlukan bantuan. Kita bisa melihat pembangunan dalam  bidang pendidikan, kesehatan, usaha kecil menengah, infrastruktur dan lain-lain.

Persoalan serius yang berimplikasi pada keterjerembaban negara ini dalam kubangan utang  karena banyak korupsi pada sejumlah proyek tersebut. Di sisi lain, lembaga donor tak memonitor secara serius pemanfaatan dana itu, dan bahkan cenderung membiarkan adanya praktik korupsi tersebut.
Tahun 2006 misalnya, kebocoran dana proyek yang akibat korupsi terjadi secara kasat mata namun pemerintah hanya menyatakan kecewa. Kita tidak pernah melihat sikap tegas pemerintah, semisal menghentikan kerja sama dengan lembaga donor, menegaskan tidak mau mereka dikte.

Donor hanya berapologi bahwa kasus kebocoran dana lebih disebabkan belum adanya sistem monitoring yang ketat dan efektif. Bahkan apologi yang dilakukan cenderung menyalahkan pemerintah kita. Kasus korupsi dalam proyek pemerintah yang dibiayai hasil utang itu sering terjadi. Padahal utang itulah yang menyebabkan negara ini kolaps. Tiap tahun RAPBN selalu terpotong lebih besar untuk membayar utang, sehingga kita selalu menghadapi kendala besar untu mewujudkan program pendidikan murah dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Instrumen Penekan

Lebih parah lagi, menurut laporan Badan Keuangan Negara (BKN), persentase RAPBN lebih banyak untuk gaji aparatur pemerintahan ketimbang untuk kepentingan rakyat sehingga RAPBN itu sangat jauh bagi cita-cita kesejahteraan rakyat kecil Indonesia. Penambahan stok utang apalagi di tengah krisis seperti saat ini makin membebani karena pinjaman tersebut mensyaratkan biaya seperti commitment fee dan up-fornt fee tidak kecil. Untuk itu pemerintah hendaknya menegosiasikan ulang, merevisi perjanjian dengan negara-negara donor.

Pasalnya pemberian pinjaman tersebut merupakan instrumen ekonomi negara-negara neoliberalisme untuk menekan negara-negara berkembang termasuk Indonesia untuk menciptakan krisis berkepanjangan (KAU, 2009). Salah satu cara mengakhiri penderitaan bangsa ini semestinya pemerintah memotong hubungan dengan lembaga donor, karena bagaimanapun lembaga itu memiliki skenario bukan menyejahterakan negara yang menjadi objeknya, melainkan membuat sengsara. Salah satu skenario itu tertuang dalam Washington Consensus yang terpublikasi lewat laporan Joseph Stiglitz, misalnya dalam Roaring Ninetees (2003).


Pemerintah tak memiliki nyali, daya, dan kekuatan bahkan mengikuti pendiktean lembaga-lembaga keuangan dunia. Mestinya lembaga donor telah kehilangan legitimasi di Indonesia setelah keruntuhan pemerintahan Orde Baru tahun 1998. Yang membuat seimbang proyek pembangunan Orba adalah karena faktor utangnya, sehingga ketika utang itu dihentikan maka kacau pula pembangunan. Mengapa utang luar negeri tak mengalami krisis legitimasi? Pasalnya pemerintahan SBY belum bersih dari korupsi. Pemerintah dipastikan masih diuntungkan oleh kehadiran lembaga donor untuk sama-sama melakukan korporasi dan korupsi secara berjamaah. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar