|
"Pemerintah
dipastikan masih diuntungkan oleh kehadiran lembaga donor untuk sama-sama
korupsi berjamaah"
MENARIK mencermati penyelenggaraan Kongres II Diaspora
Indonesia (2nd Congress of Indonesian
Diaspora) di Jakarta. Forum itu menghadirkan sejumlah ekonom kawakan
Indonesia yang sukses dan berkiprah di luar negeri, dan mereka disuruh pulang
kampung untuk memperbaiki perekonomian negeri sendiri. Salah satunya Sri
Mulyani, yang dalam forum itu meminta Indonesia belajar dari Israel dan India.
Forum tersebut juga menghadirkan ekonom dunia, untuk ikut
bicara mengenai reformasi ekonomi Indonesia dan krisis ekonomi global. Kali
pertama forum ini diadakan di Los Angeles AS. Adapun forum di Jakarta yang
mengangkat tema “Pulang Kampung”
atau “Home Coming” dibuka secara
resmi oleh Presiden SBY.
Terkait penyelenggaraan kegiatan di Jakarta, forum itu
diharapkan dapat memperluas jaringan, meningkatkan kolaborasi, dan memperkuat
tekad memberi kontribusi lebih besar ke Tanah Air. Sayang, forum itu menafikan
persoalan utang luar negeri Indonesia. Padahal pemerintah kita masih memiliki
utang luar negeri yang diperkirakan mencapai 45,77 miliar dolar AS, mengingat
kita belum bisa lepas dengan lembaga-lembaga donor.
Pemerintah mengimplementasikan pemanfaatan uang itu dalam
bentuk proyek-proyek untuk pembangunan sektor riil tertentu yang
diasumsikan masih lemah dan memerlukan bantuan. Kita bisa melihat pembangunan
dalam bidang pendidikan, kesehatan, usaha kecil menengah, infrastruktur
dan lain-lain.
Persoalan serius yang berimplikasi pada keterjerembaban
negara ini dalam kubangan utang karena banyak korupsi pada sejumlah
proyek tersebut. Di sisi lain, lembaga donor tak memonitor secara serius
pemanfaatan dana itu, dan bahkan cenderung membiarkan adanya praktik korupsi
tersebut.
Tahun 2006 misalnya, kebocoran dana proyek yang akibat
korupsi terjadi secara kasat mata namun pemerintah hanya menyatakan kecewa.
Kita tidak pernah melihat sikap tegas pemerintah, semisal menghentikan kerja
sama dengan lembaga donor, menegaskan tidak mau mereka dikte.
Donor hanya berapologi bahwa kasus kebocoran dana lebih
disebabkan belum adanya sistem monitoring yang ketat dan efektif. Bahkan
apologi yang dilakukan cenderung menyalahkan pemerintah kita. Kasus korupsi
dalam proyek pemerintah yang dibiayai hasil utang itu sering terjadi. Padahal
utang itulah yang menyebabkan negara ini kolaps. Tiap tahun RAPBN selalu
terpotong lebih besar untuk membayar utang, sehingga kita selalu menghadapi
kendala besar untu mewujudkan program pendidikan murah dan peningkatan
kesejahteraan rakyat.
Instrumen Penekan
Lebih parah lagi, menurut laporan Badan Keuangan Negara
(BKN), persentase RAPBN lebih banyak untuk gaji aparatur pemerintahan ketimbang
untuk kepentingan rakyat sehingga RAPBN itu sangat jauh bagi cita-cita
kesejahteraan rakyat kecil Indonesia. Penambahan stok utang apalagi di tengah
krisis seperti saat ini makin membebani karena pinjaman tersebut mensyaratkan
biaya seperti commitment fee dan up-fornt fee tidak kecil. Untuk itu
pemerintah hendaknya menegosiasikan ulang, merevisi perjanjian dengan
negara-negara donor.
Pasalnya pemberian pinjaman tersebut merupakan instrumen
ekonomi negara-negara neoliberalisme untuk menekan negara-negara berkembang
termasuk Indonesia untuk menciptakan krisis berkepanjangan (KAU, 2009). Salah satu cara mengakhiri
penderitaan bangsa ini semestinya pemerintah memotong hubungan dengan lembaga
donor, karena bagaimanapun lembaga itu memiliki skenario bukan menyejahterakan
negara yang menjadi objeknya, melainkan membuat sengsara. Salah satu skenario
itu tertuang dalam Washington Consensus
yang terpublikasi lewat laporan Joseph Stiglitz, misalnya dalam Roaring Ninetees (2003).
Pemerintah tak memiliki nyali, daya, dan kekuatan bahkan
mengikuti pendiktean lembaga-lembaga keuangan dunia. Mestinya lembaga donor
telah kehilangan legitimasi di Indonesia setelah keruntuhan pemerintahan Orde
Baru tahun 1998. Yang membuat seimbang proyek pembangunan Orba adalah karena
faktor utangnya, sehingga ketika utang itu dihentikan maka kacau pula
pembangunan. Mengapa utang luar negeri tak mengalami krisis legitimasi?
Pasalnya pemerintahan SBY belum bersih dari korupsi. Pemerintah dipastikan
masih diuntungkan oleh kehadiran lembaga donor untuk sama-sama melakukan
korporasi dan korupsi secara berjamaah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar