|
RENCANA Amerika Serikat (AS) untuk melakukan in tervensi
militer ke Suriah kian mendekati kenyataan. Keseriusan itu ditunjukkan AS
dengan mengirimkan empat kapal perang perusak mereka ke perairan Suriah.
Militer AS bahkan telah menentukan 50 target serangan. Serangan itu akan
melibatkan rudal Tomahawk, yang dipersiapkan dari kapal perang yang ditempatkan
di Laut Mediterania (Reuters, 28/8).
Rencana
mengenai intervensi AS ke Suriah itu mengemuka setelah keluar kabar bahwa rezim
Bashar al-Assad menggunakan senjata kimia dalam konflik melawan oposisi pada 21
Agustus lalu. Akibat serangan senjata kimia itu sekitar 1.729 warga sipil tewas
dan 6.000 lainnya mengalami gangguan pernapasan.
Untuk memuluskan rencana intervensi militer AS tersebut, Presiden Barack Obama
mulai menghubungi sekutunya untuk menjaring dukungan. Hasilnya Turki, Inggris,
dan Prancis menyatakan siap membantu menyerang Suriah.
Jika
merujuk ke niatan intervensi militer ke Suriah, tampak jelas terlihat alasan
humanitarian di dalamnya. Namun, isu intervensi militer untuk kemanusiaan itu
sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan oleh para ahli dan praktisi
hubungan internasional. Perdebatan itu menyangkut absah atau tidaknya sebuah
intervensi dilakukan karena sifatnya yang melanggar kedaulatan.
Penerapan R2P
Ide
untuk melakukan intervensi militer untuk kemanusiaan oleh AS bukanlah hal baru.
Sebelumnya intervensi NATO yang dipimpin AS pernah dilakukan di Kosovo (1999),
Irak (2003), dan Libia (2011). Namun, di antara ketiga aksi intervensi itu,
Libia dinilai yang paling absah.
Pada
kasus intervensi AS plus NATO ke Kosovo dan Irak, sebagian pengamat menilai
tindakan tersebut illegal but legitimate.
Ilegal sebab tindakan tersebut tidak mendapat persetujuan Dewan Keamanan PBB,
tetapi absah jika dilihat dari sudut moral.
Namun,
intervensi di Libia justru dinilai sebagian pengamat itu tampak absah karena AS
dan NATO menerapkan norma responsibility
to protect (R2P). Apalagi norma R2P itu diperkuat Resolusi DK PBB 1973
tentang zona larangan terbang di Libia. Resolusi itu dikeluarkan untuk
menyikapi pemimpin Libia Moammar Khadafi yang bertindak secara brutal terhadap
rakyatnya dalam melawan arus revolusi. Tindakan Khadafi itu telah memakan
korban lebih dari 2.000 nyawa dan sejumlah pelanggaran HAM lainnya.
Intervensi
atas Libia itu yang dianggap Stewart Patrick (2011), Penasihat Senior Hubungan
Luar Negeri AS, sebagai penggunaan kekuatan militer pertama yang tanpa ragu
menjunjung norma R2P. Norma itu merupakan konsep yang diperkenalkan International Commission on Intervention and
State Sovereignty (ICISS) pada Desember 2001.
Meski
ditentang Venezuela, Rusia, China, dan India, konsep R2P itu tetap diadopsi
dalam Resolusi Majelis Umum PBB No A/60/1, khususnya paragraf 138 dan 139, dan
bersifat `rekomendasi'. Dalam perspektif hukum internasional, suatu rekomendasi
yang dihasilkan Majelis Umum PBB mempunyai konsekuensi yang berbeda jika
dibandingkan dengan resolusi DK PBB dan juga tidak mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat. Na mun, karena R2P mengacu ke hukum internasional dan hukum
kebiasaan internasional yang ada, de ngan negara-negara terikat di dalamnya,
negara-negara menjadi `berkewajiban' memenuhi segala konsekuensi, termasuk
menerapkan prinsip-prinsip R2P tersebut (Djundjunan
& Wirakara, 2009).
Melalui
R2P itulah, AS merasa berhasil menerobos kebuntuan karena adanya tembok
penghalang intervensi sebagaimana terkandung dalam piagam PBB dalam Pasal 2 (4)
mengenai prinsip nonintervensi.
Kebuntuan
itu bisa dipecahkan setelah ICISS mengeluarkan rekomendasi yang cukup cerdas
terkait dengan R2P yang isinya menyatakan pada setiap negara berdaulat terdapat
tanggung jawab memberikan perlindungan kepada seluruh warganya, dari berbagai
tindak kejahatan kemanusiaan, yang diakibatkan terjadinya perang saudara,
pemberontakan, atau penindasan di dalam negara (Djundjunan & Wirakara, 2009).
Apa
yang di lakukan ICISS itu sebenarnya merupakan upaya untuk merekonsep tualisasi
makna kedaulatan tradisional Westphalia (1648) dengan memberikan konsepsi
kedaulatan alternatif, dengan kedaulatan diterjemahkan sebagai tanggung jawab (sovereignty as responsibility). Dengan
begitu, kedaulatan menjadi bermakna sebagai hak dan tanggung jawab berbagai
pemerintahan di dunia untuk melindungi warganya.
Paradoks
Apa
yang terjadi di Libia sebetulnya tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di
Suriah. Selama perang saudara di Suriah, rakyat sipil yang tewas melebihi angka
100 ribu dan jumlah pengungsi telah mencapai hampir 2 juta. Jumlah angka
kematian dan pengungsi itu terus bertambah seiring dengan adanya dugaan
penggunaan senjata kimia oleh pasukan Suriah di daerah padat penduduk, timur
Damaskus, pada 21 Agustus 2013. Jika pola penggunaan senjata kimia terus
terjadi, berarti korban jiwa akan terus dan terus bertambah.
Itu tentu merupakan kejahatan perang terhadap kemanusiaan yang sangat serius.
Meski
PBB belum bisa menyimpulkan hasil penyelidikan mereka terkait dengan siapa yang
menggunakan senjata kimia, AS dan Inggris meyakini rezim Al-Assad telah
menggunakan senjata kimia terhadap rakyatnya sendiri.
Jika
memang benar rezim Al-Assad terbukti menggunakan senjata kimia, penerapan R2P
melalui intervensi militer itu bisa saja dilakukan. Meski ada upaya pemblokiran
terhadap DK PBB melalui veto Rusia dan China, AS dan sekutu mereka masih bisa
diizinkan melakukan intervensi terhadap Suriah di bawah payung hukum
internasional. Mereka diizinkan untuk mengambil langkah-langkah yang luar biasa
dalam mengurangi skala besar bencana kemanusiaan di Suriah dengan menghalangi
penggunaan lebih lanjut senjata kimia.
Namun,
yang menjadi masalah di sini ialah ada pada AS sebagai penggagas intervensi di
Suriah. Sebuah dokumen rahasia CIA mengungkap bagaimana AS di era pemerintahan
Ronald Reagan ternyata pernah membantu pemerintahan Saddam Hussein dalam invasi
Irak ke Iran pada 1980-1988. Dokumen CIA itu dipublikasikan majalah Foreign Policy (FP) edisi Senin (26/8).
Foreign Policy mengangkat isu itu
terkait dengan wacana yang digulirkan AS untuk mengintervensi Suriah dengan
dalih penggunaan senjata kimia. Menurut FP, Irak telah menggunakan gas mustard dan sarin pada awal 1988, untuk empat kali serangan besar. Sepanjang
perang itu, setidaknya 20 ribu prajurit Iran tewas dan 100 ribu lainnya terluka
akibat serangan senjata kimia yang dilakukan Irak. Bukankah serangkaian serangan
gas saraf oleh Saddam Hussein itu jauh lebih mematikan daripada yang terjadi di
Suriah?
Sebagai
negara yang ikut meratifikasi Protokol Jenewa pada 1975, AS seharusnya
menekankan untuk tidak menggunakan senjata kimia dalam perang dan setuju untuk
mencegah negara lain berupaya menggunakan senjata tersebut. Namun, lucunya,
jika AS dulu mendukung Irak menggunakan senjata kimia, kini justru melarang
Suriah menggunakannya. Itu sama saja artinya dengan memutarbalikkan logika
intervensi yang absah menjadi tidak absah dan tidak absah menjadi absah
berdasarkan kepentingan AS semata. Bukankah
itu sebuah paradoks? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar