|
Sejak dahulu dunia mengenal Bumi Pertiwi sebagai negeri
yang berlimpah kekayaan alam. Pengamat perminyakan Kurtubi menyebutkan kekayaan
bangsa dari sektor migas saja lebih dari Rp 50 ribu triliun per tahun. Dengan
asumsi ini, rakyat Indonesia layak menikmati kemakmuran melebihi prestasi yang
dicapai Jepang, Korea Selatan, apalagi Singapura. Namun fakta justru
membuktikan kehidupan bangsa kita masih terbelenggu kemiskinan yang ditandai
dengan kesulitan sebagian besar rakyat mengakses penghidupan yang layak akibat
manajemen distribusi kekayaan negara dikangkangi predator dan koruptor melalui
jasa kompradornya.
Tidak salah jika pakar manajemen dunia, Peter Drucker,
mengingatkan kita bahwa sebenarnya tidak ada negara miskin atau terbelakang (underdeveloped country), yang terjadi
adalah negara salah urus (mis-managed
country). Tengoklah kondisi pengelolaan migas kita, yang dulu pernah
menjadi primadona penerimaan negara, kini terpuruk ke tingkat yang paling
memprihatinkan akibat lebih banyak tersedot oleh predator dan koruptor.
Tidak dapat dibayangkan sebelumnya sosok Rudi Rubiandini,
yang dikenal jujur, bahkan bergelar sebagai dosen teladan hingga diamanatkan
memimpin SKK Migas, ternyata mengalami metamorfosis menjadi seorang komprador,
predator, sekaligus koruptor. Belum hilang keterkejutan publik dengan
terkuaknya kasus Rudi Rubiandini, publik kembali terperangah oleh kabar dugaan
keterlibatan 15 anggota Komisi X DPR RI dalam kasus Hambalang. Hal tersebut
terungkap dari laporan hasil audit investigasi BPK tahap II terhadap kasus
Hambalang yang disampaikan kepada DPR, 23 Agustus 2013. Jumlah kerugian negara
menurut laporan tersebut sebesar Rp 463,67 miliar, meningkat dua kali lipat
dari laporan audit investigasi BPK tahap I.
Ironisnya, BPK lebih bersemangat menyampaikan laporan hasil
investigasinya kepada DPR daripada kepada KPK, padahal pihak yang diduga
sebagai predator keuangan negara dalam kasus itu adalah oknum anggota DPR
sendiri. Tak pelak lagi, hasil investigasi BPK tersebut rentan dipolitisasi,
yang mengakibatkan terjadinya manuver pelemahan dan pengaburan substansi
kebenaran. Semua ini diduga merupakan bagian yang telah di-setting dalam
skenario besar, di mana BPK sendiri turut menjadi bagian dari komprador antara
predator dan koruptor kekayaan negara.
Sampai di sini kita semakin yakin bahwa koruptor, predator,
dan komprador di kekinian sungguh-sungguh telah membangun kartel dan mafia
secara sistemik pada semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa kenal
kasta. Mereka bermanuver secara laten maupun manifes di sentra-sentra kekuasaan
negara.
Tak dapat dimungkiri bahwa maraknya perilaku korup yang
menjadi kausa prima kemiskinan struktural di negeri ini tidak lain adalah
melembaganya sikap tamak, rakus, serakah, dan ingin cepat kaya meski dengan
menghalalkan segala cara, telah berurat-akar pada hampir semua komponen
masyarakat kita. Perilaku korup dalam skala "kacangan" hingga the
white collar crime dilakukan secara masif dan terbuka. Ironisnya lagi, semua
itu dilakukan dengan kebanggaan tanpa sedikit pun rasa malu dan pilu.
Tanpa sadar, korupsi yang telah melembaga dan menjadi
tradisi di semua lingkup birokrasi, korporasi, bahkan inspeksi telah
menimbulkan efek multi yang sangat parah dan serius. Sudah merupakan rahasia
umum bahwa terjadinya kemiskinan struktural dan kultural maupun instabilitas
serta dehumanisasi martabat bangsa adalah dampak langsung dari praktek korupsi
yang dilakukan secara berjemaah. Meski berbagai upaya telah dilakukan untuk
memberantas korupsi, semuanya justru makin mempersubur tumbuhnya sel-sel baru
yang dibangun oleh koruptor, predator, dan para kompradornya dengan intensitas
dan modus yang lebih kompleks.
Betapa tidak, karena motor penggerak pemberantasan korupsi
sebelum terbentuknya KPK terkonsentrasi pada institusi Kejaksaan sesuai dengan
mandat Undanf-Undang Nomor 3/1971. Dalam melaksanakan tugasnya, Kejaksaan
menghadapi sederet persoalan sosio-yuridis. Untuk memulai penyidikan saja
terhadap seorang oknum pejabat yang diduga sebagai pelaku korupsi, Kejaksaan
harus memperoleh izin atasan yang berwenang. Belum lagi independensi dan
integritas fungsionaris Kejaksaan, sangat diragukan. Sebab, bagaimanapun,
institusi ini merupakan perpanjangan tangan langsung Presiden yang notabene
kepala pemerintahan.
Celakanya karena sebagian koruptor, predator, dan
kompradornya justru berlatar belakang birokrat yang berkohabitasi dengan kaum
kapitalis. Parahnya karena semua personalia Kejaksaan tidak lain adalah bagian
dari struktur pemerintahan yang tentu dilekati kewajiban moral dalam bentuk
solidaritas Korps PNS. Tidak mengherankan jika statistik keberhasilan
pemberantasan korupsi pada fase ini menunjukkan grafik yang sangat buruk.
Hampir semua kasus korupsi yang terdeteksi dan ditindak-lanjuti diputus bebas
kalau bukan vonis ringan. Bahkan ada yang sudah bebas pada tahap penuntutan.
Determinasi penegakan hukum terhadap para koruptor lebih banyak tersandera oleh
mekanisme kompromi dan transaksional yang dikendalikan oleh koruptor, predator,
dan kompradornya.
Kegagalan misi pemberantasan korupsi ketika itu terjadi
karena kesalahan penerapan strategi. Padahal korupsi telah didiagnosis sebagai extraordinary crime. Tetapi strategi
pendekatan yang diterapkan masih dengan instrumen konvensional (ordinary crimes). Di mana penegakan
hukum hanya ditangani oleh lembaga hipo-body.
Padahal, dalam analogi, korupsi yang bersarang dalam tubuh Ibu Pertiwi bukan
lagi penyakit biasa, melainkan telah menjadi kanker dengan stadium kronis,
bahkan akut. Tindakan penyembuhan tentu tidak efektif jika menggunakan terapi
konvensional, melainkan harus dengan metode penyembuhan super-body.
Berangkat dari kompleksnya persoalan pemberantasan korupsi
di masa lalu yang terbukti sangat tidak efektif, digagaslah institusi penegak
hukum yang bersifat independen dan ad hoc terhadap pemberantasan korupsi. Hal
inilah yang mengerucut pada lahirnya institusi super-body sebagaimana tecermin dalam Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), yang dibentuk pada 2003. Anehnya, eksistensi KPK dewasa ini terus
mengalami ancaman deotorisasi hingga pembubaran justru oleh sebagian legislator
sendiri. Begitulah kelihaian para koruptor dan predator dalam memanfaatkan
sentra kekuasaan negara seperti DPR sebagai kompradornya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar