Sabtu, 31 Agustus 2013

Koruptor, Komprador, dan Predator

Koruptor, Komprador, dan Predator
Saharuddin Daming ;   Dosen Fakultas Hukum Universitas Ibn Khaldun, Bogor, Mantan Komisioner Komnas HAM
KORAN TEMPO, 30 Agustus 2013


Sejak dahulu dunia mengenal Bumi Pertiwi sebagai negeri yang berlimpah kekayaan alam. Pengamat perminyakan Kurtubi menyebutkan kekayaan bangsa dari sektor migas saja lebih dari Rp 50 ribu triliun per tahun. Dengan asumsi ini, rakyat Indonesia layak menikmati kemakmuran melebihi prestasi yang dicapai Jepang, Korea Selatan, apalagi Singapura. Namun fakta justru membuktikan kehidupan bangsa kita masih terbelenggu kemiskinan yang ditandai dengan kesulitan sebagian besar rakyat mengakses penghidupan yang layak akibat manajemen distribusi kekayaan negara dikangkangi predator dan koruptor melalui jasa kompradornya. 
Tidak salah jika pakar manajemen dunia, Peter Drucker, mengingatkan kita bahwa sebenarnya tidak ada negara miskin atau terbelakang (underdeveloped country), yang terjadi adalah negara salah urus (mis-managed country). Tengoklah kondisi pengelolaan migas kita, yang dulu pernah menjadi primadona penerimaan negara, kini terpuruk ke tingkat yang paling memprihatinkan akibat lebih banyak tersedot oleh predator dan koruptor. 
Tidak dapat dibayangkan sebelumnya sosok Rudi Rubiandini, yang dikenal jujur, bahkan bergelar sebagai dosen teladan hingga diamanatkan memimpin SKK Migas, ternyata mengalami metamorfosis menjadi seorang komprador, predator, sekaligus koruptor. Belum hilang keterkejutan publik dengan terkuaknya kasus Rudi Rubiandini, publik kembali terperangah oleh kabar dugaan keterlibatan 15 anggota Komisi X DPR RI dalam kasus Hambalang. Hal tersebut terungkap dari laporan hasil audit investigasi BPK tahap II terhadap kasus Hambalang yang disampaikan kepada DPR, 23 Agustus 2013. Jumlah kerugian negara menurut laporan tersebut sebesar Rp 463,67 miliar, meningkat dua kali lipat dari laporan audit investigasi BPK tahap I. 
Ironisnya, BPK lebih bersemangat menyampaikan laporan hasil investigasinya kepada DPR daripada kepada KPK, padahal pihak yang diduga sebagai predator keuangan negara dalam kasus itu adalah oknum anggota DPR sendiri. Tak pelak lagi, hasil investigasi BPK tersebut rentan dipolitisasi, yang mengakibatkan terjadinya manuver pelemahan dan pengaburan substansi kebenaran. Semua ini diduga merupakan bagian yang telah di-setting dalam skenario besar, di mana BPK sendiri turut menjadi bagian dari komprador antara predator dan koruptor kekayaan negara. 
Sampai di sini kita semakin yakin bahwa koruptor, predator, dan komprador di kekinian sungguh-sungguh telah membangun kartel dan mafia secara sistemik pada semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa kenal kasta. Mereka bermanuver secara laten maupun manifes di sentra-sentra kekuasaan negara. 
Tak dapat dimungkiri bahwa maraknya perilaku korup yang menjadi kausa prima kemiskinan struktural di negeri ini tidak lain adalah melembaganya sikap tamak, rakus, serakah, dan ingin cepat kaya meski dengan menghalalkan segala cara, telah berurat-akar pada hampir semua komponen masyarakat kita. Perilaku korup dalam skala "kacangan" hingga the white collar crime dilakukan secara masif dan terbuka. Ironisnya lagi, semua itu dilakukan dengan kebanggaan tanpa sedikit pun rasa malu dan pilu.
Tanpa sadar, korupsi yang telah melembaga dan menjadi tradisi di semua lingkup birokrasi, korporasi, bahkan inspeksi telah menimbulkan efek multi yang sangat parah dan serius. Sudah merupakan rahasia umum bahwa terjadinya kemiskinan struktural dan kultural maupun instabilitas serta dehumanisasi martabat bangsa adalah dampak langsung dari praktek korupsi yang dilakukan secara berjemaah. Meski berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, semuanya justru makin mempersubur tumbuhnya sel-sel baru yang dibangun oleh koruptor, predator, dan para kompradornya dengan intensitas dan modus yang lebih kompleks. 
Betapa tidak, karena motor penggerak pemberantasan korupsi sebelum terbentuknya KPK terkonsentrasi pada institusi Kejaksaan sesuai dengan mandat Undanf-Undang Nomor 3/1971. Dalam melaksanakan tugasnya, Kejaksaan menghadapi sederet persoalan sosio-yuridis. Untuk memulai penyidikan saja terhadap seorang oknum pejabat yang diduga sebagai pelaku korupsi, Kejaksaan harus memperoleh izin atasan yang berwenang. Belum lagi independensi dan integritas fungsionaris Kejaksaan, sangat diragukan. Sebab, bagaimanapun, institusi ini merupakan perpanjangan tangan langsung Presiden yang notabene kepala pemerintahan. 
Celakanya karena sebagian koruptor, predator, dan kompradornya justru berlatar belakang birokrat yang berkohabitasi dengan kaum kapitalis. Parahnya karena semua personalia Kejaksaan tidak lain adalah bagian dari struktur pemerintahan yang tentu dilekati kewajiban moral dalam bentuk solidaritas Korps PNS. Tidak mengherankan jika statistik keberhasilan pemberantasan korupsi pada fase ini menunjukkan grafik yang sangat buruk. Hampir semua kasus korupsi yang terdeteksi dan ditindak-lanjuti diputus bebas kalau bukan vonis ringan. Bahkan ada yang sudah bebas pada tahap penuntutan. Determinasi penegakan hukum terhadap para koruptor lebih banyak tersandera oleh mekanisme kompromi dan transaksional yang dikendalikan oleh koruptor, predator, dan kompradornya. 
Kegagalan misi pemberantasan korupsi ketika itu terjadi karena kesalahan penerapan strategi. Padahal korupsi telah didiagnosis sebagai extraordinary crime. Tetapi strategi pendekatan yang diterapkan masih dengan instrumen konvensional (ordinary crimes). Di mana penegakan hukum hanya ditangani oleh lembaga hipo-body. Padahal, dalam analogi, korupsi yang bersarang dalam tubuh Ibu Pertiwi bukan lagi penyakit biasa, melainkan telah menjadi kanker dengan stadium kronis, bahkan akut. Tindakan penyembuhan tentu tidak efektif jika menggunakan terapi konvensional, melainkan harus dengan metode penyembuhan super-body.

Berangkat dari kompleksnya persoalan pemberantasan korupsi di masa lalu yang terbukti sangat tidak efektif, digagaslah institusi penegak hukum yang bersifat independen dan ad hoc terhadap pemberantasan korupsi. Hal inilah yang mengerucut pada lahirnya institusi super-body sebagaimana tecermin dalam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dibentuk pada 2003. Anehnya, eksistensi KPK dewasa ini terus mengalami ancaman deotorisasi hingga pembubaran justru oleh sebagian legislator sendiri. Begitulah kelihaian para koruptor dan predator dalam memanfaatkan sentra kekuasaan negara seperti DPR sebagai kompradornya. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar