|
Semakin banyak
orang, ekonom sekalipun, membandingkan keadaan sekarang dengan krisis tahun
1998. Bayang-bayang masa krisis yang kini paling menyembul sangat boleh jadi
adalah defisit akun semasa (current
account/ transaksi berjalan) yang sudah berlangsung selama tujuh triwulan
berturut-turut dan mencapai puncak pada triwulan II-2013 ketika defisit
membubung jadi 9,8 miliar dollar AS atau setara 4,4 persen dari produk domestik
bruto.
Besaran defisit
ini merupakan rekor baru. Pada masa menjelang krisis 1998 pun defisit akun
semasa tak pernah separah itu. Sekalipun defisit akun semasa merupakan masalah
struktural sebelum krisis karena hampir selalu kita mengalaminya, tak pernah
menembus 4 persen produk domestik bruto (PDB).
Akun semasa
ibarat benteng pertahanan paling ampuh dan menjadi sumber kekuatan utama dalam
menghadapi gejolak eksternal. Akun semasa merupakan salah satu indikator yang
mencerminkan tingkat kesehatan perekonomian. Struktur perekonomian yang melemah
dan pertumbuhan ekonomi yang kurang berkualitas lambat laun akan menggerogoti
akun semasa dan merongrong keseimbangan eksternal.
Pertumbuhan
sektor penghasil barang (tradable)
sebelum krisis 1998 hampir selalu lebih tinggi ketimbang sektor jasa (non-tradable). Setelah krisis keadaan
berbalik. Selama kurun tahun 2000-2004, rata-rata pertumbuhan sektor tradable 3,6 persen, sedangkan sektor non-tradable 5,8
persen atau 1 berbanding 1,6 (1 : 1,6). Selama pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (2005-2013), pertumbuhan sektor tradable dan sektor non-tradable masing-masing
3,6 persen dan 8,2 persen atau 1 : 2,3. Kesenjangan pertumbuhan kedua sektor
ini kian menganga.
Kecenderungan
yang berlangsung belasan tahun tersebut otomatis memperlemah kapasitas
perekonomian untuk mengekspor barang, sementara selama 68 tahun merdeka kita
selalu defisit perdagangan jasa.
Akhirnya akun
semasa jebol. Namun, itu tak terjadi seketika. Pemburukan drastis sudah terjadi
sejak tahun 2010 ketika surplus akun semasa anjlok menjadi 5,1 miliar dollar
AS, dari 10,6 miliar dollar AS tahun sebelumnya. Surplus semakin tergerogoti
hingga tinggal 1,7 miliar dollar AS. Pemburukan luar biasa terjadi tahun 2012
ketika akun semasa berbalik defisit sebesar 24,4 miliar dollar AS.
Pada masa Orde
Baru, defisit akun semasa ditutup dengan mengandalkan utang luar negeri dan
penanaman modal asing langsung (foreign
direct investment) yang kebanyakan berupa industri manufaktur berorientasi
ekspor. Investasi portofolio masih sangat kecil.
Dalam satu
dasawarsa terakhir, penanaman modal asing langsung di luar sektor pertambangan
dan perkebunan lebih banyak berorientasi pasar domestik sehingga porsi ekspor
Indonesia kian didominasi oleh hasil bumi yang harganya sangat berfluktuasi.
Peranan utang
luar negeri untuk menutup defisit akun semasa digantikan oleh investasi
portofolio yang sangat sensitif terhadap perubahan makroekonomi dunia seperti
yang terjadi dewasa ini. Investasi portofolio ini seperti ”jelangkung”: datang
tak diundang, pulang tak bilang-bilang.
Kedua perubahan
struktural di atas membuat perekonomian kian sensitif terhadap perubahan
lingkungan global.
Pilihan
kebijakan untuk jangka pendek sangat terbatas. Salah satu yang bisa dilakukan
segera adalah menjaga agar penanaman modal asing langsung terus naik. Pada
tahun 2011 dan 2012, investasi asing langsung melonjak, menembus 19 miliar
dollar AS setahun. Selama semester I-2013 investasi asing langsung cenderung
turun, hanya 8,1 miliar dollar AS. Sayangnya, arus investasi langsung ini
beriringan dengan peningkatan pesat repatriasi laba perusahaan asing yang
beroperasi di Indonesia.
Dalam dua tahun
terakhir, repatriasi laba perusahaan asing hampir 18 miliar dollar AS setahun.
Jadi, saldo yang masuk hanya sekitar 1,5 miliar dollar AS. Pada semester
I-2013, saldo ini melorot tajam menjadi hanya 232 juta dollar AS. Ditambah
dengan tekanan investasi portofolio yang kian banyak keluar, lalu lintas modal
masuk tak lagi mampu mengimbangi defisit akun semasa yang ”menggila”. Akhirnya,
sejak triwulan I-2013, neraca pembayaran menderita defisit. Nilai tukar rupiah
pun mau tak mau melorot.
Masih ada
sedikit waktu membujuk perusahaan-perusahaan asing agar lebih banyak
menginvestasikan kembali labanya. Tawaran ini belum kita jumpai dalam empat
paket kebijakan yang diumumkan pemerintah pada Jumat (23/8).
Kalau disadari
kondisi sekarang merupakan lampu kuning bagi perekonomian dan ancaman serius
terhadap momentum pertumbuhan berkelanjutan, harus muncul sense of crisis dan sense
of urgency. Kalau terapi kebijakan ekonomi sangat terbatas dan butuh waktu,
harus ada juga desakan moral (moral
suasion). Apa lagi kalau bukan tindakan yang bisa kita lakukan sekarang
juga, yaitu menjual kekayaan dalam bentuk mata uang asing yang dimiliki para
penyelenggara negara.
Presiden
memiliki 589.188 dollar AS (2011), Menteri Perdagangan memiliki 626.677 dollar
(2009), KSAD punya 450.000 dollar AS (2013), Kapolda Sumatera Selatan memiliki
100.000 dollar AS (2013), Menteri Keuangan punya 365.506 dollar AS (2012). Dua
unsur pimpinan DPR, Priyo Budi Santoso dan Lukman Hakim Saifuddin,
masing-masing memiliki 195.960 dollar AS dan 102.274 dollar AS (pelaporan
tertanggal 1 Desember 2009).
Dengan kekayaan
dalam valuta asing segelintir pejabat saja sudah mencapai 2,4 juta dollar AS,
bisa dibayangkan betapa besar kekuatan dari dalam diri penyelenggara negara
saja untuk memulihkan rupiah. Belum lagi beragam modus operandi sejenis ”dana
operasional” Kementerian ESDM yang baru saja ketahuan berjumlah 200.000 dollar
AS.
Jika tak kuasa
membantu, janganlah menjadi rayap-rayap yang menggerogoti sendi-sendi
perekonomian negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar