Rabu, 28 Agustus 2013

Mengukur Dampak Ekonomi Korupsi

Mengukur Dampak Ekonomi Korupsi
Vincent Didiek WA  ;    Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Pegiat Pendidikan Antikorupsi Pusat Studi Urban Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang
SUARA MERDEKA, 28 Agustus 2013


REPUBLIK ini telah 68 tahun merdeka, namun sejatinya belum terbebas dan merdeka dari korupsi. Keterungkapan berbagai kasus korupsi besar akhirakhir ini mengindikasikan bahwa kejahatan luar biasa itu makin sistemik dan melibatkan semua pihak, tak hanya pada aras daerah tapi juga nasional dan transnasional.

Diklasifikasikan kejahatan luar biasa karena ragam korupsi makin kompleks, sistemik, bahkan bersifat transnasional, semisal kasus yang melibatkan Kepala SKK Migas yang tertangkap tangan menerima suap fisik dengan nominal paling besar selama ini, setelah kasus Artalyta Suryani, yaitu senilai Rp 8,13 miliar (SM, 15/8/13).

Korupsi masif akan melapukkan eksistensi sebuah negara dan menggerus ketatapamongan yang baik. Sejarawan Inggris Arnold Toynbee (1975) mengingatkan bahwa negara besar bisa dengan mudah runtuh karena korupsi, seperti Romawi atau organisasi VOC yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah kolonial Belanda pada abad pertengahan di Indonesia. Menurut AA Yusuf (2012) korupsi berisiko mengurangi kesejahteraan masyarakat melalui penurunan efisiensi statis.

Besarnya dampak bergantung apakah hasil korupsi itu dibelanjakan di luar negeri atau dalam negeri. Bila dibelanjakan di luar negeri dampaknya lebih besar karena ada devisa mengalir ke luar negeri. Investasi di pasar modal Singapura misalnya, 40% dimiliki oleh orang Indonesia. Menurut KPK, 50% lebih hasil korupsi di Indonesia ditransfer ke luar negeri.

Tidak Efisien

Beberapa negara ditengarai menjadi surga pencucian uang (Cayman Island) karena tak bersedia meratifikasi konvensi internasional antipencucian uang. Tidak adanya persetujuan ekstradisi antara Indonesia dan Singapura menyulitkan penyelidikan kasus korupsi. Pengalokasian sumber daya dalam perilaku pemburu rente, yaitu praktik kongkalikong (KKN) antara oknum pengusaha dan pejabat pengambil keputusan publik dalam berbagai bentuk biasanya berwujud peraturan, yang kemudian akan menguntungkan pengusaha pemberi gratifikasi.

Praktik berbisnis seperti ini menyebabkan pasar tidak efisien dan ketidakefisienan itu harus ditanggung konsumen dengan mendapatkan harga yang lebih mahal dari seharusnya.

Dampak selanjutnya adalah mendorong berkurangnya produktivitas ekonomi karena akses hanya dipegang oleh pengusaha tertentu pemburu rente. Korupsi berdampak negatif terhadap investasi langsung ataupun sumber daya manusia. Berkaca pada pengalaman negara lain, Susan Rose (2011) menjelaskan terjadinya korupsi masif di Mexico dibandingkan dengan Finlandia yang bersih dari korupsi.

Akibatnya, rakyat Meksiko harus menanggung pajak 20% lebih besar ketimbang rakyat Finlandia. Korupsi juga meningkatkan kesenjangan distribusi pendapatan antara masyarakat miskin dan kaya, yang dalam ilmu ekonomi dikenal dengan koefisien indeks GINI. Kesenjangan juga berwujud pada bidang pendidikan, dan kesenjangan kepemilikan faktor produksi.

Dampak negatif korupsi secara ekonomi bisa diukur dengan opportunity cost, yakni hilangnya kesempatan karena terjadi korupsi, dengan simulasi model matematika ekonomi computable general equilibrium (CGE) dan sebagainya. Kunio Yoshihara (1977) dan Richard Robinson (1988) yang pernah meneliti masalah korupsi di Indonesia menegaskan temuannya bahwa sejak zaman Orba korupsi menjadi sistemik dan kompleks karena relasi birokrasi di Indonesia berwujud irasional.

Berbagai kasus korupsi, gratifikasi, dan manipulasi berakar dari koneksi dan konspirasi (kongkalikong) antara pejabat publik dan pengusaha. Tiga dekade lebih telah berlalu, namun persoalan relasi birokrasi irasional tetap terus terjadi di negara kita. Kompleksitas bentuk relasi irasional yang mencederai ketatapamongan yang baik makin besar karena melibatkan beberapa partai politik dan anggota legislatif.

Birokrasi Rasional

Upaya mewujudkan relasi birokrasi yang rasional yang menjamin ketatapamongan yang baik dan menjauhkan pemburu rente juga tidak mudah. Diperlukan kepemimpinan yang tegas dan bersih, serta iklim politik yang mencegah parpol untuk koruup.

Termasuk mencegah praktik korup dalam pilkada dan sejenisnya (politik dagang sapi), yang mengisyaratkan pengembalian modal penggunaan kampanye politik sebelum menjadi anggota legislatif yang menggerogoti anggaran belanja negara. Organ pemerintahan seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga harus berfungsi maksimal dalam mencegah persaingan usaha yang tak sehat yang menjurus pada pembentukan kartel sebagaimana terjadi pada konsesi minyak.

Cukup banyak bila saya uraikan karena hal itu juga terjadi pada impor daging sapi, beras, gula, kedelai, semuanya menyangkut hajat hidup banyak orang. Puluhan tahun telah berlalu namun tak banyak perubahan yang mengarah pada birokrasi rasional yang menjamin ada ketatapamongan yang baik, yang bisa menghindarkan praktik pemburu rente. Perlu ada perubahan mendasar di negara kita, dan untuk mewujudkan obsesi itu butuh kehadiran pemimpin yang mempunyai kepemimpinan yang berintegritas. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar