|
NAMA Jokowi kian populer
dalam jagat politik Tanah Air. Survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia
(LSI), Pusat Data Bersatu (PDB), Indonesia Research Center (ICR), dan Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengunggulkan mantan wali kota Solo yang kini
menjabat Gubernur DKI Jakarta itu sebagai tokoh politik yang punya
elektabilitas tertinggi seandainya pemilihan presiden diselenggarakan saat ini.
Elektabilitasnya mengungguli
tokoh senior politik, seperti Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla,
bahkan Megawati Soekarnoputri. Jokowi memang sebuah fenomena. Ia mampu
menaklukkan hati pemilih melalui gaya kepemimpinan politiknya. Model
kepemimpinannya ibarat oasis. Keberadaan oasis di tengah kegersangan
padang pasir selalu menimbulkan kesejukan, kedamaian, optimisme, dan keterpeliharaan
harapan.
Ketika kepemimpinan politik
dalam era reformasi terbukti tak berpihak pada rakyat, lebih mementingkan diri
dan kelompok, rakyat akan kecewa, bahkan muak. Ada kegersangan kepemimpinan
politik yang membutuhkan kepemimpinan alternatif. Model kepemimpinan Jokowi
yang autentik, polos, sederhana, jujur, dan visoner dipandang sebagai model
kepemimpinan alternatif. Karena itu, dia menjadi sosok yang dirindukan,
simbol optimisme sekaligus harapan.
Tentang visionernya Jokowi,
saya punya pengalaman pribadi. Ketika menjabat Sekretaris Komisi E DPRD Jateng
pada Juni 2008 saya memimpin rombongan komisi itu ke Pemkot Solo, guna memantau
objektivitas pelaksanaan penerimaan siswa baru dengan cara online. Sistem ini
diterapkan untuk menjamin objektivitas, dan menjauhkan dari praktik KKN. Untuk
meyakinkan kami, kepala Dinas Pendidikan Kota Solo mengatakan bahwa sistem
penerimaan siswa baru tersebut benar-benar objektif, bahkan anak Jokowi tidak
bisa diterima pada salah satu SMP negeri favorit di Kota Bengawan.
Bayangan saya ketika itu
langsung tertuju kepada para tokoh politik nasional. Pertengahan 2008 memang
menjadi tahun perekrutan caleg untuk Pemilu 2009. Ketika itu para tokoh politik
nasional menyodorkan putra dan putri mereka untuk menjadi caleg, tentu dengan hak-hak
istimewa. Pada saat yang sama, Jokowi ‘mengorbankan’ anaknya, tanpa melakukan ‘pembelaan’
supaya bisa diterima di SMP favorit, demi menegakkan sistem.
Membaca Peluang
Rombongan Komisi E kemudian
menuju Balai Kota Solo, untuk berdialog dengan Wali Kota Jokowi tentang
berbagai kebijakan, termasuk mengenai program Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
Surakarta (PKMS). Dalam pikiran saya, Jokowi memang benar-benar pemimpin. Dia
adalah kepala daerah visioner kedua yang pernah saya temui setelah I Gede
Winasa, ketika masih menjabat Bupati Jembrana Bali. Angan-angan saya, Indonesia
akan menjadi luar biasa bila model kepemimpinan Jokowi diterapkan oleh seluruh
pemimpin politik.
Kini, yang saya rasakan 5
tahun lalu, telah menjadi perasaan publik. Jabatan Jokowi yang diembannya
menjadi Gubernur DKI Jakarta makin memperkuat perasaan publik tersebut,
lebih-lebih ketika media menjadikannya sebagai ’’pacar’’. Seolah-olah Jokowi
diyakini menjadi Ratu Adil yang kehadirannya ditunggu-tunggu sebagaimana dalam
mitos politik Jawa. Berbagai survei terhadap tokoh politik tentang tingkat
elektabilitas capres kian mengibarkan Jokowi. Banyak pengamat mengatakan
seandainya maju menjadi capres 2014, Jokowi akan menjadi pemenang.
Bagaimana peluang Jokowi
untuk bisa maju menjadi capres 2014? Setidak-tidaknya ada tiga ”kendala” yang
mesti diperhatikan. Pertama; kemungkinan sikap PDIP untuk bisa mengusungnya.
Didukung publik seperti apa pun, Jokowi tidak akan pernah bisa meninggalkan
PDIP, partai tempat kekaderan politiknya bersemai. Melihat berbagai pernyataan
sikap perorangan fungsionaris partai itu, publik bisa pesimistis terhadap
kemungkinan PDIP mengusung Jokowi.
Ketua DPP PDIP Puan Maharani
misalnya, mengingatkan semua pihak untuk tidak memaksa partainya mengusung
Jokowi sebagai capres hanya karena hasil survei. Ketua DPP PDIP Effendi
Simbolon bahkan menyebut Jokowi belum matang dan tak akan dicapreskan tahun
2014. Body language yang bisa dibaca, PDIP ”belum ikhlas’’ mengusung Jokowi
sebagai capres 2014.
Kedua; menurut UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bisa jadi pencapresan Jokowi terkendala
pengunduran dirinya sebagai gubernur. Ayat (3) Pasal 29 UU tersebut menyebutkan
bila pemberhentian kepala daerah/ wakil kepala daerah dikarenakan atas
permintaan sendiri maka pimpinan DPRD mengusulkan pemberhentian dan diputuskan
dalam rapat paripurna.
Padahal mekanisme
pengambilan keputusan di DPRD, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2009
tentang MPR, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, diputuskan melalui
musyawarah mufakat. Jika tidak dapat dilakukan secara musyawarah mufakat maka
dilakukan melalui pemungutan suara. Prediksi saya, proses ini akan
menjadi sangat gaduh. Lebih-lebih saat ini PDIP hanya memiliki 11 kursi di DPRD
DKI Jakarta.
Ketiga; Jokowi akan dituduh
melanggar etika atau fatsoen politik. Tahun 2014 Jokowi baru genap 2
tahun menjadi Gubernur DKI Jakarta. Bila meninggalkan amanah rakyat hanya untuk
mengejar momentum elektabilitas, ia bisa disebut oportunis, berpolitik hanya
mengejar jabatan, kekuasaan dan sebagainya. Tentu analisis kendala itu masih
mendasarkan konfigurasi politik saat ini. Kita masih menunggu konfigurasi
politik setelah Pemilu Legislatif 2014 untuk bisa membaca kepastian peluang
pencapresan Jokowi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar