|
Tertangkap tangannya Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) terkait dengan dugaan menerima suap, 14 Agustus lalu, menjadi
kepala berita media cetak, elektronik, ataupun daring. Pemberitaan itu umumnya
lebih merupakan angle ketidakpercayaan terhadap "sosok" RR, yang
dikenal "baik dan bersahaja". Sebagian lain, berita-berita menyebutkan
bahwa siapa pun yang duduk sebagai pejabat di SKK Migas pasti terkena
"lumpur" ketidakberesan lembaga SKK Migas. Tidak terkecuali RR, yang
sebelumnya dikenal sebagai dosen teladan yang merakyat.
Tidak kurang Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan
juga sempat mengeluarkan pendapat, bahkan mengagumi, bahwa sosok RR adalah
orang baik dan sederhana. Pendapat berbeda dilontarkan Mahfud Md., mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi, tentang sosok RR. Mantan Kepala SKK Migas itu, menurut
Mahfud, justru perlu diwaspadai, karena dialah yang paling menentang keputusan
MK tentang pembubaran BP Migas. Ada apa dengan kengototan RR terhadap
pembubaran BP Migas? Hakim MK, dalam putusannya, menyebutkan BP Migas
bertentangan dengan konstitusi, sehingga perlu dibubarkan.
Akil Mochtar, Ketua MK, dan Kurtubi-pengamat migas-pernah
mengatakan pendirian BP Migas "inkonstitusional dan dituding sebagai
sarang korupsi, boros, pro-asing, serta gagal mencari sumber cadangan minyak
baru di Indonesia" (Kompas, 15/8).
Bahkan, menurut mereka, perubahan BP Migas menjadi SKK Migas ternyata
"tidak memiliki perubahan berarti, yakni sekadar ganti baju". Selain
pegawai, struktur organisasinya sama. Selain itu, "ada persoalan serius
dalam institusi tersebut" (Seputar
Indonesia, 15/8). Maka, sejauh apa pun pendalaman yang dilakukan oleh KPK
hanya akan mengarah pada penindakan.
Di sisi lain, dalam kaitan dengan pencegahan korupsi di SKK
Migas, harus diubah proses bisnis migas-nya. Salah satunya adalah dengan
mengubahnya menjadi badan layanan umum (BLU). Dengan menjadi BLU, maka unit
tersebut akan menjadi unit pemerintah (tidak lagi "swasta", sehingga
inkonstitusional, seperti kala BP Migas dibubarkan MK) dan sejalan dengan
pemikiran Kurtubi bahwa SKK Migas seharusnya lembaga negara (atau BUMN).
Selain itu, dengan BLU, maka pemerintah akan lebih dapat
mengendalikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor migas yang,
meskipun jumlahnya kian tahun semakin turun, dengan bertambahnya penerimaan
pajak, nilainya masih sangat besar. Persentase PNBP dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) mencapai sekitar 30 persen, dan sebagian besar
penerimaan PNBP tersebut berasal dari sektor migas, yang menjadi kewenangan SKK
Migas untuk mengumpulkannya.
Keuntungan lain dari BLU adalah pegawainya bisa berasal
dari pegawai negeri ataupun swasta. Tetapi yang lebih signifikan adalah Dewan
Perwakilan Rakyat akan dapat ikut mengendalikan anggaran BLU ini, persis
seperti yang dilakukan DPR terhadap rencana investasi pemerintah melalui Pusat
Investasi Pemerintah, yang juga merupakan institusi badan layanan umum di bawah
Kementerian Keuangan.
DPR bisa "menekan" lembaga BLU sektor migas ini
untuk "menambah" penerimaan PNBP jika menurut perhitungan mereka
masih dianggap terlalu kecil. Dengan demikian, persentase PNBP dalam APBN bisa
dikelola dengan baik oleh pemerintah, terlebih jika, misalnya, penerimaan
sektor pajak diperkirakan akan menurun, maka BLU sektor migas ini dapat
"dipaksa" menambah penerimaan negara melalui PNBP.
Jika opsi pembentukan BLU ini direalisasi, Dewan
Pengawas-nya akan lebih profesional. Saat ini Komisi Pengawas-nya terdiri atas
orang-orang super-sibuk, sehingga bisnis triliunan rupiah yang berada di bawah
domain SKK Migas seolah pekerjaan mengawasi secara sambilan bagi para anggota
Komisi Pengawas.
Saat ini Komisi Pengawas terdiri atas Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral sebagai Ketua; Wakil Menteri ESDM (Wakil Ketua); Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), yang masih dijabat Chatib Basri, yang
saat ini menjadi Menteri Keuangan (anggota); serta Wakil Menteri Keuangan Anny
Ratnawati (anggota), yang juga menduduki jabatan bejibun, termasuk anggota Tim
Evaluasi Penyerapan Anggaran serta Komisioner Otoritas Jasa Keuangan.
Komisi Pengawas SKK Migas ini bisa dipastikan kesulitan
mengumpulkan manusia-manusia yang super-sibuk tersebut. Dengan BLU, maka
orang-orang tersebut masih dapat menjadi kepanjangan tangan pemerintah, tapi
Dewan Pengawas-nya akan memiliki lebih banyak waktu untuk
"benar-benar" mengawasi jalannya proses bisnis sesuai dengan yang
telah dikaji KPK. Syarat pembentukannya yang business like, meskipun tidak berorientasi laba, juga cocok untuk
lembaga semacam SKK Migas, yang merupakan unit pengumpul pendapatan negara yang
signifikan di bawah jumlah penerimaan dari Direktorat Jenderal Pajak serta
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.
Untuk merealisasi pembentukan BLU ini, setidak-tidaknya
para pegawainya berasal dari tiga unit asal Ketua, Wakil Ketua, dan anggota
Komisi Pengawas SKK Migas, yaitu Kementerian ESDM, BKPM, dan Kementerian
Keuangan. Para pegawai Kementerian ESDM berperan sebagai ahli di bidang input
serta output minyak dan gas, pegawai dari BKPM berperan sebagai ahli di bidang
pemasaran karena mayoritas pemainnya adalah badan usaha yang terkait dengan
penanaman modal (baik dalam negeri maupun asing), sedangkan pegawai dari
Kementerian Keuangan berperan sebagai ahli di bidang outcome, yaitu bagi penerimaan negara.
Meskipun keberadaan lembaga BLU sektor migas ini tidak
otomatis akan berarti bebas dari korupsi, pengendalian yang berlapis akan
mengurangi kemungkinan terjadinya kecurangan (fraud), termasuk korupsi. Apalagi jika Dewan Pengawas-nya nanti
dibayar mahal dan "dilarang" menerima "penghasilan lain"
atau bekerja di tempat lain sebagaimana para pemimpin, penasihat, dan pegawai
KPK yang harus bekerja penuh di institusi tersebut. Penulis yakin bahwa lembaga
semacam ini akan mempersempit ruang gerak mafia migas. Apalagi jika mekanisme
pengoperasiannya dilakukan dengan berbagai bentuk lelang, sehingga pemerintah
akan mendapat penawar yang terbaik (the
best bidder) bagi penerimaan negara. Kapan lagi? Hitung-hitung sebagai
hadiah ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-68. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar