Senin, 26 Agustus 2013

SKK Migas (Seharusnya) Badan Layanan Umum

SKK Migas (Seharusnya) Badan Layanan Umum
Anies Said Basalamah  ;    Sekretaris Jenderal KPK, Mantan Wakil Ketua Tim Pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP)
KORAN TEMPO, 26 Agustus 2013


Tertangkap tangannya Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan dugaan menerima suap, 14 Agustus lalu, menjadi kepala berita media cetak, elektronik, ataupun daring. Pemberitaan itu umumnya lebih merupakan angle ketidakpercayaan terhadap "sosok" RR, yang dikenal "baik dan bersahaja". Sebagian lain, berita-berita menyebutkan bahwa siapa pun yang duduk sebagai pejabat di SKK Migas pasti terkena "lumpur" ketidakberesan lembaga SKK Migas. Tidak terkecuali RR, yang sebelumnya dikenal sebagai dosen teladan yang merakyat.
Tidak kurang Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan juga sempat mengeluarkan pendapat, bahkan mengagumi, bahwa sosok RR adalah orang baik dan sederhana. Pendapat berbeda dilontarkan Mahfud Md., mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, tentang sosok RR. Mantan Kepala SKK Migas itu, menurut Mahfud, justru perlu diwaspadai, karena dialah yang paling menentang keputusan MK tentang pembubaran BP Migas. Ada apa dengan kengototan RR terhadap pembubaran BP Migas? Hakim MK, dalam putusannya, menyebutkan BP Migas bertentangan dengan konstitusi, sehingga perlu dibubarkan. 
Akil Mochtar, Ketua MK, dan Kurtubi-pengamat migas-pernah mengatakan pendirian BP Migas "inkonstitusional dan dituding sebagai sarang korupsi, boros, pro-asing, serta gagal mencari sumber cadangan minyak baru di Indonesia" (Kompas, 15/8). Bahkan, menurut mereka, perubahan BP Migas menjadi SKK Migas ternyata "tidak memiliki perubahan berarti, yakni sekadar ganti baju". Selain pegawai, struktur organisasinya sama. Selain itu, "ada persoalan serius dalam institusi tersebut" (Seputar Indonesia, 15/8). Maka, sejauh apa pun pendalaman yang dilakukan oleh KPK hanya akan mengarah pada penindakan. 
Di sisi lain, dalam kaitan dengan pencegahan korupsi di SKK Migas, harus diubah proses bisnis migas-nya. Salah satunya adalah dengan mengubahnya menjadi badan layanan umum (BLU). Dengan menjadi BLU, maka unit tersebut akan menjadi unit pemerintah (tidak lagi "swasta", sehingga inkonstitusional, seperti kala BP Migas dibubarkan MK) dan sejalan dengan pemikiran Kurtubi bahwa SKK Migas seharusnya lembaga negara (atau BUMN). 
Selain itu, dengan BLU, maka pemerintah akan lebih dapat mengendalikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor migas yang, meskipun jumlahnya kian tahun semakin turun, dengan bertambahnya penerimaan pajak, nilainya masih sangat besar. Persentase PNBP dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai sekitar 30 persen, dan sebagian besar penerimaan PNBP tersebut berasal dari sektor migas, yang menjadi kewenangan SKK Migas untuk mengumpulkannya.
Keuntungan lain dari BLU adalah pegawainya bisa berasal dari pegawai negeri ataupun swasta. Tetapi yang lebih signifikan adalah Dewan Perwakilan Rakyat akan dapat ikut mengendalikan anggaran BLU ini, persis seperti yang dilakukan DPR terhadap rencana investasi pemerintah melalui Pusat Investasi Pemerintah, yang juga merupakan institusi badan layanan umum di bawah Kementerian Keuangan. 
DPR bisa "menekan" lembaga BLU sektor migas ini untuk "menambah" penerimaan PNBP jika menurut perhitungan mereka masih dianggap terlalu kecil. Dengan demikian, persentase PNBP dalam APBN bisa dikelola dengan baik oleh pemerintah, terlebih jika, misalnya, penerimaan sektor pajak diperkirakan akan menurun, maka BLU sektor migas ini dapat "dipaksa" menambah penerimaan negara melalui PNBP.
Jika opsi pembentukan BLU ini direalisasi, Dewan Pengawas-nya akan lebih profesional. Saat ini Komisi Pengawas-nya terdiri atas orang-orang super-sibuk, sehingga bisnis triliunan rupiah yang berada di bawah domain SKK Migas seolah pekerjaan mengawasi secara sambilan bagi para anggota Komisi Pengawas. 
Saat ini Komisi Pengawas terdiri atas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai Ketua; Wakil Menteri ESDM (Wakil Ketua); Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), yang masih dijabat Chatib Basri, yang saat ini menjadi Menteri Keuangan (anggota); serta Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati (anggota), yang juga menduduki jabatan bejibun, termasuk anggota Tim Evaluasi Penyerapan Anggaran serta Komisioner Otoritas Jasa Keuangan. 
Komisi Pengawas SKK Migas ini bisa dipastikan kesulitan mengumpulkan manusia-manusia yang super-sibuk tersebut. Dengan BLU, maka orang-orang tersebut masih dapat menjadi kepanjangan tangan pemerintah, tapi Dewan Pengawas-nya akan memiliki lebih banyak waktu untuk "benar-benar" mengawasi jalannya proses bisnis sesuai dengan yang telah dikaji KPK. Syarat pembentukannya yang business like, meskipun tidak berorientasi laba, juga cocok untuk lembaga semacam SKK Migas, yang merupakan unit pengumpul pendapatan negara yang signifikan di bawah jumlah penerimaan dari Direktorat Jenderal Pajak serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.
Untuk merealisasi pembentukan BLU ini, setidak-tidaknya para pegawainya berasal dari tiga unit asal Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Komisi Pengawas SKK Migas, yaitu Kementerian ESDM, BKPM, dan Kementerian Keuangan. Para pegawai Kementerian ESDM berperan sebagai ahli di bidang input serta output minyak dan gas, pegawai dari BKPM berperan sebagai ahli di bidang pemasaran karena mayoritas pemainnya adalah badan usaha yang terkait dengan penanaman modal (baik dalam negeri maupun asing), sedangkan pegawai dari Kementerian Keuangan berperan sebagai ahli di bidang outcome, yaitu bagi penerimaan negara.

Meskipun keberadaan lembaga BLU sektor migas ini tidak otomatis akan berarti bebas dari korupsi, pengendalian yang berlapis akan mengurangi kemungkinan terjadinya kecurangan (fraud), termasuk korupsi. Apalagi jika Dewan Pengawas-nya nanti dibayar mahal dan "dilarang" menerima "penghasilan lain" atau bekerja di tempat lain sebagaimana para pemimpin, penasihat, dan pegawai KPK yang harus bekerja penuh di institusi tersebut. Penulis yakin bahwa lembaga semacam ini akan mempersempit ruang gerak mafia migas. Apalagi jika mekanisme pengoperasiannya dilakukan dengan berbagai bentuk lelang, sehingga pemerintah akan mendapat penawar yang terbaik (the best bidder) bagi penerimaan negara. Kapan lagi? Hitung-hitung sebagai hadiah ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-68. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar