|
KRISIS ekonomi (dan finansial) pada umumnya datang secara
tiba-tiba. Meski demikian, pemerintah yang baik seharusnya dapat mengenali
tanda-tanda bahaya krisis dan menyiapkan langkah untuk mengatasinya. Namun, hal
tersebut tidak terjadi pada pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II. Pada
setiap kesempatan pemerintah selalu mengatakan bahwa ekonomi Indonesia sangat
baik dan sangat kuat secara fundamental.
Bahkan
pada 16 Agustus 2013, dalam pidato di hadapan anggota parlemen, Presiden secara
tegas mengatakan bahwa ekonomi Indonesia masih sangat bagus dengan tingkat
pertumbuhan terbesar kedua di dalam kelompok G-20, setelah China. Satu hari
(kerja) setelah itu, Senin (19/8), bursa saham Indonesia dan kurs rupiah turun
tajam.
Pelemahan
ini terus berlanjut hingga akhirnya pada 23 Agustus 2013, satu minggu setelah
pidato Presiden, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi sebagai upaya
untuk mengangkat kembali nilai rupiah dan indeks saham yang jatuh. Dalam
sepekan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun sekitar 9%. Kurs rupiah
merosot lebih dari 10% sepanjang 2013. Inflasi (year on year) sampai dengan Juli 2013 menurut Bank Indonesia (BI)
sebesar 8,61%.
Terlambat antisipasi
Optimisme
terhadap kondisi perekonomian kita tiba-tiba berubah menjadi kepanikan. BI juga
terlambat membaca tanda-tanda bahaya krisis yang sebenarnya dapat dikenali
sejak lama. Krisis umumnya diawali dengan bubble
yang kemudian pecah karena pemerintah tidak dapat mengantisipasi bubble tersebut. Perekonomian Indonesia
jelas mengalami bubble yang sudah
menggelembung sejak lama.
IHSG
melonjak dari 1.146 pada 17 November 2008 menjadi 5.145 pada 13 Mei 2013, atau
naik 4,5 kali lipat selama 4,5 tahun. Kenaikan indeks saham seperti ini jelas
menunjukkan bubble.
Kemudian,
ketika defisit neraca perdagangan memburuk sejak April 2012, tetapi IHSG tetap
naik secara konsisten, pemerintah dan BI seharusnya waspada. Tetapi, ini tidak
terjadi. Pemerintah bahkan mengatakan ekonomi Indonesia sangat kuat. Padahal
defisit neraca perdagangan sudah sedemikian kritis dan struktural.
Sejak
April 2012 neraca perdagangan bulanan selalu defisit kecuali tiga bulan saja
(Agustus dan
September 2012, Maret 2013). Karena tidak mengenali bahaya krisis,
ketika bubble mulai retak pada Senin (19/8), pemerintah dan BI menjadi panik.
Kepanikan
dan kegagapan dalam menyikapi kondisi ekonomi dan moneter terkini itu juga
terlihat dari langkah-langkah yang diambil oleh BI. Pada 23 Agustus 2013, bersamaan
dengan pemerintah, BI mengeluarkan paket kebijakan moneter yang terdiri dari
lima langkah--terkesan kebijakan ini diambil berdasarkan coba-coba. Ketika
pelemahan indeks saham dan kurs rupiah masih berlanjut, BI kemudian mencoba
lagi dengan senjata pamungkasnya, yaitu menaikkan BI rate dari 6,5% menjadi 7%.
Kenaikan BI rate ini diharapkan dapat menahan laju inflasi serta anjloknya kurs
rupiah. Saya katakan senjata pamungkas karena kelihatannya BI tidak mempunyai
jurus lain lagi setelah ini untuk menahan merosotnya kurs rupiah, apabila
ternyata BI rate yang baru tidak efektif.
Pertanyaannya,
apakah kenaikan BI rate menjadi 7% akan berguna? Artinya, apakah kenaikan BI
rate dapat meredam laju inflasi dan menahan anjloknya kurs rupiah? Atau, kenaikan
BI rate malah akan menjadi masalah baru bagi perekonomian Indonesia?
Berdampak negatif
Kenaikan
BI rate menjadi 7% niscaya tidak dapat menahan laju inflasi. Sebab, inflasi
yang terjadi saat ini merupakan inflasi nonmoneter, atau inflasi yang
disebabkan bukan karena permasalahan moneter. Maka itu, inflasi tersebut tidak
dapat diselesaikan dengan kebijakan moneter.
Pertama,
inflasi saat ini disebabkan penaikan harga BBM yang memicu kenaikan harga
barang. Sebesar apa pun tingkat suku bunga acuan pasti tidak dapat menurunkan
kenaikan biaya dan harga barang yang disebabkan penaikan harga BBM.
Kemudian,
apabila tata kelola perdagangan kita masih seperti saat ini, amburadul dan
tidak terkendali, inflasi bahkan dapat meningkat lagi; setelah harga bawang
merah dan harga bawang putih meroket, disusul dengan kenaikan harga daging dan
cabai, dan sekarang disusul dengan melonjaknya harga kedelai.
Kenaikan
harga komoditas-komoditas tersebut murni karena salah kelola bidang
perdagangan, bukan karena masalah moneter. Jadi, kenaikan BI rate tidak akan
berdampak pada penurunan inflasi yang disebabkan faktor perdagangan itu.
Selanjutnya,
BI rate juga tidak dapat menahan
dolar AS terbang ke luar negeri apabila pengetatan (pengurangan bertahap)
kebijakan quantitative easing (QE)
benar-benar diberlakukan oleh Bank Sentral AS, The Fed. Pengetatan dipastikan
akan menyedot dolar AS ke tempat asalnya, meskipun BI rate berada di tingkat
7%, atau bahkan lebih. Selisih suku bunga (tambahan sebanyak 0,5%) tidak dapat
menahan dolar AS keluar dari Indonesia, dan oleh karena itu, tidak dapat
menahan merosotnya kurs rupiah.
Sebaliknya,
kenaikan BI rate bahkan dapat
berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi kita karena tingkat suku bunga
pinjaman akan naik, sektor properti dan otomotif akan terhambat.
Yang
lebih mengkhawatirkan lagi, kenaikan suku bunga deposito dan suku bunga pinjaman
akibat kenaikan BI rate dapat
menghambat konsumsi masyarakat dan investasi, yang keduanya saat ini menjadi
motor pertumbuhan ekonomi nasional.
Ekonomi
Indonesia, yang beberapa tahun belakangan ini mengalami bubble, sekarang mulai memasuki tahapan krisis. Kebijakan menaikkan
BI rate menjadi 7% sulit diharapkan
meredam laju inflasi dan menahan merosotnya kurs rupiah terhadap dolar AS.
Kenaikan BI rate malah dapat memperburuk kondisi ekonomi nasional dan
mempercepat pelambatan pertumbuhan ekonomi; konsumsi dan investasi akan turun. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar