|
PERTIKAIAN pro-Mursi versus anti-Mursi
tidak hanya bergolak di Mesir, tetapi juga di sini, baik di jalanan maupun di
dunia maya. Din Samsuddin menyerukan dukungan kepada presiden yang digulingkan
tentara tersebut. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) memprotes
kekerasan tentara di depan Kedubes Mesir di Jakarta.
Demikian
juga, penentangnya, seperti Guntur Romli, terus menguak sisi buruk para pegiat
Ikhwanul Muslimin di Twitter-nya.
Juga Zuhairi Misrawi, pegiat Baitul Muslimin (BM), dan Ulil Abshar Abdalla,
tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL), menyebut penyokong Ikhwanul Muslimin (IM)
sebagai islamis dan
pemahaman keislaman mereka sebagai islamisme.
Secara tersirat, keduanya dikaitkan dengan kelompok yang memperjuangkan
Islam politik, syariah, dan tidak toleran. Mengapa Islamis dan Islamisme mengandaikan makna sempit ini?
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
mengartikan islamis bersifat
Islam dan islamisme
bermakna ajaran Islam (halaman 549). Kata itu serapan dari bahasa Belanda islamiche dan belum memasukkan kata turunan islamist Inggris. Dalam pembentukan kata pelaku
dalam bahasa Inggris, seperti anthropologist dan psychologist,
KBBI menyebut dua kata itu antropolog dan psikolog, bukan antropologis dan
psikologis.
Dengan jelas, KBBI tidak sama sekali memaparkan takrif
yang stereotip. Sedangkan islamisme dan islamis dalam kamus Inggris, selain
mengandaikan pengertian KBBI, yaitu kepercayaan religius, prinsip atau jalan
Islam, menerakan sebagai gerakan revivalis Islam yang acap dicirikan dengan konservatisme
moral, literalisme, dan usaha untuk menerapkan Islam dalam seluruh ruang
kehidupan (The Free Dictionary). Namun demikian, kamus berwibawa seperti Cambridge Dictionary tidak menerakan arti dasar yang
terakhir.
Menariknya, kata islamist yang diterjemahkan dengan islamis digunakan untuk menggambarkan
kelompok yang memperjuangkan ideologi Islam dan secara otomatis berlawanan
dengan nilai-nilai universal. Hanya, siapa yang memiliki wewenang memutuskan
kelompok itu anti-universal atau tidak? Pada tataran etik, tentu orang-orang
beragama akan merujuk kepada gagasan normatif dengan fondasi keimanan
transendental. Sementara itu, kelompok ateis tentu menolak karena etika itu
dianggap kesepakatan dan tidak memerlukan Tuhan.
Tak Sejajar Agama Lain
Ketika islamis berarti
orang yang tertutup dan konservatif, mengapa tidak berlaku sama terhadap,
misalnya, Buddhis? Islamisme mengandaikan pandangan literalisme, sedangkan
Buddhisme tidak. Padahal, dalam kehidupan nyata, sebagian umat Buddha juga
menunjukkan sifat-sifat serupa yang ditempelkan pada islamisme. Tentu saja, pelabelan oleh sarjana
mengakibatkan istilah islamis dan islamisme lebih
menonjolkan pengertian yang tertutup.
Kalau istilah kunci, seperti Islam, hanya dengan ism dan ist bernada negatif, sedangkan
penyematannya pada nama agama lain tidak, pada gilirannya apa pun terkait
dengan agama Muhammad itu mengandaikan ketertutupan terhadap perkembangan baru.
Padahal, konsep Islam terhadap pelbagai isu tidak tunggal. Tujuan syariah (maqasid
al-syari'ah) bersifat progresif. Demikian juga, kaidah-kaidah fiqhyang mengandung lima asas
menunjukkan kelenturan praktik agama. Malah, adat-istiadat bisa menjadi hukum
apabila tidak bertentangan dengan dasar etik keagamaan (al-'adah
al-muhakkamah).
Pandangan sarjana Barat tentang islamisme hakikatnya menggambarkan
keyakinan umum mereka bahwa ada narasi besar tunggal yang mesti menjadi payung
semua bagi praktik kehidupan. Padahal, Nietzsche dan Lyotard juga meyakini
ketidakmungkinan adanya ideologi tunggal. Meski ada persaingan ideologi, dalam
praktik demokrasi pemenang persaingan akhirnya menjadi pemerintah bagi semua
golongan. Aneh, IM dikaitkan dengan ''islamisme''. Sedangkan, dalam penunjukan
menteri hingga gubernur, IM tidak mengambil semua jatah. Malah, Mursi
mempertahankan wakil presiden seorang perempuan Kristen Koptik. Pendek kata,
pemerintahan Mursi bersifat inklusif.
Karena itu, sesungguhnya pemerian kata islamisme bermasalah karena penggunaannya
tidak sejajar dengan agama-agama lain seperti Buddhisme, Yudaisme, dan
Konfusianisme. Ketiga yang terakhir tidak ditakrif dengan pengertian sektarian
dan primordial dalam kamus.
Sepatutnya, pengertian Islam itu merujuk kepada kitab suci yang dikaitkan
dengan kata kunci lain seperti iman, Tuhan, dan rasul. Dengan begitu,
pengertian Islam secara semantik merujuk kepada pandangan dunia (weltanschauung)
sumber asli. Tentu, kritik atas perilaku muslim tidak dapat dielakkan. Namun,
pelabelan seharusnya tidak ditumpangtindihkan dengan praktik. Banyak penganut
agama lain mempraktikkan apa yang dituduhkan kepada ''islamis'', namun tidak
memengaruhi pengertian nama agama tersebut dalam kamus. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar