|
Empat paket kebijakan diumumkan
pemerintah akhir minggu lalu. Menurut Menko Perekonomian, paket kebijakan
makroekonomi itu ditujukan untuk mencegah memburuknya perekonomian negara
menyusul ambruknya rupiah dan pasar saham.
Efektifkah kebijakan itu untuk
menyelamatkan ekonomi nasional? Reaksi pasar uang memperlihatkan, setelah paket
diumumkan justru indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia
(BEI) melemah pada perdagangan sesi siang. Rupiah sedikit menguat. Namun ada
pertanyaan: berapa besar Bank Indonesia (BI) mengguyur pasar pada hari itu?
Sementara respons pasar barang dan jasa tentu tidak ada indikator cepat untuk
bisa dilihat dari pengumuman paket kebijakan itu.
Satu hal yang menggembirakan,
dalam paket kebijakan itu pemerintah sudah berusaha mengoreksi pendirian awal
yang meyakini bahwa memburuknya perekonomian disebabkan efek global semata.
Juga, pemerintah menyadari perlunya dilakukan kebijakan jangka menengah untuk
memperbaiki struktur ekonomi.
Memang sejatinya melemahnya nilai
tukar rupiah, sulitnya memupuk cadangan devisa, dan lain-lain hanya gejala.
Namun rancangan itu tidak cukup untuk membangun benteng bagi ekonomi nasional.
Apalagi paket kebijakan tidak ditambah dengan dimensi ekonomi politik. Andai
paket tersebut dibacakan oleh Presiden SBY dan diawali dengan pidato menggelora
mengajak seluruh masyarakat untuk menyelamatkan ekonomi, maka paket itu akan
jauh lebih bermakna. Apalagi jika itu diikuti keputusan konkret, misalnya
mengeluarkan inpres percepatan pelaksanaan UU No 71 tentang Mata Uang Tahun
2011 yang mewajibkan transaksi dalam wilayah NKRI menggunakan rupiah.
Lebih baik lagi apabila pemerintah
mendorong para pejabat mengurangi simpanan dalam dolar. Pemerintah memiliki
data kekayaan semua pejabat publik, sehingga tahu persis berapa dolar yang akan
diguyurkan ke pasar jika kekayaan dipotong minimal separuhnya. Ke depan,
apabila transaksi dalam negeri tidak boleh lagi menggunakan dolar, maka
keinginan untuk menyimpan dolar atau mata uang asing lain akan berkurang.
Di Jepang, meski tabungan
masyarakat besar, tidak ada budaya menyimpan mata uang asing. Selain semua
transaksi dalam negeri menggunakan yen, kebijakan lain juga mendukung.
Misalnya, bank atau penukaran uang asing tidak bisa ditemukan dengan mudah.
Pada saat disampaikan Menko
Perekonomian, maka kebijakan penting itu hanya akan bersifat teknis ekonomis.
Dari sisi teknis, meski langkah untuk menguatkan ekonomi dengan memperbaiki
sektor riil sudah dibuat, arah pembangunan ekonomi jangka panjang masih banyak
disaput ketidakjelasan. Paket mengurangi defisit transaksi berjalan dengan
mendorong ekspor bahan mineral, misalnya, diharapkan mendulang devisa. Namun,
kebijakan itu memberikan sinyal ketidakjelasan pada arah pembangunan industri
nasional. Baru tahun lalu peraturan pelaksanaan UU No 4 Tahun 2009 tentang Kewajiban
Membangun Smelter dikeluarkan. Namun dengan paket itu, peraturan tersebut
dibatalkan sementara.
Demikian pula paket untuk menjaga
daya beli masyarakat dengan mengubah tata cara impor guna mencukupi
ketersediaan daging sapi. Pemerintah ingin mengendalikan inflasi, tetapi tetap
mengandalkan impor--karena yang dianggap bermasalah hanya tata cara impor,
bukan banjir impor daging sapi yang telah menghabiskan pasar bagi peternak
dalam negeri.
Sayang sekali, momentum Presiden
SBY memperbaiki pesan politik ekonomi dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2013
tidak dimanfaatkan dengan maksimal untuk membangun optimisme ekonomi nasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar