|
KENAIKAN harga kedelai yang mencapai Rp9.000 per kilogram
membuat perajin tempe/tahu kalap. Mereka berencana melakukan pemogokan nasional
bila pemerintah tidak segera membereskan persoalan kedelai ini.
Bulog
diharapkan segera berperan dengan kewenangan yang dimilikinya untuk menggelar
operasi pasar guna menekan harga kedelai sesuai harga eceran tertinggi di
tingkat perajin yakni Rp7.450. Harus diakui bahwa melemahnya rupiah yang
menembus angka 11.000 per dollar AS turut memengaruhi harga kedelai karena
kedelai kita dipenuhi kedelai impor dari AS. Inilah ironi negeri agraris yang
sungguh tidak membanggakan. Tanah Air yang konon subur gemah ripah loh jinawi
nyatanya memiliki ketahanan pangan yang rapuh.
Munculnya
krisis tempe benar-benar membuat kita risau. Mengapa? Karena bangsa Indonesia
telanjur suka makan tempe. Tempe adalah laukpauk bergizi dan berharga murah.
Bandingkan dengan saat kita menghadapi krisis daging sapi yang harganya
menembus Rp100.000 per kilogram, masyarakat seolah tak acuh terhadap kenaikan
daging sapi karena umumnya kita memang jarang makan daging. Daging adalah
makanan mewah bagi sebagian besar penduduk Indonesia, bahkan ada anggota
masyarakat yang hanya makan daging setahun sekali saat hari raya.
Kedaulatan
pangan yang rapuh dicerminkan oleh impor berbagai komoditas pangan mulai dari beras,
kedelai, susu, daging sapi, buah, dll. Sebagai negara agraris, Indonesia
ternyata harus impor kedelai kurang lebih 60% dari total kebutuhan kedelai
nasional. Kedelai Amerika yang bentuknya besar-besar ternyata lebih disukai
karena menghasilkan tempe yang lebih bagus. Dalam jangka panjang, Kementan
harus lebih serius dalam membenahi budi daya d kedelai, termasuk memotik vasi
petani kedelai dan segera memprogramkan pemanfaatan lahan-lahan tidur untuk
ditanami komoditas pangan termasuk kedelai.
Sebagai
makanan rakyat, tempe disukai karena rasanya enak. Etnik Jawa dapat dikatakan
sebagai penggemar tempe yang fanatik. Penduduk luar Jawa, ternyata, juga
menyukai tempe, tetapi tidak `segila' orang Jawa.
Di
negara maju seperti Amerika Serikat, produksi kedelai yang melimpah lebih
banyak digunakan untuk produksi minyak goreng. Sebagian lainnya diekspor ke
negara-negara konsumen kedelai termasuk Indonesia. Di Healthy Foodstore di sana dijual juga tempe untuk masyarakat Asia
yang bermukim atau sedang tugas belajar di Amerika. Dapat dikatakan bahwa tempe
sebenarnya telah menjadi makanan dunia.
Prof
Mary Astuti, seorang peneliti tempe dari UGM, menyatakan bahwa tempe semula
dikembangkan oleh masyarakat Jawa pada beberapa abad yang lalu. Pada sekitar
tahun 1600 telah tercatat bahwa Pangeran Tembayat pernah menyuguhi tamunya
dengan tempe.
Kajian
tentang tempe oleh para ahli baru dimulai ketika zaman pendudukan Jepang. Pada
saat itu para tawanan Jepang yang diberi ransum tempe dapat terhindar dari
disentri.
Kini
tempe diketahui berperan besar sebagai pangan sumber vitamin B12 dan kaya
antioksidan. Senyawa yang terakhir itu memungkinkan tempe dapat digunakan untuk
penangkal radikal bebas, mencegah penyakit degeneratif, dan menangkal proses
penuaan dini.
Berbagai
kajian telah membuktikan manfaat tempe untuk meraih hidup sehat. Formula tempe
yang diberikan pada anak-anak yang menderita diare kronis akan mempercepat
penyembuhannya. Diet tempe juga mampu meredam aterosklerosis pada hewan percobaan. Tempe mempunyai sifat hipokolesterolemia yang artinya dapat
menurunkan kadar kolesterol tubuh. Barangkali itu sebabnya mengapa penduduk
Okinawa di Jepang mempunyai rentang umur yang lebih panjang karena kegemarannya
mengonsumsi kedelai.
Sebagai
salah satu pangan tradisional, posisi tempe sulit tergantikan oleh pangan
lainnya. Bahkan sebagian masyarakat yang sudah makmur hidupnya, yang menu
makanan sehari-harinya banyak didominasi daging, ikan, atau telur, ternyata
masih merindukan tempe sebagai lauk selingan. Hal itu tidak terlepas dari
sejarah tempe yang panjang sebagai makanan rakyat yang sudah mendarah daging.
Dalam
sebuah buku berjudul Stop Aging Now
karya Jean Carper dinyatakan bahwa apabila burger Amerika yang kini menjadi
menu andalan di restoran fastfood
sebagian isinya (daging) diganti dengan kedelai, banyak anak muda yang akan
terselamatkan dari kanker. Terlalu banyak makan daging merah memang diduga akan
mencetuskan kanker. Dalam proses pemasakan, daging merah akan menghasilkan
amina heterosiklik yang bersifat karsinogen. Meski demikian, kita tidak usah
khawatir untuk mengonsumsi daging karena rata-rata orang Indonesia baru bisa
makan daging sekerat dua kerat seminggu, alias sangat sedikit.
Persoalan
kedelai mungkin sama rumitnya dengan persoalan beras. Artinya, petani kedelai
di Indonesia sama menderitanya dengan petani padi. Petani adalah rakyat yang
juga menginginkan hidup sejahtera. Mereka berhak menentukan pilihan komoditas
pangan apa yang akan ditanam. Kalau ternyata menanam jagung lebih menguntungkan,
mereka tidak peduli dengan budi daya kedelai.
Sebagai
negara yang memiliki lahan subur tersebar di mana-mana ternyata kita tidak
dapat mengandalkan sektor pertanian sebagai pendukung kesejahteraan masyarakat.
Yang terjadi justru masyarakat petani menjadi kontributor kemiskinan. Kesan
kuat yang muncul sekarang ini ialah bahwa petani merupakan profesi inferior.
Sektor
pertanian identik dengan sektor marginal. Kesan demikian tidaklah salah karena
data secara umum menunjukkan hal tersebut. Pada 1970-an kesejahteraan petani
dengan kesejahteraan tenaga kerja industri tidak begitu jauh berbeda. Namun
kini, keadaan tidak lagi berpihak pada petani. Industri melaju jauh lebih cepat
jika dibandingkan dengan sektor pertanian.
Serapan
tenaga kerja pertanian memang bertambah. Namun kalau sektor pertanian lebih
banyak dijejali dengan petani guram, sektor pertanian akan menjadi penyumbang
kemiskinan yang signifikan. Kita berharap bahwa kedaulatan pangan di negeri
agraris ini segera terwujud, termasuk kedaulatan tempe. Jangan biarkan
masyarakat berlamalama tanpa tempe karena tempe telah menjadi makanan idola
untuk seluruh lapisan masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar