|
Sajian kekerasan yang setiap hari muncul
di halaman koran dan layar telivisi membuat nyeri dada kita, baik kekerasan
yang dilakukan antarpribadi ataupun antarkelompok maupun kekerasan terhadap
anak dan istrinya sendiri. Kenyataan itu sungguh memukul harkat kemanusiaan
kita.
Dari hari ke hari, angka kekerasan terus meningkat, sementara pihak kepolisian tak bisa berbuat banyak, bahkan kadang-kadang mereka menjadi sasaran kekerasan. Bila keamanan negara saja tak mampu menghalau kekerasan, lalu kepada siapa lagi masyarakat akan meminta perlindungan? Padahal salah satu tugas negara adalah melindungi seganap tumpah darah Indonesia dari kekerasan. Kekerasan menjadi musuh bersama yang harus kita halau dari negeri gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo ini. Kekerasan merupakan petaka utama yang mengganggu harmoni kehidupan.
Kekerasan yang meningkat drastis memperjelas fakta bahwa bangsa ini mulai kehilangan sendi-sendi kemanusiaan. Nilai-nilai kasih sayang antarsesama tercerabut dalam interaksi keseharian. Semuanya tergantikan oleh keberingasan diri, sebagai kodrat negatif kemanusiaan, yang oleh Thomas Hobbes disebut sebagai homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi sesamanya. Kodrat serigala bagi sesamanya telah melahirkan petaka sosial berkepanjangan karena manusia telah membeda-bedakan dirinya dengan yang lain. Dalam perspektif filosofis, akar kekerasan muncul dalam fenomena identifikasi diri manusia ke dalam "aku dan kamu", dan lebih jauh lagi ke dalam "kita dan mereka".
Identifikasi tersebut yang selanjutnya menjadi akar lahirnya permusuhan yang berujung kekerasan. Pelaku kekerasan biasanya melakukan tindak kekerasan terhadap korbannya karena sebagai "sesama" manusia, mereka lebih menonjolkan keakuannya dan kekitaannya (Suratno, 2011). Hal ini dimungkinkan terjadi karena menurut Simmel (1995), manusia secara tak terhindarkan akan berhadapan dengan kondisi-kondisi epistemologis, yakni proses pengenalan manusia.
Proses meng-aku-kan dan meng-kita-kan serta meng-kamu-kan dan me-mereka-kan adalah proses pengasingan dalam pengenalan manusia sebagai sesama. Orang lain dianggap asing, bukan sekadar sebagai penduduk, warga negara, atau pengikut sebuah kelompok, melainkan lebih dari itu, asing sebagai manusia.
Pengasingan terhadap manusia yang lain lahir karena egoisme diri dan tidak menyadari kenyataan riil bahwa manusia sejatinya tak bisa hidup sendiri. Penyebutan manusia sebagai zoon politicion oleh Aristoteles menandai bahwa manusia sebenarnya tak bisa hidup sendiri. Mereka butuh yang lain dalam menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi (khalifah fil ard). Kebutuhan ini sejatinya merupakan kodrat manusia, tetapi kadang-kadang manusia mengelak dari kodratnya. Mereka seolah-olah bisa hidup tanpa manusia yang lain. Sementara keberadaan seseorang menjadi bermakna karena ada orang lain yang memaknai keberadaannya.
"Menjadi Manusia"
Setiap manusia prinsipnya menginginkan kehidupan yang damai dan bahagia. Bahkan Aristoteles berpendapat manusia sejatinya hanya mencari kebahagiaan. Kebahagiaan diburu banyak orang. Namun, setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam mencapai kebahagiaan. Anehnya, kadang-kadang sebagian manusia memilih kekerasan dalam mencapai kebahagiaannya. Kenyataan ini dapat kita saksikan dalam realitas keseharian bangsa Indonesia.
Betapa menjamurnya kekerasan mempertegas bahwa kekerasan masih saja diminati banyak orang sebagai cara mencapai kebahagiaannya. Mereka menganggap dengan melukai atau membunuh manusia lain, dirinya akan mendapat kebahagiaan dalam hidup walalaupun sejatinya manusia juga memiliki kecenderungan berbuat baik. Kecenderungan ini merupakan bawaan dasar manusia, yang selain cenderung berbuat destruktif (Tomas Hobbes), manusia cenderung berbuat konstruktif (Murtadha Mutahhari).
Mengapa kekerasan lebih sering terjadi ketimbang upaya membangun harmoni hidup yang berlandaskan cinta dan kasih sayang? Sebab manusia menjadikan manusia yang lain sebagai "musuh", bukan sebagai "kawan" dalam mencapai kebahagiaan yang menjadi kebutuhan dasar setiap manusia. Dalam pandangan Schmitt, distingsi yang khas dan bersifat final dari manusia, yaitu distingsi antara "friend (kawan)" dan "enemy (lawan)". Konsep kawan dan lawan ini bukanlah suatu metafor ataupun simbol, melainkan konsep yang harus dimengerti dalam pandangan yang konkret dan eksistensial. Kawan dan lawan dalam realitasnya selalu bersifat antinomi.
Timbulnya antinomi kawan dan lawan mengantarkan manusia pada sebuah permusuhan sehingga melahirkan kekerasan yang dalam bahasa Hobbes disebut sebagai bellum omnium contra omnes (perang semua melawan semua). Kekerasam ini sangat beragam sesuai dengan motif dan konteks di mana kekerasan atau perang itu terjadi. Kadang-kadang kekerasan terhadap anak dan istri pun terjadi. Kenyataan ini sungguh memukul nalar kemanusiaan kita. Bagaimana mungkin seorang suami bertindak kekerasan terhadap anak dan istrinya sendiri? Keluarga yang semestinya mendapat perlindungan malah menjadi objek kekerasan dari tangannya sendiri.
Lahirnya kekerasan sejatinya muncul akibat hilangnya kesadaran diri sebagai manusia yang tak dapat hidup tanpa orang lain. Bagaimanapun keadaannya, manusia tetap butuh orang lain. Karena itu, melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain merupakan pengingkaran terhadap tugas kemanusiaan, yang menurut Multatuli manusia memiliki tugas "menjadi manusia". Menjadi manusia, sudah pasti kita harus memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia berarti melakukan tindakan yang tidak merugikan manusia lain. Dalam hal ini kekerasan harus dihindari sebagai bentuk pemanusiaan manusia. Sebab kekerasan hanya akan melahirkan problem yang berkepanjangan.
Sebagai sesama manusia yang mengharapkan kedamaian dan kebahagiaan dalam hidup, kita harus saling melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill), dan memajukan (to promote) hak-hak manusia lain. Tindakan tersebut harus berjalan secara berkesinambungan karena hanya dengan cara seperti itu harmoni hidup yang damai dan membahagiakan akan terwujud. Semoga! ●
Dari hari ke hari, angka kekerasan terus meningkat, sementara pihak kepolisian tak bisa berbuat banyak, bahkan kadang-kadang mereka menjadi sasaran kekerasan. Bila keamanan negara saja tak mampu menghalau kekerasan, lalu kepada siapa lagi masyarakat akan meminta perlindungan? Padahal salah satu tugas negara adalah melindungi seganap tumpah darah Indonesia dari kekerasan. Kekerasan menjadi musuh bersama yang harus kita halau dari negeri gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo ini. Kekerasan merupakan petaka utama yang mengganggu harmoni kehidupan.
Kekerasan yang meningkat drastis memperjelas fakta bahwa bangsa ini mulai kehilangan sendi-sendi kemanusiaan. Nilai-nilai kasih sayang antarsesama tercerabut dalam interaksi keseharian. Semuanya tergantikan oleh keberingasan diri, sebagai kodrat negatif kemanusiaan, yang oleh Thomas Hobbes disebut sebagai homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi sesamanya. Kodrat serigala bagi sesamanya telah melahirkan petaka sosial berkepanjangan karena manusia telah membeda-bedakan dirinya dengan yang lain. Dalam perspektif filosofis, akar kekerasan muncul dalam fenomena identifikasi diri manusia ke dalam "aku dan kamu", dan lebih jauh lagi ke dalam "kita dan mereka".
Identifikasi tersebut yang selanjutnya menjadi akar lahirnya permusuhan yang berujung kekerasan. Pelaku kekerasan biasanya melakukan tindak kekerasan terhadap korbannya karena sebagai "sesama" manusia, mereka lebih menonjolkan keakuannya dan kekitaannya (Suratno, 2011). Hal ini dimungkinkan terjadi karena menurut Simmel (1995), manusia secara tak terhindarkan akan berhadapan dengan kondisi-kondisi epistemologis, yakni proses pengenalan manusia.
Proses meng-aku-kan dan meng-kita-kan serta meng-kamu-kan dan me-mereka-kan adalah proses pengasingan dalam pengenalan manusia sebagai sesama. Orang lain dianggap asing, bukan sekadar sebagai penduduk, warga negara, atau pengikut sebuah kelompok, melainkan lebih dari itu, asing sebagai manusia.
Pengasingan terhadap manusia yang lain lahir karena egoisme diri dan tidak menyadari kenyataan riil bahwa manusia sejatinya tak bisa hidup sendiri. Penyebutan manusia sebagai zoon politicion oleh Aristoteles menandai bahwa manusia sebenarnya tak bisa hidup sendiri. Mereka butuh yang lain dalam menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi (khalifah fil ard). Kebutuhan ini sejatinya merupakan kodrat manusia, tetapi kadang-kadang manusia mengelak dari kodratnya. Mereka seolah-olah bisa hidup tanpa manusia yang lain. Sementara keberadaan seseorang menjadi bermakna karena ada orang lain yang memaknai keberadaannya.
"Menjadi Manusia"
Setiap manusia prinsipnya menginginkan kehidupan yang damai dan bahagia. Bahkan Aristoteles berpendapat manusia sejatinya hanya mencari kebahagiaan. Kebahagiaan diburu banyak orang. Namun, setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam mencapai kebahagiaan. Anehnya, kadang-kadang sebagian manusia memilih kekerasan dalam mencapai kebahagiaannya. Kenyataan ini dapat kita saksikan dalam realitas keseharian bangsa Indonesia.
Betapa menjamurnya kekerasan mempertegas bahwa kekerasan masih saja diminati banyak orang sebagai cara mencapai kebahagiaannya. Mereka menganggap dengan melukai atau membunuh manusia lain, dirinya akan mendapat kebahagiaan dalam hidup walalaupun sejatinya manusia juga memiliki kecenderungan berbuat baik. Kecenderungan ini merupakan bawaan dasar manusia, yang selain cenderung berbuat destruktif (Tomas Hobbes), manusia cenderung berbuat konstruktif (Murtadha Mutahhari).
Mengapa kekerasan lebih sering terjadi ketimbang upaya membangun harmoni hidup yang berlandaskan cinta dan kasih sayang? Sebab manusia menjadikan manusia yang lain sebagai "musuh", bukan sebagai "kawan" dalam mencapai kebahagiaan yang menjadi kebutuhan dasar setiap manusia. Dalam pandangan Schmitt, distingsi yang khas dan bersifat final dari manusia, yaitu distingsi antara "friend (kawan)" dan "enemy (lawan)". Konsep kawan dan lawan ini bukanlah suatu metafor ataupun simbol, melainkan konsep yang harus dimengerti dalam pandangan yang konkret dan eksistensial. Kawan dan lawan dalam realitasnya selalu bersifat antinomi.
Timbulnya antinomi kawan dan lawan mengantarkan manusia pada sebuah permusuhan sehingga melahirkan kekerasan yang dalam bahasa Hobbes disebut sebagai bellum omnium contra omnes (perang semua melawan semua). Kekerasam ini sangat beragam sesuai dengan motif dan konteks di mana kekerasan atau perang itu terjadi. Kadang-kadang kekerasan terhadap anak dan istri pun terjadi. Kenyataan ini sungguh memukul nalar kemanusiaan kita. Bagaimana mungkin seorang suami bertindak kekerasan terhadap anak dan istrinya sendiri? Keluarga yang semestinya mendapat perlindungan malah menjadi objek kekerasan dari tangannya sendiri.
Lahirnya kekerasan sejatinya muncul akibat hilangnya kesadaran diri sebagai manusia yang tak dapat hidup tanpa orang lain. Bagaimanapun keadaannya, manusia tetap butuh orang lain. Karena itu, melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain merupakan pengingkaran terhadap tugas kemanusiaan, yang menurut Multatuli manusia memiliki tugas "menjadi manusia". Menjadi manusia, sudah pasti kita harus memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia berarti melakukan tindakan yang tidak merugikan manusia lain. Dalam hal ini kekerasan harus dihindari sebagai bentuk pemanusiaan manusia. Sebab kekerasan hanya akan melahirkan problem yang berkepanjangan.
Sebagai sesama manusia yang mengharapkan kedamaian dan kebahagiaan dalam hidup, kita harus saling melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill), dan memajukan (to promote) hak-hak manusia lain. Tindakan tersebut harus berjalan secara berkesinambungan karena hanya dengan cara seperti itu harmoni hidup yang damai dan membahagiakan akan terwujud. Semoga! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar