|
Pasal 9 UU No
42/2008 menetapkan sekurang-kurangnya 20 persen perolehan kursi DPR atau
minimal 25 persen perolehan suara secara nasional dari hasil pemilu legislatif
sebagai persyaratan bagi satu partai politik atau gabungan partai politik untuk
dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Partai kecil
menghendaki perubahan ketentuan tersebut sehingga menjamin peluang mengajukan
pasangan calon presiden dan wakil presiden. Partai besar menghendaki ketentuan
itu dipertahankan demi efektivitas pemerintahan presidensial.
Apakah
ketentuan Pasal 9 itu terbukti mampu menciptakan pemerintahan presidensial yang
efektif seperti yang dikemukakan partai besar? Apa kaitan antara ambang batas
persentase kursi/ suara untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden dan
wakil presiden dengan efektivitas pemerintahan presidensial?
Pemilu
nasional serentak
Berbeda dengan
pemerintahan parlementer yang tidak mengenal pemisahan kekuasaan antara
legislatif dan eksekutif, bentuk pemerintahan presidensial sangat mengedepankan
pemisahan kekuasaan legislatif dari eksekutif. Kalau perdana menteri dan para
menteri adalah juga anggota parlemen dalam pemerintahan parlementer, presiden
dan menteri tak boleh merangkap jadi anggota DPR dalam pemerintahan
presidensial.
Karena itu,
dukungan mayoritas parlemen terhadap rencana kebijakan kabinet dalam
pemerintahan parlementer relatif lebih terjamin, mengingat perdana menteri dan
para anggota kabinet merupakan bagian dari mayoritas parlemen. Tak demikian
halnya dengan pemerintahan presidensial. Dukungan mayoritas DPR terhadap rencana
kebijakan presiden hal yang tidak pasti karena mayoritas anggota DPR belum
tentu dari partai yang sama dengan presiden.
Uraian ini
hendak mengemukakan bahwa efektivitas pemerintahan bergantung pada dukungan
solid dari mayoritas anggota DPR. Efektivitas pemerintahan presidensial
dipertanyakan karena dukungan mayoritas DPR kepada presiden dalam sistem partai
pluralisme ekstrem amat sukar diciptakan.
Guna menjamin
dukungan solid DPR kepada presiden, dibuatlah ketentuan ambang batas 20 persen
kursi atau 25 persen suara bagi partai atau gabungan partai politik untuk dapat
mengajukan pasangan calon. Dengan demikian, rencana kebijakan publik yang
diajukan oleh presiden dan wakil presiden terpilih sekurang-kurangnya memiliki
dukungan 20 persen anggota DPR.
Apakah pasal
tentang ambang batas tersebut berhasil menciptakan pemerintahan presidensial
yang efektif? Dukungan dari 20 persen, bahkan 26 persen anggota DPR dari Partai
Demokrat, ternyata tidak cukup. Pasal ini ternyata tidak berhasil menciptakan
pemerintahan presidensial yang efektif. Yang dicapai pasal ini ternyata hanya
mengurangi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang bersaing
dalam pilpres.
Menyadari
dukungan dari Partai Demokrat saja tidak akan cukup, Presiden Yudhoyono
membentuk koalisi enam partai yang menguasai 426 kursi DPR. Akan tetapi,
koalisi yang mendukung Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II ternyata tak berhasil
menciptakan pemerintahan presidensial yang efektif. Padahal, UUD 1945 telah
menjamin kewenangan legislasi dan anggaran kepada presiden. Ketidakberhasilan
ini tidak hanya karena model kepeminpinan politik yang diadopsi presiden yang
kurang pas, juga karena format koalisi yang lebih bersifat transaksional.
Kalau ambang
batas tentang pencalonan tersebut gagal mewujudkan ”efektivitas pemerintahan
presidensial”, UU No 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden memang
perlu direvisi. Akan tetapi, revisi yang harus dilakukan mencakup dimensi yang
lebih luas. Revisi UU Pilpres hendaknya diarahkan untuk menciptakan
pemerintahan presidensial yang didukung koalisi dua atau tiga partai politik
yang tidak hanya menguasai lebih dari 50 persen kursi DPR, tetapi juga solid di
bawah kepemimpinan politik yang transformatif dari presiden terpilih. Desain
kelembagaan yang diperlukan adalah pemilu presiden dan wakil presiden
diselenggarakan serentak dengan pemilu anggota DPR dan DPD.
Setidaknya
terdapat empat konsekuensi politik yang akan timbul akibat desain kelembagaan
berupa pemilu nasional serentak ini. Pertama, partai politik memiliki waktu
yang memadai setidak-tidaknya 18 bulan untuk menjajaki dan mempersiapkan
koalisi dua atau tiga partai politik yang solid tidak berdasarkan transaksi
jabatan, tetapi berdasarkan kedekatan ”visi, misi, serta program transformasi
bangsa dan negara”. Juga kesepakatan mengenai pasangan calon presiden dan wakil
presiden yang dipandang mampu menyelenggarakan program transformasi bangsa dan
negara.
Kedua, materi
kampanye pasangan calon presiden dan wakil presiden sama dengan yang
disampaikan oleh parpol peserta pemilu legislatif yang menjadi anggota koalisi,
yaitu visi, misi dan program transformasi bangsa-negara yang disepakati bersama
oleh parpol anggota koalisi tersebut. Kesamaan ini akan sangat relevan baik
bagi koalisi yang akan memerintah karena memenangi pemilu maupun bagi koalisi
yang akan menjadi oposisi karena kalah dalam pemilu.
Ketiga, koalisi
dua atau tiga parpol yang memenangi pemilu presiden dan wakil presiden juga
akan memenangi mayoritas kursi DPR. Hal ini terjadi karena kecenderungan
pemilih untuk memilih anggota DPR yang berasal dari parpol yang sama dengan
parpol yang mencalonkan presiden. Siapa yang dipilih menjadi presiden
menentukan siapa yang akan dipilih jadi anggota DPR. Fenomena ini sudah teruji
pada berbagai penelitian di sejumlah negara, sering disebut sebagai coattail
effect.
Keempat, desain
kelembagaan ini juga secara ”lebih demokratis” akan mengurangi jumlah parpol
yang memiliki kursi di DPR. Suara pemilih akan cenderung mengarah pada dua
koalisi partai. Partai yang kurang menarik perhatian pemilih tidak akan
berhasil mencapai ambang batas masuk DPR.
Singkat kata,
desain kelembagaan berupa pemilu nasional serentak ini juga merupakan bagian
dari desain membangun sistem kepartaian pluralisme moderat. Sistem kepartaian
inilah yang disebut para politisi sebagai ”sistem multi-partai sederhana”.
Desain
kelembagaan
Apakah ambang
batas sesuai Pasal 9 UU No 8/2008 di atas masih diperlukan dalam desain
kelembagaan yang ditawarkan tersebut? Parpol peserta pemilu yang telah berhasil
mencapai ambang batas masuk DPR secara otomatis berhak mengajukan pasangan
calon presiden dan wakil presiden. Karena kecenderungan politisi Indonesia yang
berambisi jadi presiden tanpa pertimbangan saksama dan persiapan yang memadai,
atau tidak pernah ”kapok” jadi calon walaupun sudah lebih dari sekali ditolak
rakyat melalui pemilu, apakah diperlukan desain kelembagaan untuk memaksa
parpol berkoalisi dengan partai lain dalam berpartisipasi dalam pemilu
nasional?
Tiga jawaban
hendak diberikan atas pertanyaan ini. Pertama, desain kelembagaan yang
diperlukan bukan ambang batas kursi atau suara untuk dapat mengajukan calon
presiden dan wakil presiden, melainkan keharusan setiap partai anggota koalisi
mendapatkan persetujuan anggota partai pada akar rumput, baik terhadap ”visi, misi,
dan program transformasi bangsa-negara” maupun ”pasangan bakal calon presiden
dan wakil presiden” yang disepakati bersama. Para pemimpin partai anggota
koalisi dan pasangan bakal calon presiden/wakil presiden perlu berdialog dengan
para anggota partai pada akar rumput untuk mendapatkan kepercayaan tersebut.
Kedua,
pentingnya pendidikan politik bagi pemilih dalam menentukan pilihan pada pemilu
presiden/wakil presiden. Pendidikan politik dimaksud adalah apa saja yang perlu
dipertimbangkan pemilih dan mengapa perlu dipertimbangkan dalam menentukan
siapa yang akan dipilih. Selain faktor integritas pribadi calon, yang perlu
dipertimbangkan adalah soal kemampuan mengambil keputusan secara cepat dan
tepat serta kepemimpinan politik untuk menyelesaikan permasalahan bangsa-
negara.
Ketiga, desain
kelembagaan berupa pasal yang berisi ketentuan yang harus ditaati perlu
dilengkapi pendekatan lain berupa ”pasar” dalam arti pemilihlah yang akan
menentukan pemenang dari suatu persaingan. Dalam mekanisme pasar, pemilih cenderung
memilih calon yang dinilai tidak hanya paling menguntungkan, juga paling baik.
Kalau
efektivitas pemerintahan presidensial yang jadi tujuan revisi UU Pilpres,
diperlukan waktu yang cukup: tidak hanya untuk berdialog menyamakan pemahaman
akan efektivitas pemerintahan presidensial, tetapi juga untuk menyusun UU
Pemilu Presiden yang baru. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar