Senin, 26 Agustus 2013

Aspek Repetitif Korupsi

Aspek Repetitif Korupsi
Daoed Joesoef  ;    Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
KOMPAS, 26 Agustus 2013


Di setiap media massa terlihat tiada hari tanpa berita tentang korupsi yang kian merajalela. Kejahatan ini selalu bertameng diktum hukum ”praduga tak bersalah”. Ia terus berkedok hal-hal subtil kehidupan beradab, berupa simbol keagamaan dan citra keguruan.

Yang terakhir ini terungkap ketika KPK menangkap tangan kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas. Aspek-aspek repetitif dari korupsi itu jelas mencerminkan betapa rentannya moral dan hukum di kalangan kita. Mengingat penanganan korupsi belum meningkat secara proporsional dengan kemerajalelaan tindakan koruptif, pemerintah diniscayakan berperan sentral, sebelum jauh terlambat. Preservasi suatu bangsa menuntut adanya bangsa bukanlah sekadar ”wilayah” atau ”lokalitas fisik”. Suatu bangsa adalah orang-orang yang ”berasosiasi dalam persetujuan mengenai keadilan”. Sedangkan kontinuitas tak dapat diandalkan tanpa tindakan pencegahan.
Moralitas tugas dan aspirasi
Merenungkan ”moral” perlu kiranya membedakan antara ”moralitas tugas” dan ”moralitas aspirasi”. Moralitas tugas mengendalikan manusia selaku warga negara (citizen). Ia bahkan dipertegas guna menopang program sosial yang tak bisa direduksi menjadi ekspresi hak-hak individual. Ia juga diharuskan merata di semua warga negara berhubung penugasan itu diarahkan ke tujuan spesifik tertentu.
Moralitas aspirasi berurusan dengan manusia yang berusaha menangani sebaik mungkin tanggung jawab yang begitu luas dari peranan human, yaitu tanggung jawab terkait dengan banyaknya kemungkinan kehidupan di luar perimeter ruang lingkup politik. Jadi moralitas ini mengendalikan kegiatan manusia di luar tugas-tugas sosial yang dia tanggung bersama warga negara lain. Dengan kata lain, moralitas aspirasi, a standard of excellence, mengendalikan aspirasi-aspirasi dengan menanyakan kegiatan aspiratif mana yang memang patut dilakukan oleh kapasitas human.
Distingsi antara moralitas tugas dan moralitas aspirasi menyatakan tak bijaksana, atau suatu kemustahilan, mengenai usaha menggabungkan ”manusia” yang baik dan ”warga negara” yang baik, dalam teori maupun praktik. Hukum tak dapat memaksa seseorang hidup sesuai ”kelebihan” (excellences) yang dimiliki. Maka demi mewujudkan workable standards of judgement hukum seharusnya berpaling pada kembaran dari moralitas aspirasi dalam relevansi langsung dengan hukum, tampil dalam penetrasi dari implikasinya.
Usaha manusia mengurangi peran ketidakrasionalan dalam urusan human sehari-hari sudah berjalan berabad-abad, antara lain melalui sistem pendidikan formal dan kemudian undang-undang wajib belajar. Namun, harus diakui tak mungkin memaksa manusia hidup rasional, hidup berpenalaran. Yang dapat kita lakukan adalah sebatas menjauhkan dari kehidupan human manifestasi yang lebih menonjol dari faktor ”kebetulan”, ”ketidakrasionalan”, dan ”takhayul”. Kita dapat ciptakan kondisi-kondisi esensial bagi eksistensi human yang rasional melalui kegairahan membaca dan belajar seumur hidup. Kebijakan seperti ini suatu keniscayaan, tetapi tetap bukan kondisi yang cukup bagi pencapaian tujuan tadi.
Moralitas aspirasi adalah moralisme ”hidup luhur”, suatu kehidupan yang membuktikan realisasi sepenuhnya dari kemampuan human. Bila seorang manusia tak mampu mencapai semua yang dia aspirasikan, dia jelas gagal, tapi dia bukan lalai tugas. Dia boleh saja disalahkan, tetapi bukan karena berkekurangan, melainkan karena keteledoran. Moralitas tugas memang kurang menuntut, tetapi jauh lebih streng dalam pertimbangannya.
Bila moralitas aspirasi berawal di puncak kinerja human, moralitas tugas berawal dari dan di dasar, karena ia menyiapkan ketentuan-ketentuan mendasar. Tanpa itu tak mungkin ada masyarakat teratur atau kalaupun ada, pasti gagal dalam misinya yang diarahkan ke suatu tujuan tertentu. Berarti moralitas tugas tak menyalahkan manusia karena gagal dalam memanfaatkan kesempatan demi penuntasan realisasi dari semua kemampuan potensialnya. Ia menyalahkan manusia karena gagal menghormati ketentuan-ketentuan fundamental dari kehidupan sosial human yang bermartabat.
Walaupun tak mungkin memaksa manusia menghayati hidup berpenalaran, antara pemaksaan dan ketidakpedulian terbentang suatu bidang cukup luas dari imbauan, insentif, dan lain-lain dorongan nirpaksa ke kehidupan yang lebih luhur. Maka diperlukan tindakan kenegarawanan guna melokasi bidang peluang sukses dalam membawa warga negara, melalui hukum, ke kehidupan yang layak dijalani.
Apabila kita renungi keseluruhan ragam isu moral, bisa kita bayangkan sejenis skala atau standar pengukuran yang dimulai dari dasar dengan permintaan dari kehidupan sosial dan terus berkembang ke capaian yang tertinggi dari aspirasi human. Di suatu titik di sepanjang skala tadi, ada petunjuk nirmata yang menandai pemisahan di mana berakhir tuntutan tugas dan berawal tantangan keunggulan. Keseluruhan bidang argumentasi moral didominasi oleh pertarungan mengenai lokasi dari petunjuk tersebut.
Distingsi antara moralitas aspirasi dan moralitas tugas bukan merupakan akhir dari proses argumentasi, melainkan justru titik di mana analisis sosial politik dimulai. Moralitas aspirasi berurusan dengan usaha manusia menempuh sebaik mungkin kehidupan human yang relatif singkat. Penganut pemikiran politik Hobbes mungkin menegaskan bahwa moralitas tugas hanya berurusan dengan upaya membuat kehidupan human yang relatif singkat menjadi sedikit kurang singkat. Kenyataannya tak sesederhana itu. Concern dari moralitas tugas jelas lebih daripada sekadar penanganan keselamatan fisik pribadi dan keterpaksaan yang memungkinkan kebahagiaan ala kadarnya. Awal kebijaksanaan seharusnya berupa pengakuan bahwa masalah krusial filosofi politik bukanlah menuntaskan bagaimana perluasan moralitas tugas, melainkan menetapkan seberapa jauh ia berani berkembang. Artinya, tujuan seharusnya bukan memadatkan dan meminimalkan sebanyak mungkin ekspresi hukum tentang moralitas tugas, melainkan mengembangkannya seluas mungkin guna memfasilitasi dan mendorong warga negara menunaikan moralitas aspirasinya.
Pendidikan
Berhubung korupsi terkait erat dengan kerancuan moral dan hukum, pemberantasannya meniscayakan penjernihan moral dan penyempurnaan keefektifan hukum, serentak dan terpadu, dalam rangka pembinaan kewarganegaraan (citizenship), serentak dan terpadu. Untuk moral diperlukan keterpaduan antara pendidikan formal (sekolah) dan pendidikan informal (keluarga) guna menghadapi pendidikan masyarakat yang tidak jelas penanggung jawabnya dan apa motivasinya. Sejauh mengenai hukum, perlu keterpaduan antara hukum sebagai struktur ketentuan, gejala historis, kenyataan sehari-hari, dan sistem nilai-nilai yang saling bersaingan.
Ada sesuatu yang antagonistik antara kebiasaan pikiran mencari panduan teoretis dengan apa yang membuat keputusan yang tepat menurut natur masalah. Teori, faktanya soal edukasi dan deliberasi, sama sekali bukan soal eksekusi. Maka di samping scientific means, yang diperlukan dalam membuat pilihan di antara perbedaan nilai, hakim jarang mencari juga kriteria dasar dari keputusan yang obyektif dan adil di luar hukum. Ada tendensi orang menganggap hukum adalah apa yang diantisipasi orang tentang apa yang (akan) diucapkan hakim di meja hijau.

Penyempurnaan keefektifan hukum merupakan tantangan bagi yuris sebagai yuris. Hukum tak hanya membentuk moral, tetapi juga dibentuk moral. Dalam proses membentuk dan dibentuk itu hukum menciptakan suatu dasar kepercayaan. Jika suatu masyarakat menginginkan perangkat hukum yang tepat, just laws, apakah ia boleh tak menghendaki cara/jalan (the means—prasyarat moral— bagi pencapaian tujuan, misalnya memberantas tuntas korupsi. Dunia boleh tenggelam, hukum harus tetap tegak, ditegakkan! Negara-bangsa Indonesia bukan sesuatu yang hanya berupa lokalitas fisik. Hotel adalah suatu lokalitas fisik. Ia butuh dan punya penghuni. Negara-bangsa tak perlu penduduk, orang-orang yang menghuninya, tetapi butuh dan punya warga negara. Pemerintah demokratis harus jadi tutor dan pelayan warga negaranya karena kewarganegaraan adalah suatu mindset, alam pikiran, bukan sekadar a state of mind, keadaan pikiran sesaat. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar