|
Di setiap media massa terlihat tiada
hari tanpa berita tentang korupsi yang kian merajalela. Kejahatan ini selalu
bertameng diktum hukum ”praduga tak bersalah”. Ia terus berkedok hal-hal subtil
kehidupan beradab, berupa simbol keagamaan dan citra keguruan.
Yang terakhir
ini terungkap ketika KPK menangkap tangan kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Migas. Aspek-aspek repetitif dari korupsi itu jelas
mencerminkan betapa rentannya moral dan hukum di kalangan kita. Mengingat
penanganan korupsi belum meningkat secara proporsional dengan kemerajalelaan
tindakan koruptif, pemerintah diniscayakan berperan sentral, sebelum jauh
terlambat. Preservasi suatu bangsa menuntut adanya bangsa bukanlah sekadar
”wilayah” atau ”lokalitas fisik”. Suatu bangsa adalah orang-orang yang
”berasosiasi dalam persetujuan mengenai keadilan”. Sedangkan kontinuitas tak
dapat diandalkan tanpa tindakan pencegahan.
Moralitas tugas dan aspirasi
Merenungkan
”moral” perlu kiranya membedakan antara ”moralitas tugas” dan ”moralitas
aspirasi”. Moralitas tugas mengendalikan manusia selaku warga negara (citizen). Ia bahkan dipertegas guna
menopang program sosial yang tak bisa direduksi menjadi ekspresi hak-hak
individual. Ia juga diharuskan merata di semua warga negara berhubung penugasan
itu diarahkan ke tujuan spesifik tertentu.
Moralitas
aspirasi berurusan dengan manusia yang berusaha menangani sebaik mungkin
tanggung jawab yang begitu luas dari peranan human, yaitu tanggung jawab
terkait dengan banyaknya kemungkinan kehidupan di luar perimeter ruang lingkup
politik. Jadi moralitas ini mengendalikan kegiatan manusia di luar tugas-tugas
sosial yang dia tanggung bersama warga negara lain. Dengan kata lain, moralitas
aspirasi, a standard of excellence, mengendalikan aspirasi-aspirasi
dengan menanyakan kegiatan aspiratif mana yang memang patut dilakukan oleh
kapasitas human.
Distingsi
antara moralitas tugas dan moralitas aspirasi menyatakan tak bijaksana, atau
suatu kemustahilan, mengenai usaha menggabungkan ”manusia” yang baik dan ”warga
negara” yang baik, dalam teori maupun praktik. Hukum tak dapat memaksa
seseorang hidup sesuai ”kelebihan” (excellences)
yang dimiliki. Maka demi mewujudkan workable standards of judgement hukum
seharusnya berpaling pada kembaran dari moralitas aspirasi dalam relevansi
langsung dengan hukum, tampil dalam penetrasi dari implikasinya.
Usaha manusia
mengurangi peran ketidakrasionalan dalam urusan human sehari-hari sudah
berjalan berabad-abad, antara lain melalui sistem pendidikan formal dan
kemudian undang-undang wajib belajar. Namun, harus diakui tak mungkin memaksa
manusia hidup rasional, hidup berpenalaran. Yang dapat kita lakukan adalah
sebatas menjauhkan dari kehidupan human manifestasi yang lebih menonjol dari
faktor ”kebetulan”, ”ketidakrasionalan”, dan ”takhayul”. Kita dapat ciptakan kondisi-kondisi
esensial bagi eksistensi human yang rasional melalui kegairahan membaca dan
belajar seumur hidup. Kebijakan seperti ini suatu keniscayaan, tetapi tetap
bukan kondisi yang cukup bagi pencapaian tujuan tadi.
Moralitas
aspirasi adalah moralisme ”hidup luhur”, suatu kehidupan yang membuktikan
realisasi sepenuhnya dari kemampuan human. Bila seorang manusia tak mampu
mencapai semua yang dia aspirasikan, dia jelas gagal, tapi dia bukan lalai
tugas. Dia boleh saja disalahkan, tetapi bukan karena berkekurangan, melainkan
karena keteledoran. Moralitas tugas memang kurang menuntut, tetapi jauh lebih
streng dalam pertimbangannya.
Bila moralitas
aspirasi berawal di puncak kinerja human, moralitas tugas berawal dari dan
di dasar, karena ia menyiapkan ketentuan-ketentuan mendasar. Tanpa itu tak
mungkin ada masyarakat teratur atau kalaupun ada, pasti gagal dalam misinya
yang diarahkan ke suatu tujuan tertentu. Berarti moralitas tugas tak
menyalahkan manusia karena gagal dalam memanfaatkan kesempatan demi penuntasan
realisasi dari semua kemampuan potensialnya. Ia menyalahkan manusia karena
gagal menghormati ketentuan-ketentuan fundamental dari kehidupan sosial human
yang bermartabat.
Walaupun tak
mungkin memaksa manusia menghayati hidup berpenalaran, antara pemaksaan dan
ketidakpedulian terbentang suatu bidang cukup luas dari imbauan, insentif, dan
lain-lain dorongan nirpaksa ke kehidupan yang lebih luhur. Maka diperlukan
tindakan kenegarawanan guna melokasi bidang peluang sukses dalam membawa warga
negara, melalui hukum, ke kehidupan yang layak dijalani.
Apabila kita
renungi keseluruhan ragam isu moral, bisa kita bayangkan sejenis skala atau
standar pengukuran yang dimulai dari dasar dengan permintaan dari kehidupan
sosial dan terus berkembang ke capaian yang tertinggi dari aspirasi human. Di
suatu titik di sepanjang skala tadi, ada petunjuk nirmata yang menandai
pemisahan di mana berakhir tuntutan tugas dan berawal tantangan keunggulan.
Keseluruhan bidang argumentasi moral didominasi oleh pertarungan mengenai lokasi
dari petunjuk tersebut.
Distingsi
antara moralitas aspirasi dan moralitas tugas bukan merupakan akhir dari proses
argumentasi, melainkan justru titik di mana analisis sosial politik dimulai.
Moralitas aspirasi berurusan dengan usaha manusia menempuh sebaik mungkin
kehidupan human yang relatif singkat. Penganut pemikiran politik Hobbes mungkin
menegaskan bahwa moralitas tugas hanya berurusan dengan upaya membuat kehidupan
human yang relatif singkat menjadi sedikit kurang singkat. Kenyataannya tak
sesederhana itu. Concern dari
moralitas tugas jelas lebih daripada sekadar penanganan keselamatan fisik
pribadi dan keterpaksaan yang memungkinkan kebahagiaan ala kadarnya. Awal
kebijaksanaan seharusnya berupa pengakuan bahwa masalah krusial filosofi
politik bukanlah menuntaskan bagaimana perluasan moralitas tugas, melainkan
menetapkan seberapa jauh ia berani berkembang. Artinya, tujuan seharusnya bukan
memadatkan dan meminimalkan sebanyak mungkin ekspresi hukum tentang moralitas
tugas, melainkan mengembangkannya seluas mungkin guna memfasilitasi dan
mendorong warga negara menunaikan moralitas aspirasinya.
Pendidikan
Berhubung
korupsi terkait erat dengan kerancuan moral dan hukum, pemberantasannya
meniscayakan penjernihan moral dan penyempurnaan keefektifan hukum, serentak
dan terpadu, dalam rangka pembinaan kewarganegaraan (citizenship), serentak dan terpadu. Untuk moral diperlukan
keterpaduan antara pendidikan formal (sekolah) dan pendidikan informal
(keluarga) guna menghadapi pendidikan masyarakat yang tidak jelas penanggung
jawabnya dan apa motivasinya. Sejauh mengenai hukum, perlu keterpaduan antara
hukum sebagai struktur ketentuan, gejala historis, kenyataan sehari-hari, dan
sistem nilai-nilai yang saling bersaingan.
Ada sesuatu
yang antagonistik antara kebiasaan pikiran mencari panduan teoretis dengan apa
yang membuat keputusan yang tepat menurut natur masalah. Teori, faktanya soal
edukasi dan deliberasi, sama sekali bukan soal eksekusi. Maka di samping scientific means, yang diperlukan dalam
membuat pilihan di antara perbedaan nilai, hakim jarang mencari juga kriteria
dasar dari keputusan yang obyektif dan adil di luar hukum. Ada tendensi orang
menganggap hukum adalah apa yang diantisipasi orang tentang apa yang (akan)
diucapkan hakim di meja hijau.
Penyempurnaan
keefektifan hukum merupakan tantangan bagi yuris sebagai yuris. Hukum
tak hanya membentuk moral, tetapi juga dibentuk moral. Dalam proses membentuk
dan dibentuk itu hukum menciptakan suatu dasar kepercayaan. Jika suatu
masyarakat menginginkan perangkat hukum yang tepat, just laws, apakah ia boleh tak menghendaki cara/jalan (the means—prasyarat moral— bagi
pencapaian tujuan, misalnya memberantas tuntas korupsi. Dunia boleh tenggelam,
hukum harus tetap tegak, ditegakkan! Negara-bangsa Indonesia bukan sesuatu yang
hanya berupa lokalitas fisik. Hotel adalah suatu lokalitas fisik. Ia butuh dan
punya penghuni. Negara-bangsa tak perlu penduduk, orang-orang yang menghuninya,
tetapi butuh dan punya warga negara. Pemerintah demokratis harus jadi tutor dan
pelayan warga negaranya karena kewarganegaraan adalah suatu mindset, alam pikiran, bukan sekadar a state of mind, keadaan pikiran sesaat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar