|
Maraknya kasus kekerasan seksual
terhadap anak, akhir-akhir ini, sungguh sangat memprihatinkan. Tak heran, jika
banyak media massa nasional maupun internasional (seperti BBC) memaklumatkan
Indonesia pada 2013 mengalami kondisi darurat kekerasan seksual terhadap anak.
Sungguh bahaya besar bagi kehidupan kita sebagai bangsa bila hal itu dibiarkan!
Sebab, kejahatan seksual terhadap anak telah merampas bukan hanya nyawa, tapi
juga masa depan anak-anak penyintas alias survivors
(mereka yang mengalami pelecehan tapi tidak sampai kehilangan nyawa).
Oleh karena itu, semua elemen
bangsa ini perlu mewaspadai para psikopat predator seksual di sekitar kita yang
berpotensi melakukan aksinya terhadap anak-anak kita. Apalagi, dalam banyak
kasus pelecehan anak, sebagian besar predator seksual yang melakukan pencabulan
itu ternyata orang dekat dari sang korban, mulai dari guru hingga tetangga dan
orangtua anak sendiri.
Jika didefinisikan secara
sederhana, psikopat adalah orang yang mengidap gangguan kejiwaan dan
kepribadian antisosial yang mewujud dalam bentuk emosi dangkal, gampang
meledak-ledak, tak bertanggung jawab, egosentris (berpusat pada diri sendiri),
serta kekurangan empati dan rasa penyesalan. Di sisi lain, seorang psikopat
memiliki kelebihan berupa: memiliki banyak gagasan, berwawasan luas, dan
bersikap manis, yang sayangnya semua unsur positif itu justru digunakan sebagai
alat untuk memuaskan hasrat menyimpang dari kepribadiannya yang terganggu itu.
Apabila mengacu pada Hervey
Checkley dalam buku lawasnya, The Mask of
Sanity (1941), setidaknya ada empat tipe psikopat.
Pertama, psikopat primer (primary psychopath) yang kebal terhadap
hukuman atau celaan. Mereka biasanya punya pemaknaan sendiri terhadap kehidupan
dan dunia di sekitar mereka.
Kedua, psikopat sekunder (secondary psychopath). Ini adalah tipe
psikopat pengambil risiko. Akan tetapi, berbeda dengan psikopat tipe pertama,
psikopat tipe ini justru mudah cemas dan merasa bersalah.
Ketiga, psikopat penuh temperamen
(distempered psychopath). Psikopat
tipe ini mudah marah dan cenderung menjadi pencandu obat, pedofilia, atau
pemerkosa berantai.
Keempat, psikopat kharismatis (charismatic psychopath). Ciri psikopat
ini adalah pandai bersilat lidah dan punya daya tarik alias kharisma luar
biasa. Termasuk ke dalam tipe ini, misalnya, adalah seorang pemimpin sekte
agama sempalan yang menyuruh pengikutnya melakukan tindak kriminal, seperti:
menipu untuk menggalang dana, melakukan bom bunuh diri, dan sebagainya.
Melihat keempat tipe di atas, maka
pelaku pencabulan terhadap anak-anak tergolong ke dalam psikopat tipe ketiga,
yaitu distempered psychopath. Namun, sesudah mengetahui tipe predator seksual
tersebut, bagaimana kita bisa mendeteksi potensi-potensi manusia semacam itu di
lingkungan kita?
Konsensus banyak psikolog
menunjukkan ada tujuh ciri psikopat, termasuk predator seksual. Apabila
seseorang di sekitar kita - termasuk orang terdekat kita sekalipun - memiliki
mayoritas ciri berikut terhimpun di dalam dirinya, maka kita harus waspada dan,
kalau belum terlambat, mencarikan pertolongan baginya.
Pertama, dia gagal mengikuti norma
sosial dan hukum sehingga berulang kali harus berurusan dengan pihak berwajib.
Kedua, dia berulang-ulang berbohong, pandai bicara, dan lihai menipu untuk
keuntungan pribadi. Ketiga, meledak-ledak dan tak punya perencanaan. Bahkan
kalau menginginkan sesuatu, dia ingin hal itu terlaksana detik itu juga.
Keempat, dia mudah tersinggung.
Kelima, dia tak peduli keselamatan
diri sendiri dan orang lain. Keenam, dia tak bertanggung jawab, misalnya
ditunjukkan dengan buruknya prestasi di dunia kerja. Ketujuh, dia nyaris tidak
punya rasa sesal, empati, atau bersalah sesudah melakukan perbuatan jahat
seperti menganiaya atau mencuri.
Perlindungan
Selanjutnya, ketika kita sudah
mampu mendeteksi para psikopat predator di sekitar kita, bagaimana membentengi
anak-anak kita dari predator seksual? Karena mustahil bagi kita untuk mengawasi
anak-anak 24 jam penuh, apalagi jika potensi predator seksual itu termasuk
lingkaran orang terdekat kita, maka kita perlu membekali anak-anak kita dengan
mekanisme pertahanan diri (self-defense
mechanism) yang cukup.
Untuk itu, penulis mengusulkan
tiga cara.
Pertama, anak-anak sedari awal
sudah harus mulai diperkenalkan konsep aurat. Maksudnya, sedari usia dini,
katakanlah 5-6 tahun, anak-anak mesti dijaga betul untuk tidak menunjukkan
organ intim mereka kepada siapa pun, termasuk orang terdekat dan orangtua
sendiri. Ini menjadi penting persis karena pelaku pencabulan terhadap anak-anak
kerap kali merupakan lingkaran orang yang dekat dengan korban anak.
Kedua, anak-anak seyogianya
dibekali dengan pendidikan bela diri. Tujuannya adalah melatih anak-anak sejak
dini supaya lebih mandiri dalam menjaga diri mereka. Sekaligus, pendidikan bela
diri akan melengkapi pribadi mereka dengan nilai-nilai keberanian agar mereka
bisa tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.
Terakhir, keluarga mesti
menumbuhkan iklim komunikasi yang hangat dan terbuka antaranggota keluarga
supaya anak sudah terbiasa sejak awal untuk bercerita soal peristiwa apa pun
yang menimpa mereka. Dengan demikian, segala potensi masalah bisa terdeteksi
sejak dini oleh keluarga untuk dirembukkan mekanisme penanganannya.
Dengan tiga solusi di atas, semoga
kita tidak perlu lagi menyaksikan tragedi mengerikan 'pelecehan seksual' yang
menimpa anak-anak. Ini penting agar kita bisa menciptakan suatu negeri di mana
anak-anak bisa tumbuh secara optimal menjadi pribadi yang bahagia dan
bermartabat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar