|
DIRATIFIKASINYA Konvensi Hak Anak oleh Indonesia pada tahun 1990
mengindikasikan komitmen untuk meningkatkan kualitas kehidupan anak. Konvensi
Hak Anak yang disetujui PBB pada 20 November 1989 itu mencakup hak sipil,
politik, sosial, ekonomi, dan budaya.
Meskipun
konvensi itu telah diratifikasi lebih dari 22 tahun silam, kehidupan anak masih
banyak yang terabaikan. Apabila kondisi ini tidak diperbaiki, perkembangan
kualitas generasi mendatang bisa berjalan lambat. Hal ini bertentangan dengan
komitmen untuk meraih kemajuan bangsa yang lebih baik ke depan. Padahal, ke
depan bonus demografi yang baru bisa kita manfaatkan jika sumber daya
manusianya berkualitas.
Perlindungan rendah
Belum
maksimalnya implementasi aturan dari konvensi hak anak membuat kebutuhan anak
tidak terpenuhi secara optimal, terutama dalam aspek yang paling esensial,
yaitu pendidikan dan kesehatan. Masalah lain adalah tidak dicatatnya kelahiran
anak oleh negara dan hadirnya pekerja anak.
Meski
pemerintah telah meratifikasi Konvensi ILO No 138 tentang umur minimum pekerja
anak dan Konvensi No 182 tentang penghapusan pekerja anak menjadi Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2003 yang tertuang dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 75,
faktanya kehadiran pekerja anak tak bisa dihindari. Hasil Survei Pekerja Anak
yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perburuhan
Internasional/ILO pada 2009 mencatat ada 4,1 juta anak usia 5-17 tahun yang
bekerja.
Ada banyak
faktor yang menyebabkan masih banyaknya pekerja anak di Indonesia. Kemiskinan,
lapangan kerja yang terbatas, dan terutama kurang intensifnya pengawasan dari
pemerintah. Hal ini diperparah oleh peran orangtua dan peluang dari dunia usaha
yang sekaligus menunjukkan bahwa ketiga pilar, pemerintah, masyarakat, dan
dunia usaha, turut berkontribusi terhadap lemahnya penerapan berbagai aturan
anak.
Orangtua
mendorong anaknya jadi pekerja anak terutama karena alasan ekonomi. Sementara
dunia usaha lebih diuntungkan dengan mempekerjakan anak karena mereka tidak
banyak tuntutan meskipun dibayar dengan upah rendah, tanpa jaminan pendidikan
dan kesehatan.
Di sisi lain,
pengakuan terhadap kehadiran sebagian anak di Tanah Air tidak pernah dilakukan
sehingga mereka tidak memiliki akta kelahiran. Hasil Susenas 2011, misalnya,
menunjukkan sekitar 40 persen anak usia 0-4 tahun tidak memiliki akta
kelahiran.
Padahal,
pemerintah telah meratifikasi Pasal 9 Konvensi Hak Anak tentang keharusan
melaporkan kelahiran untuk memperoleh akta kelahiran. Dengan tidak dimilikinya
akta kelahiran, anak-anak berisiko tinggi mengalami eksploitasi dari berbagai
pihak.
Kualitas
hidup rendah
Rendahnya
perlindungan terhadap anak-anak pada gilirannya menyebabkan anak memiliki
kualitas hidup rendah, terutama yang berkaitan dengan kapabilitas anak yang
mencakup pendidikan dan kesehatan.
Pada aspek
pendidikan hal itu terlihat dari banyaknya anak usia 5-17 yang tidak/belum
bersekolah. Hasil Susenas 2011, misalnya, menunjukkan sekitar 12,35 persen anak
usia 5-17 tahun tidak/belum bersekolah. Tidak banyak yang bisa diharapkan dari
anak-anak yang tidak memiliki pendidikan, dan hal ini merupakan potensi yang
hilang baik bagi anak maupun bangsa.
Lebih jauh,
Heckman dalam artikelnya, Science (2006),
menyebutkan bahwa untuk setiap investasi 1 dollar AS bagi pendidikan anak akan
memperoleh pengembalian sebesar 8 dollar AS ketika mereka dewasa.
Namun,
investasi yang besar terhadap pendidikan belum menjamin potensi yang
menguntungkan (potential gain) jika
tidak disertai dengan penguatan ekonomi penduduk miskin.
Masih banyaknya
anak yang tidak bersekolah di tengah gencarnya pemerintah memberi bantuan
terhadap siswa miskin merupakan penegasan akan hal itu.
Bantuan
terhadap siswa miskin memang dapat meringankan beban orangtua dalam
menyekolahkan anak, tetapi celakanya keluarga kerap lebih membutuhkan anak
bekerja ketimbang bersekolah untuk membantu ekonomi keluarga.
Selain pada
aspek pendidikan, rendahnya perlindungan terhadap anak juga terlihat pada aspek
kesehatan. Rendahnya perlindungan pada aspek kesehatan mengakibatkan tingginya
angka kematian anak, khususnya pada kelompok neonatum bayi dan anak balita.
Untuk kematian neonatum (usia di bawah satu bulan),
misalnya, keadaannya stagnan dalam lima tahun terakhir (2007-2012), yakni 19
per 1.000 kelahiran hidup (BPS, BKKBN,
Kemenkes, 2012).
Atas dasar itu,
sangat diharapkan tumbuhnya kesadaran semua pihak, terutama pemerintah, untuk
segera mengimplementasikan berbagai peraturan perlindungan anak. Anak-anak yang
berusia di bawah 17 tahun dan belum kawin memang belum memiliki hak pilih dalam
pilkada dan pemilu, tetapi tidak berarti kita boleh mengabaikan mereka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar