Selasa, 27 Agustus 2013

Belitan Masalah Anak Indonesia

Belitan Masalah Anak Indonesia
Razali Ritonga  ;    Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI
KOMPAS, 26 Agustus 2013


DIRATIFIKASINYA Konvensi Hak Anak oleh Indonesia pada tahun 1990 mengindikasikan komitmen untuk meningkatkan kualitas kehidupan anak. Konvensi Hak Anak yang disetujui PBB pada 20 November 1989 itu mencakup hak sipil, politik, sosial, ekonomi, dan budaya.
Meskipun konvensi itu telah diratifikasi lebih dari 22 tahun silam, kehidupan anak masih banyak yang terabaikan. Apabila kondisi ini tidak diperbaiki, perkembangan kualitas generasi mendatang bisa berjalan lambat. Hal ini bertentangan dengan komitmen untuk meraih kemajuan bangsa yang lebih baik ke depan. Padahal, ke depan bonus demografi yang baru bisa kita manfaatkan jika sumber daya manusianya berkualitas.
Perlindungan rendah
Belum maksimalnya implementasi aturan dari konvensi hak anak membuat kebutuhan anak tidak terpenuhi secara optimal, terutama dalam aspek yang paling esensial, yaitu pendidikan dan kesehatan. Masalah lain adalah tidak dicatatnya kelahiran anak oleh negara dan hadirnya pekerja anak.
Meski pemerintah telah meratifikasi Konvensi ILO No 138 tentang umur minimum pekerja anak dan Konvensi No 182 tentang penghapusan pekerja anak menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 yang tertuang dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 75, faktanya kehadiran pekerja anak tak bisa dihindari. Hasil Survei Pekerja Anak yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perburuhan Internasional/ILO pada 2009 mencatat ada 4,1 juta anak usia 5-17 tahun yang bekerja.
Ada banyak faktor yang menyebabkan masih banyaknya pekerja anak di Indonesia. Kemiskinan, lapangan kerja yang terbatas, dan terutama kurang intensifnya pengawasan dari pemerintah. Hal ini diperparah oleh peran orangtua dan peluang dari dunia usaha yang sekaligus menunjukkan bahwa ketiga pilar, pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha, turut berkontribusi terhadap lemahnya penerapan berbagai aturan anak.
Orangtua mendorong anaknya jadi pekerja anak terutama karena alasan ekonomi. Sementara dunia usaha lebih diuntungkan dengan mempekerjakan anak karena mereka tidak banyak tuntutan meskipun dibayar dengan upah rendah, tanpa jaminan pendidikan dan kesehatan.
Di sisi lain, pengakuan terhadap kehadiran sebagian anak di Tanah Air tidak pernah dilakukan sehingga mereka tidak memiliki akta kelahiran. Hasil Susenas 2011, misalnya, menunjukkan sekitar 40 persen anak usia 0-4 tahun tidak memiliki akta kelahiran.
Padahal, pemerintah telah meratifikasi Pasal 9 Konvensi Hak Anak tentang keharusan melaporkan kelahiran untuk memperoleh akta kelahiran. Dengan tidak dimilikinya akta kelahiran, anak-anak berisiko tinggi mengalami eksploitasi dari berbagai pihak.
 Kualitas hidup rendah
Rendahnya perlindungan terhadap anak-anak pada gilirannya menyebabkan anak memiliki kualitas hidup rendah, terutama yang berkaitan dengan kapabilitas anak yang mencakup pendidikan dan kesehatan.
Pada aspek pendidikan hal itu terlihat dari banyaknya anak usia 5-17 yang tidak/belum bersekolah. Hasil Susenas 2011, misalnya, menunjukkan sekitar 12,35 persen anak usia 5-17 tahun tidak/belum bersekolah. Tidak banyak yang bisa diharapkan dari anak-anak yang tidak memiliki pendidikan, dan hal ini merupakan potensi yang hilang baik bagi anak maupun bangsa.
Lebih jauh, Heckman dalam artikelnya, Science (2006), menyebutkan bahwa untuk setiap investasi 1 dollar AS bagi pendidikan anak akan memperoleh pengembalian sebesar 8 dollar AS ketika mereka dewasa.
Namun, investasi yang besar terhadap pendidikan belum menjamin potensi yang menguntungkan (potential gain) jika tidak disertai dengan penguatan ekonomi penduduk miskin.
Masih banyaknya anak yang tidak bersekolah di tengah gencarnya pemerintah memberi bantuan terhadap siswa miskin merupakan penegasan akan hal itu.
Bantuan terhadap siswa miskin memang dapat meringankan beban orangtua dalam menyekolahkan anak, tetapi celakanya keluarga kerap lebih membutuhkan anak bekerja ketimbang bersekolah untuk membantu ekonomi keluarga.
Selain pada aspek pendidikan, rendahnya perlindungan terhadap anak juga terlihat pada aspek kesehatan. Rendahnya perlindungan pada aspek kesehatan mengakibatkan tingginya angka kematian anak, khususnya pada kelompok neonatum bayi dan anak balita.
Untuk kematian neonatum (usia di bawah satu bulan), misalnya, keadaannya stagnan dalam lima tahun terakhir (2007-2012), yakni 19 per 1.000 kelahiran hidup (BPS, BKKBN, Kemenkes, 2012).

Atas dasar itu, sangat diharapkan tumbuhnya kesadaran semua pihak, terutama pemerintah, untuk segera mengimplementasikan berbagai peraturan perlindungan anak. Anak-anak yang berusia di bawah 17 tahun dan belum kawin memang belum memiliki hak pilih dalam pilkada dan pemilu, tetapi tidak berarti kita boleh mengabaikan mereka.  ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar