Rabu, 28 Agustus 2013

Pemilu dan Nepotisme Elektoral

Pemilu dan Nepotisme Elektoral
Arya Budi  ;    Peneliti Pol-Tracking Institute
KORAN TEMPO, 28 Agustus 2013


Sejak 1999 sampai menuju 2014, pemilu akhirnya menjadi regularitas aktivitas sosial-politik elite dan publik. Pemilu sepanjang satu setengah dekade ini secara konstitusional memberikan ruang bagi siapa pun untuk mengakses kursi parlemen dan eksekutif. Namun, sepanjang periode ini pula, ruang akses tersebut hampir selalu dijejali dengan model kandidasi pra-Indonesia atau tepatnya pra-demokrasi, yaitu sebentuk nepotisme baru.
Nalar kekerabatan menjadi semakin kuat dicangkokkan dalam demokrasi elektoral. Tentu dengan mengadaptasi logika sumber legitimasi baru: pilihan rakyat. Dan bukan titah raja/presiden yang pada era pra-Indonesia dan era Orde Baru sebagai sumber legitimasi politik. Kini, secara ide, sekuat apa pun karisma raja-atau "raja" kepala daerah-tak akan mampu menembus kursi parlemen dan eksekutif jika di bawah angka threshold. Sekalipun "raja-raja" ini menjadi sumber kekuasaan masyarakat pra-Indonesia (Benedict Anderson, 1973). Kekerabatan politik berubah menjadi nalar nepotistik jika masuk diskursus demokrasi elektoral semacam pemilu.
Fakta elektoral di Indonesia menunjukkan bahwa politik kekerabatan-terutama di level lokal-hampir selalu menembus akses jabatan publik. Michael Buehler (2013), misalnya, menyandingkan politik klan Limpo di Sulawesi Selatan dengan politik dinasti Ratu Atut di Banten. Dia melihat adanya kemiripan antara keluarga Limpo, yang berakar dari Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, dan kuatnya jejaring politik keluarga Gubernur Banten Ratu Atut. Seolah kini politik Indonesia berada di tengah-tengah perseteruan antara liberalisme dan komunalisme. Demokrasi elektoral memberikan ruang kesempatan bagi siapa pun untuk mengakses lorong kandidasi dalam pemilu baik eksekutif maupun legislatif. Sedangkan pada saat yang sama, nalar sosial kita memahami bahwa komunalisme dan kekerabatan adalah kebajikan politik sebagai pemeliharaan modal sosial.
Inkompatibelitas nalar sosial dengan nalar demokrasi ini menciptakan komunalisme menjadi sebentuk nepotisme baru. Nepotisme dalam demokrasi elektoral di Indonesia tidak hanya mengangkat para nepos (Latin: keponakan/cucu), tapi juga istri, anak, adik, kakak, dan juga kroni jejaring kekerabatan ke dalam proses elektoral. Sebagai misal, dalam sirkulasi kepemimpinan eksekutif, politik kekerabatan tak luput dari jebakan ini. Para kepala daerah yang telah selesai jabatannya-rata-rata dua periode jabatan-baik karena konsekuensi konstitusional maupun karena konsekuensi yudisial (baca: kasus hukum), digantikan oleh istri atau anaknya. Konkretnya, di Kota Cimahi, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Kendal, para istri menggantikan suaminya yang lengser sebagai kepala daerah. Sedangkan para bupati di Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Tangerang digantikan oleh anak laki-lakinya.
Politik dinasti seolah menjadi jebakan dalam berdemokrasi. Akses kekuasaan yang dibuka melalui pemilu justru memberikan sumber legitimasi semakin besar bagi "keluarga besar" karena para aristokrat berkuasa bukan dari penunjukan totaliter, melainkan mekanisme elektoral. Hal ini sudah mengakar jauh sejak era aristokrasi kerajaan di sepanjang Nusantara. Dalam tradisi kepemimpinan komunitas, orang yang berhak memimpin adalah dia yang sudah terbiasa bersinggungan dengan hal ihwal kepemimpinan. Anak raja pantas meneruskan takhta raja karena sang anak dianggap telah "terdidik" sebagai raja dalam aktivitas kerajaan. Hasilnya: kelas sosial apa pun di luar istana tak cukup pantas menjadi raja. Nalar sosial inilah yang menjelaskan kandidasi-sedarah selalu hampir memenangi pemilu.
Bahkan Filipina, yang sudah "diajari" Amerika menyelenggarakan pemilu sejak 1907, pun tak lepas dari politik kekeluargaan ini sampai pemilu 2016 ke depan (majalah Tempo edisi 27 Mei-2 Juli 2013, hlm. 114-116). Bobby M. Tuazon (2013) menyebutkan, politik Filipina berada di bawah kendali selama enam abad, yang akarnya dirunut sejak era para hacendado atau keluarga pemilik perkebunan atau hacienda. Sisa jejaknya, lanskap politik Filipini kini diwarnai oleh politik klan turunan Joseph Estrada. Bahkan petinju legendaris Manny Pacquio pun bergerak membentuk klan politik baru setelah kemenangannya pada 2010 sebagai anggota kongres, menggandeng adik dan istrinya ke kursi kekuasaan sebagai wakil distrik dan wakil gubernur.
Politik Filipina pun mafhum dengan dinasti Aquino dan Marcos selama puluhan tahun, baik di level nasional maupun lokal. Benigno "Noynoy" Aquino III, yang kini menjabat presiden, adalah generasi keempat setelah beberapa generasi: ibunya Corazon Aquino, ayahnya Benigno "Ninoy" Aquino Junior yang senator, kakeknya Benigno Aquino sebagai jubir dewan 1943-1944, dan terakhir buyutnya Servillano "Mianong" Aquino sebagai anggota kongres Malolos. Gurita keluarga Marcos pun masih terus bergerak sejak Ferdinan Marcos tumbang oleh people power pada 1986 terutama di Provinsi Ilocos Norte. Amerika juga tak lepas dari jebakan nepotisme elektoral bahkan dalam eskalasi nasional seperti jejaring keluarga Kennedy atau turunan keluarga Bush. Artinya, jika Presiden SBY tetap pada komitmen awal untuk tidak "menyiapkan" keluarganya dalam pemilu 2014, termasuk para nepos di luar istri dan anaknya, tentu demokrasi Indonesia paling tidak tetap dalam kondisi in progress.
Singkat kata, nepotisme, yang beradaptasi dengan bentuk-bentuk legitimasi elektoral, menjelma menjadi sebuah bentuk pembajakan demokrasi. Sebab, dalam beberapa kasus, model politik kekerabatan yang dicangkokkan dalam demokrasi elektoral hingga lolos dalam pemilu seperti ini lebih banyak didasarkan oleh dua hal: 1) distribusi sosial bagi siapa pun yang setia sepakat; dan 2) sekaligus intimidasi sosial bagi siapa pun yang tak loyal apalagi melawan. Orang menyebut nepotisme baru ini dengan sebutan-sebutan ilustratif macam bossism (Sidel 1999), sultanistic (Snyder 1992), cacique (Anderson 1988), atau warlordism (Clapham 1998).
Secara konstitusional dan gagasan demokrasi elektoral, tidak ada yang salah bagi kerabat pejabat mencalonkan diri dalam pemilu. Sepanjang memenuhi prosedur pemilu dan kualifikasi administratif kandidasi, setiap warga negara, baik kerabat horizontal (istri, kakak, adik, sepupu, dll) maupun vertikal (anak, bapak, ibu, cucu, dll), dijamin oleh konstitusi Indonesia.
Namun bentuk nepotisme baru ini sedikit banyak membajak demokrasi ke dalam pola-pola yang akhirnya cenderung destruktif. Kekerabatan bekerja melalui nalar "kekeluargaan" dalam mengelola negara. Hasilnya, konspirasi genetik menembus fungsi-fungsi kelembagaan negara, baik di ranah intra-eksekutif, intra-legislatif, maupun inter eksekutif dan legislatif. Akibatnya, pemeliharaan akses material negara secara koruptif oleh struktur pemerintahan dinastik akhirnya gagal mendistribusikan kesejahteraan bagi publik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar