|
Sejak
1999 sampai menuju 2014, pemilu akhirnya menjadi regularitas aktivitas
sosial-politik elite dan publik. Pemilu sepanjang satu setengah dekade ini
secara konstitusional memberikan ruang bagi siapa pun untuk mengakses kursi
parlemen dan eksekutif. Namun, sepanjang periode ini pula, ruang akses tersebut
hampir selalu dijejali dengan model kandidasi pra-Indonesia atau tepatnya
pra-demokrasi, yaitu sebentuk nepotisme baru.
Nalar
kekerabatan menjadi semakin kuat dicangkokkan dalam demokrasi elektoral. Tentu
dengan mengadaptasi logika sumber legitimasi baru: pilihan rakyat. Dan bukan
titah raja/presiden yang pada era pra-Indonesia dan era Orde Baru sebagai
sumber legitimasi politik. Kini, secara ide, sekuat apa pun karisma raja-atau
"raja" kepala daerah-tak akan mampu menembus kursi parlemen dan
eksekutif jika di bawah angka threshold. Sekalipun "raja-raja" ini
menjadi sumber kekuasaan masyarakat pra-Indonesia (Benedict Anderson, 1973).
Kekerabatan politik berubah menjadi nalar nepotistik jika masuk diskursus
demokrasi elektoral semacam pemilu.
Fakta
elektoral di Indonesia menunjukkan bahwa politik kekerabatan-terutama di level
lokal-hampir selalu menembus akses jabatan publik. Michael Buehler (2013),
misalnya, menyandingkan politik klan Limpo di Sulawesi Selatan dengan politik
dinasti Ratu Atut di Banten. Dia melihat adanya kemiripan antara keluarga
Limpo, yang berakar dari Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, dan
kuatnya jejaring politik keluarga Gubernur Banten Ratu Atut. Seolah kini
politik Indonesia berada di tengah-tengah perseteruan antara liberalisme dan
komunalisme. Demokrasi elektoral memberikan ruang kesempatan bagi siapa pun
untuk mengakses lorong kandidasi dalam pemilu baik eksekutif maupun legislatif.
Sedangkan pada saat yang sama, nalar sosial kita memahami bahwa komunalisme dan
kekerabatan adalah kebajikan politik sebagai pemeliharaan modal sosial.
Inkompatibelitas
nalar sosial dengan nalar demokrasi ini menciptakan komunalisme menjadi
sebentuk nepotisme baru. Nepotisme dalam demokrasi elektoral di Indonesia tidak
hanya mengangkat para nepos (Latin:
keponakan/cucu), tapi juga istri, anak, adik, kakak, dan juga kroni jejaring
kekerabatan ke dalam proses elektoral. Sebagai misal, dalam sirkulasi
kepemimpinan eksekutif, politik kekerabatan tak luput dari jebakan ini. Para
kepala daerah yang telah selesai jabatannya-rata-rata dua periode jabatan-baik
karena konsekuensi konstitusional maupun karena konsekuensi yudisial (baca:
kasus hukum), digantikan oleh istri atau anaknya. Konkretnya, di Kota Cimahi,
Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Kendal,
para istri menggantikan suaminya yang lengser sebagai kepala daerah. Sedangkan
para bupati di Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Tangerang digantikan oleh anak
laki-lakinya.
Politik
dinasti seolah menjadi jebakan dalam berdemokrasi. Akses kekuasaan yang dibuka
melalui pemilu justru memberikan sumber legitimasi semakin besar bagi
"keluarga besar" karena para aristokrat berkuasa bukan dari
penunjukan totaliter, melainkan mekanisme elektoral. Hal ini sudah mengakar
jauh sejak era aristokrasi kerajaan di sepanjang Nusantara. Dalam tradisi
kepemimpinan komunitas, orang yang berhak memimpin adalah dia yang sudah
terbiasa bersinggungan dengan hal ihwal kepemimpinan. Anak raja pantas
meneruskan takhta raja karena sang anak dianggap telah "terdidik"
sebagai raja dalam aktivitas kerajaan. Hasilnya: kelas sosial apa pun di luar
istana tak cukup pantas menjadi raja. Nalar sosial inilah yang menjelaskan
kandidasi-sedarah selalu hampir memenangi pemilu.
Bahkan
Filipina, yang sudah "diajari" Amerika menyelenggarakan pemilu sejak
1907, pun tak lepas dari politik kekeluargaan ini sampai pemilu 2016 ke depan
(majalah Tempo edisi 27 Mei-2 Juli 2013, hlm. 114-116). Bobby M. Tuazon (2013)
menyebutkan, politik Filipina berada di bawah kendali selama enam abad, yang
akarnya dirunut sejak era para hacendado atau keluarga pemilik perkebunan atau
hacienda. Sisa jejaknya, lanskap politik Filipini kini diwarnai oleh politik
klan turunan Joseph Estrada. Bahkan petinju legendaris Manny Pacquio pun
bergerak membentuk klan politik baru setelah kemenangannya pada 2010 sebagai
anggota kongres, menggandeng adik dan istrinya ke kursi kekuasaan sebagai wakil
distrik dan wakil gubernur.
Politik
Filipina pun mafhum dengan dinasti Aquino dan Marcos selama puluhan tahun, baik
di level nasional maupun lokal. Benigno "Noynoy" Aquino III, yang
kini menjabat presiden, adalah generasi keempat setelah beberapa generasi:
ibunya Corazon Aquino, ayahnya Benigno "Ninoy" Aquino Junior yang
senator, kakeknya Benigno Aquino sebagai jubir dewan 1943-1944, dan terakhir
buyutnya Servillano "Mianong" Aquino sebagai anggota kongres Malolos.
Gurita keluarga Marcos pun masih terus bergerak sejak Ferdinan Marcos tumbang
oleh people power pada 1986 terutama di Provinsi Ilocos Norte. Amerika juga tak
lepas dari jebakan nepotisme elektoral bahkan dalam eskalasi nasional seperti
jejaring keluarga Kennedy atau turunan keluarga Bush. Artinya, jika Presiden
SBY tetap pada komitmen awal untuk tidak "menyiapkan" keluarganya
dalam pemilu 2014, termasuk para nepos di luar istri dan anaknya, tentu
demokrasi Indonesia paling tidak tetap dalam kondisi in progress.
Singkat
kata, nepotisme, yang beradaptasi dengan bentuk-bentuk legitimasi elektoral,
menjelma menjadi sebuah bentuk pembajakan demokrasi. Sebab, dalam beberapa
kasus, model politik kekerabatan yang dicangkokkan dalam demokrasi elektoral
hingga lolos dalam pemilu seperti ini lebih banyak didasarkan oleh dua hal: 1)
distribusi sosial bagi siapa pun yang setia sepakat; dan 2) sekaligus
intimidasi sosial bagi siapa pun yang tak loyal apalagi melawan. Orang menyebut
nepotisme baru ini dengan sebutan-sebutan ilustratif macam bossism (Sidel
1999), sultanistic (Snyder 1992), cacique (Anderson 1988), atau warlordism
(Clapham 1998).
Secara
konstitusional dan gagasan demokrasi elektoral, tidak ada yang salah bagi
kerabat pejabat mencalonkan diri dalam pemilu. Sepanjang memenuhi prosedur
pemilu dan kualifikasi administratif kandidasi, setiap warga negara, baik
kerabat horizontal (istri, kakak, adik, sepupu, dll) maupun vertikal (anak,
bapak, ibu, cucu, dll), dijamin oleh konstitusi Indonesia.
Namun
bentuk nepotisme baru ini sedikit banyak membajak demokrasi ke dalam pola-pola
yang akhirnya cenderung destruktif. Kekerabatan bekerja melalui nalar
"kekeluargaan" dalam mengelola negara. Hasilnya, konspirasi genetik
menembus fungsi-fungsi kelembagaan negara, baik di ranah intra-eksekutif,
intra-legislatif, maupun inter eksekutif dan legislatif. Akibatnya,
pemeliharaan akses material negara secara koruptif oleh struktur pemerintahan
dinastik akhirnya gagal mendistribusikan kesejahteraan bagi publik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar