|
Anies Baswedan,
dalam artikel di Kompas, 6 Juli 2007, memetakan secara kategoris jalur-jalur
sirkulasi kepemimpinan yang pernah terjadi di negeri ini: jalur pendidikan
(intelektual), militer, organisasi massa (aktivis), dan pasar/dunia bisnis.
Keempat jalur tersebut silih berganti ”memasok” para pemimpin nasional dalam
lintasan sejarah yang berlangsung lebih dari seabad belakangan.
Hari ini, kita
patut menimbang satu sumber baru: jalur daerah. Hasil survei Litbang Kompas (29/7/2013)
memperlihatkan sentimen positif publik perihal ”rahim” daerah sebagai jalur
kepemimpinan nasional. Sekitar 76 persen responden setuju agar pilpres membuka
pintu bagi gubernur/bupati/wali kota yang sukses memimpin daerahnya. Sumber
alternatif ini diyakini bisa menelurkan kandidat yang mampu bersaing dengan
pemimpin dari empat jalur itu.
Pada banyak
kesempatan, saya mencatat sejumlah figur mumpuni yang membuat yakin soal
kepatutan daerah sebagai kawah candradimuka mencetak genre baru
kepemimpinan di republik ini. Geliat menjanjikan jelas terlacak pada rekam
jejak sejumlah kepala daerah hebat, bukan bupati biasa, para inovator publik,
yang sebagian luput dari radar media nasional.
Mereka bekerja
dengan hati, beralas karakter kepemimpinan kuat. Sebagian sukses menginjeksi
nilai baru dan gagasan kemajuan dalam sektor publik, mengoperasikan keahlian
teknokrasi pembangunan populis, memandu jalannya reformasi birokrasi dan
layanan publik, mengapitalisasi keuangan yang terbatas sebagai instrumen fiskal
secara efektif dan akuntabel. Meski dalam skala terbatas, pemimpin lokal yang
sukses ini telah terlatih memimpin. Mereka adalah bukti nyata dari
pemerintahan yang bekerja.
Sentralisme
”cum” oligarki
Secara
teoritik, sentimen positif itu sejalan dengan konsepsi ideal desentralisasi.
Brian C Smith (1985), misalnya, secara tandas mematri salah satu tujuan
desentralisasi: sebagai training ground bagi para pemimpin lokal
sebelum naik kelas ke pentas nasional. Siapa pun yang menjadi presiden, anggota
DPR atau menteri, mestinya figur terlatih pada skala tertentu; bukan ready-made
politician. Jika terbukti berhasil di daerah, jendela peluang bagi sukses
mengelola politik/pemerintahan pada level nasional terbuka. Toh, tata kelola
suatu organisasi negara pada dasarnya berisi muatan lokal yang lekat.
Dalam konteks
kepemimpinan ini, selain dimensi isu lokal sendiri terkait ”replikasi” ke
daerah-daerah lain yang belum memiliki pemimpin unggul dan transformasi
kepemimpinan berbasis figur menjadi sistem terlembaga, mobilitas vertikal dari
aras lokal ke nasional adalah agenda lain yang belum didesain sistematis.
Dimensi isu vertikal ini lebih pelik masalahnya lantaran tidak saja terkait
kemampuan desentralisasi melahirkan figur-figur mumpuni, tetapi juga soal
keterbukaan sistem politik untuk ”mengalirkan” mereka dari lokal ke nasional.
Menilik
faktanya di negeri ini, jelas kita menghadapi kendala serius. Derajat
desentralisasi pemerintahan tak selaras dengan demokratisasi politik. Karakter
dan regulasi kepartaian ataupun mekanisme elektoral masih mengekalkan
sentralisme politik. Jangankan naik kelas ke level nasional untuk maju dalam
pemilihan lokal saja tampak begitu kuatnya intervensi elite pusat. Sebagian
figur bagus memang dicalonkan atas pertimbangan rasional dan kalkulasi riil
politik, tapi lebih banyak sebagai hasil transaksi di pasar gelap kekuasaan.
Rakyat dikorbankan sejak pilkada lantaran dihadapkan pada pilihan terbatas nan
buruk hingga lima tahun ketika mereka tak merasakan perbaikan kualitas hidup
lantaran payahnya kepemimpinan lokal. Semua itu bukan bagian dari kepedulian
partai, toh kepentingan mereka hanya sebatas urusan pencalonan dan sukses
bertransaksi besar.
Celakanya,
sentralisme itu mengerucut ke bentuk lebih padat dalam lingkaran
terbatas-tertutup: oligarki! Sesuatu yang nyaris alamiah dalam praktik politik
dan menjadi adagium dalam teori, sebagaimana penamaannya sebagai ”hukum besi
oligarki” oleh Robert Michels (1915). Kantong-kantong asal para elite adalah
kerabat/dinasti dari pendiri dan pemimpin partai, juga lembaga-lembaga formal,
seperti kabinet atau parlemen. Mereka jadi sumber perekrutan, setidaknya
penentu gerak sirkulasi. Akses ke lingkaran ini bukan main sulitnya: entah
melewati jalan panjang berupa ujian loyalitas dan pembuktian posisi tawar yang tinggi
(kapasitas intelektual, penguasaan basis massa) ataupun menerabas jalan pintas
dalam aneka rupa manuver dan transaksi.
Dalam struktur
relasi kuasa demikian, ikhtiar mengusung para pemimpin lokal ke level nasional
memang menempuh rute panjang. Karakter kepartaian dan regulasi pemilihan harus
bisa diubah untuk mendorong sistem politik terbuka. Di sejumlah negara yang
demokrasinya belum membasis dan terkonsolidasi, termasuk Indonesia, agenda
reformasi kepartaian dan elektoral ini jelas bukan hanya soal teknokratik,
melainkan politik lantaran inheren dalam struktur kekuasaan tadi. Maka, langkah
afirmatif yang paling fisibel adalah mengenalkan mekanisme inovatif—yang bisa
saja menabrak aturan yang memang sengaja direkayasa demi kepentingan elite
mapan—dalam pemilihan.
Pertama,
inovasi yang secara parsial kini diambil Partai Demokrat, atau Golkar pada
pilpres sebelumnya, berupa pemilu pendahuluan (primary election). Langkah ini
semestinya bukan hanya untuk capres, melainkan juga penyusunan caleg sehingga
daftar calon benar-benar berisi figur yang sudah lulus saringan internal
partai. Namun, lebih dari sekadar konvensi yang kriteria dan calon justru
ditentukan panitia, lembaga survei, atau elite partai, pemilu pendahuluan
adalah pasar terbuka yang bebas preferensi, apalagi intervensi. Proses
penjajakan, pengusulan nominasi, dan keputusan calon definitif diserahkan
sepenuhnya kepada suara konstituen partai, bahkan publik.
Kedua,
rekognisi calon perseorangan/ independen. Klaim bahwa parpol adalah pilar
demokrasi tak lalu berarti haramnya opsi nonpartai, terutama dalam struktur
relasi kuasa kepartaian yang sentralistis- oligarkis. Rute alternatif, berupa
jalur perseorangan, harus tetap disediakan sebagai bukti terbukanya sistem
politik. Dalam dunia yang kian maju, narasi besar dan jalur tunggal tak patut
terus dipertahankan. Basis-basis kepemimpinan dan sistem pengaderan bagi sektor
publik sudah dilakukan di banyak ranah/institusi, sebagian bahkan berhasil
membuktikan kemampuannya dalam politik lokal. Monolitisme jalur pemilihan lewat
partai adalah sumbatan yang melawan arus zaman yang justru menuntut kerangka
kepolitikan poliarkis.
Catatan
akhir
Terang bahwa,
jika Perancis memiliki Presiden Francois Hollande yang merupakan mantan Wali
Kota Tulle, Korea Selatan memiliki Presiden Lee Myung-bak yang sebelumnya
menjadi Wali Kota Seoul, atau Iran yang pernah dipimpin Mahmoud Ahmadinejad
yang lama mengurus kota Teheran, kita memiliki sederet pemimpin lokal hebat.
Ada Joko Widodo dari Solo dan kini di Jakarta, Herry Zudianto di Yogyakarta,
Tri Rismaharini di Surabaya, Tinro La Tunrung di Enrekang, dan Yusuf Wally di
Keerom (Papua).
Sebagian
merupakan kader partai, tetapi sistem pemerintahan desentralisasilah yang
membuat mereka mampu mengapitalisasi modal kepemimpinannya. Kalau saja sistem
politik mau terbuka menyalurkan mereka ke jalur nasional, modal terlatih dan
bukti keberhasilannya selama ini niscaya menyumbang berlipat ganda lagi bagi
kemajuan negara ini.
Tantangannya
bukan lagi pada diri mereka, melainkan lingkungan yang melingkupinya. Struktur
relasi kuasa kepartaian sentralistik-oligarkis dan miskinnya inovasi mekanisme
elektoral menjadi sumbatan besar. Mengurai titik pelik ini merupakan pekerjaan
besar bangsa ini untuk mendapatkan calon pemimpin segar, otentik, dan bermutu.
Jika tidak, mari kita hanya berpasrah atau bahkan berpuas diri dengan stok
kedaluwarsa yang ada. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar