|
DALAM Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte, Karl Marx
menulis, ‘Sejarah selalu berulang pada dirinya sendiri, ‘pertama sebagai
tragedi, kemudian menjadi lelucon’ (history repeats itself, ‘the
first as tragedy, then as farce.’) Sepertinya, taushiyah Marx
ini menjadi sangat relevan ketika kita memelototi stasiun televisi dan posting teman-teman di media sosial yang
memberitakan tragedi kemanusiaan di Timur Tengah sana.
Kudeta 1965
Di
tahun 1965, Partai Komunis Indonesia (PKI) sedang berada dalam kondisinya yang
paling prima. Ia ‘dekat’ dengan lingkar inti kekuasaan Bung Karno –yang
memerlukan PKI sebagai legitimasi kekuasaannya— memiliki basis-basis buruh dan
tani yang loyal, serta tidak memiliki pesaing politik yang setara setelah PSI
dan Masyumi, dibubarkan oleh Soekarno atas desakan TNI angkatan darat.
Satu-satunya pesaing politik PKI terkuat hanyalah TNI-AD
Namun,
sebuah kejadian yang berlangsung cepat di malam 30 September 1965 membuat
keadaan berubah 360 derajat. Tidak saja bagi PKI, tapi bagi bangsa ini secara
keseluruhan.
PKI dituding melakukan upaya
‘pengambilalihan kekuasaan secara tidak sah’ dengan menculik para Jenderal
Angkatan Darat. Isu ‘Dewan Jenderal’ dihembuskan. PKI memang sedang bersitegang
dengan militer dalam berbagai isu. Keesokan harinya, TNI-AD mengambil-alih beberapa
fasilitas publik dan mulai menyatakan ‘perang’ terhadap PKI dan
organisasi underbouw-nya.
Hari-hari
itu, setelah PKI dituduh sebagai ‘dalang’ dari percobaan pengambilalihan
kekuasaan dan pembunuhan para jenderal, mulailah dilakukan operasi ‘pembersihan’
besar-besaran terhadap semua elemen yang diduga PKI atau tersangkut PKI.
Setelah Jenderal Soeharto secara resmi mengambil alih kekuasaan pada 11 Maret
1966, bandul politik yang dulunya dikuasai oleh Soekarno, partai merah, dan
loyalis Sukarno, berubah arah. Militer menajamkan dominasinya dan, sesegera
mungkin, mulai melakukan proses pembersihan terhadap kekuatan paling berbahaya
di Indobnesia waktu itu: PKI. Ratusan ribu – bahkan tiga juta jiwa menurut
taksiran jenderal Sarwo Edi Wibowo, mertua presiden Susilo Bambang Yudhoyo,
mati berkalang tanah akibat operasi tumpas kelor itu. Ribuan orang lainnya
dipenjarakan dan dipekerja paksakan di Pulau Buru oleh rezim Orde Baru.
Aidit,
sang pemimpin partai, ditembak mati. Yang lain dibuang ke Buru, Plantungan, dan
beberapa daerah buangan lainnya. Selama lebih tiga dekade, mereka tak dianggap
sebagai warga negara yang punya hak, hanya karena satu label: PKI.
Memahami G30S mungkin tidak
semudah memahami Mesir dari kacamata Indonesia. Ada banyak sekali fragmen informasi
yang tertutup dan tercerai-berai. Semua hal yang berbau Marxisme, Leninisme,
atau anasir-anasir kiri, diberantas. Dokumen-dokumen semacam itu di
perpustakaan kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), menurut keterangan beberapa
dosen ‘saksi sejarah,’ dibakar dan tak ada lagi di kampus. Dari proses
pembersihan inilah, sebuah ‘tatanan dunia baru’ (New Order) segera
dicanangkan di Indonesia. Tatanan yang bertahan selama kurang lebih 32 tahun
dan ambruk di tahun 1998.
Sejarah yang berulang
Sekelumit
sejarah Indonesia ini memang kelam sekali jika dingat-ingat. Namun, persis
seperti kata Marx dulu, apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia 32 tahun silam
itu kini berulang, dengan bentuk dan ‘orang’ yang berbeda, di Mesir.
Setelah satu tahun dipimpin
oleh Mohammad Mursi, tokoh Ikhwanul Muslimin yang memenangi pemilu paling
demokratis pertama di Mesir tahun 2012, Mesir terus dihantui oleh berbagai
gejolak. Lanskap politik Mesir ketika Mursi menang Pemilu hampir sama dengan
kondisi Indonesia sebelum tahun 1965: terbagi oleh banyak sekali kubu-kubu
politik. Selain IM, kelompok ‘Islamis’ terbagi atas 2 kekuatan besar lain di
parlemen: Salafi dan Jama’ah Islamiyah. Belum lagi kaum ‘Islamis Moderat’ di
partai Wasat, Islah wa Nahdha, dan Masry Qawy,
yang dulunya adalah aktivis-aktivis Ikhwan sebelum dikeluarkan oleh tanzhim
Ikhwan (Wasat berdiri tahun 1996).
Tak ketinggalan, tentu saja,
kelompok Nasseris yang dipimpin Hamdeen Sabbahi, fraksi liberal Mohammad
El-Baradei, gerakan-gerakan kiri, aktivis Pemuda (Gerakan 6 April, Ahrar, RYC, dll), Wafd, hingga
orang-orang lama dari pemerintah Mubarak. Lebih dari 33 kekuatan politik
bertarung dalam lanskap politik Mesir.
Tapi
kita jangan melupakan satu kekuatan lain: militer. Mereka bukanlah orang-orang
yang cuma mengawasi perbatasan dan melakukan latihan untuk berperang. Di
saat-saat tertentu, militer bisa menjadi kekuatan politik yang sangat kuat.
Ketika
Mursi naik tahta di tahun 2012, ia mendapati masih kuatnya bayang-bayang
militer di pemerintah Mesir. SCAF, Dewan Tinggi Militer, punya jaring-jaring
yang diwarisi sejak Mubarak dulu. Tentu saja Mursi tak ingin pemerintahannya
digembosi dari dalam; ia mencoba untuk bernegosiasi dengan para tentara. Itulah
sebabnya hubungan Mursi dan militer seringkali tegang (walau ada kalanya bermesraan).
Ia menggunakan kekuasaan presidensialnya untuk mengganti orang-orang lama di
pemerintahan. Mursi memensiunkan dini beberapa jenderal dan menempatkan
orang-orang baru di sekelilingnya.
Salah
satu ‘orang baru’ yang ditempatkan Mursi itu ialah Abdul Fattah as-Siisi, yang
menggantikan Husein Thantawi sebagai Menteri Pertahanan. Tapi Mursi lupa bahwa
siapapun orang yang ada di dalamnya, militer tetaplah militer. Kesetiaan mereka
bukanlah pada rezim sipil, sedemokratis apapun rezim itu, melainkan pada
pimpinan yang memberikan mereka doktrin-doktrin tertentu.
Militer Mesir tak bisa
dilepaskan dari satu ideologi politik yang sudah berurat berakar sejak Republik
dibangun: Nasserism. Setelah Jenderal Najib dan Nasser menggulingkan kekuasaan
raja Faruk (Ikhwanul Muslimin ikut berpartisipasi dalam penggulingan itu),
militer segera menempati ruang yang sangat istimewa dalam kancah politik Mesir.
Apalagi, setelah Nasser menulis The Philosophy of Revolution dan
mencanangkan pertubuhan ‘revolusi’ dan militer’; bahwa revolusi 1952 yang
dicapai dengan susah payah harus dijaga oleh militer sebagai ‘penjaga gawang
revolusi.’
Kendati
Nasser meninggal dan Sadat, penggantinya, melakukan perubahan signifikan,
doktrin ini tetap terjaga. Hal yang sama sebenarnya juga terjadi di Indonesia
tahun 40an awal. Sejak awal republik ini didirikan, militer sudah mengklaim
bahwa merekalah yang berjasa telah memberikan kemerdekaan republik ini. Posisi
mereka serupa dengan Nasserism: menempatkan militer sebagai kekuatan politik
yang tak terduga: sewaktu-waktu bisa mengambil kekuasaan.
Hal
inilah yang terjadi di Indonesia tahun 1965 dan Mesir Juli, 2013 kemarin.
Ketika para politisi sipil gagal membangun konsensus gara-gara perebutan
kekuasaan yang berkepanjangan, militer punya alasan legal-politik untuk ambil
langkah. Di Indonesia, pemindahan kekuasaan secara berdarah dari Sukarno ke
Soeharto berlangsung sukses. Di Mesir, Abdul Fattah as-Sisi segera mengambil
tindakan ‘strategis’ dengan mengumumkan penggantian presiden dan penangkapan tokoh-tokoh
Ikhwan.
Hasilnya bisa diduga:
aktivis-aktivis Ikhwan protes keras. Dan protes mereka segera disambut oleh
popor senjata dari tentara. Terbunuhlah lebih dari 200 orang di Medinat
Nasr (kota yang dinamai dari pendiri Republik Mesir, Nasser).
Sadarkah
anda, bahwa apa yang terjadi di Mesir sampai saat ini, pada titik tertentu,
merupakan perulangan dari kejadian tahun 1965 dulu? Bedanya cuma: peristiwa
1965 menempatkan orang-orang Komunis sebagai korban, sementara Mesir 2013,
menempatkan orang-orang Ikhwan sebagai korban.
Kini, kita seperti melihat
orang-orang PKI yang dibantai pada tahun 1965 lalu di Rab’ah al-Adawiyah, Mesir. Militer, tanpa kenal ampun
seperti masa lalu, menembaki dan menangkapi mereka yang berlabel Ikhwan.
Kabarnya, ribuan jiwa menjadi korban. Dan Ikhwan kini nasibnya hampir sama
seperti PKI: menjadi organisasi terlarang.
Tak penting melihat apakah
mereka yang jadi korban itu adalah Ikhwan, Salafi, Komunis, atau orang-orang
lain. Toh itu cuma label. Yang jadi pertanyaan, atas dasar apa
mereka dibunuh? Bukankah mereka juga manusia?
Pelajaran
‘Adakah bedanya,’ tanya
Judith Butler dalam bukunya, The Precarious Life, ‘nyawa para
tentara yang meninggal di Perang Dunia Pertama, dengan ratusan ribu muslim yang
meninggal dalam serangan Amerika Serikat di Timur Tengah?’
Bagi kita yang berada di
Indonesia, pertanyaan ini perlu direnungkan. Terkadang mudah sekali bagi kita
untuk men-judge bahwa kekerasan itu sah; tanpa menyadari
bahwa kekerasan itu adalah ‘sejarah yang berulang’ dan bisa saja pernah dialami
oleh orang yag dekat dengan kita.
Semoga para aktivis yang
berdemonstrasi dan bersolidaritas untuk Mesir, atau para proponen liberalisme
yang sering berkomentar di layar televisi, juga bisa mengambil pelajaran. Jika
anda menertawakan atau bersikap nyinyir kepada
perlawanan massa –baik di Indonesia atau Mesir— maka anda perlu introspeksi:
jangan-jangan itu adalah sejarah yang berulang di waktu dan tempat yang
berbeda.
Saya
lalu jadi ingat kalimat Pramoedya Ananta Toer yang terkenal itu: mari bersikap adil sejak dalam pikiran. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar