Sabtu, 31 Agustus 2013

Menggeser Paradigma ke Laut

Menggeser Paradigma ke Laut
Ribut Lupiyanto ;  Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration); Peminat Studi Geografi Politik
KORAN JAKARTA, 31 Agustus 2013


Mesir terus bergejolak pascakudeta militer atas Mursi pada Rabu (3/7). Setiap hari darah rakyat Mesir berceceran dan ribuan nyawa melayang. Unjuk rasa damai dibalas dengan serangan yang jauh dari batas-batas kemanusiaan oleh militer, polisi, dan sipil prokudeta yang dipersenjatai. Puncaknya terjadi pada 14/8 saat operasi pembubaran paksa demontrasi. Korban berjatuhan meskipun datanya simpang siur. Laporan AntiCoup Alliance menyebutkan adanya 2.200 korban jiwa dan puluhan ribu luka-luka, sementara Kementerian Kesehatan rezim kudeta Mesir menyebutkan 638 orang tewas dan sekitar 4.000 orang luka-luka.

Krisis dan tregadi di Mesir tidak bisa secara sederhana hanya dimaknai sebagai pertarungan internal antara pro-Mursi dan prokudeta. Mesir dengan segala potensinya menarik bagi negara-negara lain untuk menjerumuskan Mesir ke dalam pusaran konflik. Krisis Mesir juga memberikan efek global, baik langsung maupun tidak langsung. Semua ini dapat diamati melalui teropong geopolitik.

Ratzel (1844 - 1904), salah satu tokoh pencetus teori geopolitik, memaparkan bahwa hanya negara unggul yang bisa bertahan hidup dan menjamin kelangsungan hidupnya. Geostrategi harus dijalankan dengan menguasai Heartland kemudian World Island sehingga dunia akan dikuasai. Mackinder menjelaskan bahwa Heartland itu istilah lain Asia Tengah, sedangkan World Island adalah Timur Tengah. Kedua kawasan tersebut adalah wilayah yang kaya akan minyak, gas bumi, dan bahan mineral lain. 

Tinjauan secara geografis menunjukkan Mesir dan Suriah menjadi titik mula Route Silk atau Jalur Sutra. Jalur Sutra ialah lintasan rute yang membentang antara perbatasan Rusia/China, Asia Tengah-Timur Tengah, Afrika Utara, hingga berujung di Maroko. Jalur ini membelah antara Dunia Barat dan Timur. Sepanjang Jalur Sutra merupakan kawasan sentral pergerakan ekonomi barang dan jasa serta menjadi legenda jalur militer dunia. Siapa yang mengendalikan Jalur Sutra, identik menguasai dunia atau siapa yang menguasai Mesir dan Suriah ibarat menguasai separo Jalur Sutra. 

Mendasarkan fakta ini, George Rich berujar, "Pergilah ke Mesir dan gunakan negeri itu sebagai daerah transit untuk menaklukkan Timur Tengah dan sebagai daerah transit untuk Afrika." Negara mana pun tentu akan berebut pengaruh demi mengendalikan Mesir, baik secara politis maupun ekonomi. Paling tidak, terdapat tiga kelompok negara yang selalu berada di balik kehidupan Mesir, yaitu Israel, Amerika Serikat, dan negara Arab-Teluk.

Pasca-pelantikan Mursi sebagai Presiden Mesir, terlahir beberapa kebijakan yang mencemaskan negara mitra. Mursi segara membuka gerbang Rafah yang merupakan pintu perbatasan Gaza-Mesir. Hal ini tentu mengancam eksistensi Israel secara politis. Selanjutnya, persengkokolan negara mitra untuk tidak membantu Mesir dijawab Mursi dengan kebijakan swasembada pangan. Komoditas paling dominan adalah gandum. Keberhasilan program swasembada menyebabkan pengurangan impor gandum dari Israel dan Amerika. Hal ini menjadi ancaman ekonomi bagi kedua negara tersebut. 

Selain itu, faktor pragmatis lain adalah pipanisasi gas yang mengkhawatirkan Israel. Pasokan gas Israel berasal dari Mesir lebih dari 80 persen (Purbo, 2013). Kebergantungan ini menjadi mengkhawatirkan jika Mursi mengambil kebijakan pengurangan apalagi pemutusan. Teropong lain secara ideologis, menurut Bannerman (1906), bahwa penciptaan konflik merupakan bagian dari peran yang harus dijalankan oleh Israel selaku organ pemecah belah di jantung bangsa-bangsa Arab. 

Penulis Israel, Yossi Melman, membocorkan keterlibatan zionis dalam mendukung kebrutalan militer Mesir. Israel melakukan lobi diplomatik dengan Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa agar tidak mengecam pembantaian militer Mesir terhadap ribuan demonstran. Israel juga menggerakkan negara-negara sahabat agar tidak menyebut tindakan militer Mesir tersebut sebagai "pembantaian".

Amerika Serikat juga terusik oleh berkuasanya Mursi. Amerika selama ini menjadi mitra istimewa Mesir dalam hal militer maupun ekonomi. Mesir juga menjadi penyokong kepentingan Amerika menjaga stabilitas dunia Arab untuk tujuan ekonominya. Kebangkitan demokrasi Mesir sudah dielakkan menjadi kekhawatiran Amerika. 

Amerika khawatir efek Mesir akan memperluas Arab Spring dan membahayakan stabilitas cengkeraman politik ekonominya. Setali tiga uang dengan Amerika, negara-negara Arab seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab secara tidak langsung mendukung kudeta militer Mesir. Arab Saudi memberikan paket bantuan 5 miliar dollar AS dan Uni Emirat Arab sebanyak 3 miliar dollar AS kepada pemerintah sementara Mesir. Negara-negara kerajaan ini tentu khawatir akan efek Arab Spring Mesir dalam hal demokratisasi. 

Menilik faktor geopolitik di atas, krisis mesir tentu tidak bisa diurai secara parsial dari dalam negeri saja. Kekuatan geopolitik adidaya mendukung kudeta mestinya diimbangi oleh kekompakan tekanan internasional. Isu demokrasi dan kemanusiaan menjadi faktor penguat dalam menggalang dukungan. 

Turki selama ini telah tampil pada garda terdepan menyuarakan penyelesaian krisis Mesir. Perdana Menteri Erdogan berhasil memanfaatkan kekuatan pengaruh Turki secara regional dalam menggandeng negara lain mengecam kudeta dan pembantaian di Mesir. Negara-negara komunis, seperti Venezuela dan Ekuador, bahkan telah manarik duta besarnya sebagai bukti kecaman. Uni Eropa tampaknya juga akan merapat dalam barisan Turki.

Perimbangan kekuatan geopolitik antara pro dan kontra kudeta secara internasional diharapkan dapat membantu percepatan terbukanya jalan keluar Mesir dari kubangan krisis. Diplomasi antarpihak semestinya berada pada koridor prinsip demokrasi dan kemanusiaan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar