KOMPAS, 02
Agustus 2013
|
Saat ini di tengah kalangan
akademisi, praktisi pemerintahan, dan bahkan masyarakat luas berkembang wacana
bahwa kehadiran negara-bangsa di mana pun dari sudut waktu, didahului oleh
kehadiran pemerintah daerahnya.
Jadi, usia
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lebih muda daripada pemda-pemda yang ada,
bahkan dengan desa-desa yang hidup di bumi Nusantara. Hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa sebelum merdeka telah ada masyarakat kita dengan corak
pemerintahan lokal khas masing-masing.
Realisme-positivisme
Pendapat ini
banyak memengaruhi proses nation-building Indonesia yang sedang dalam
masa pembenahan sejak reformasi. Jika tak ditempatkan pada pemahaman yang
tepat, dapat jadi faktor pemicu kerenggangan hubungan pusat-daerah dan hubungan
antardaerah sehingga nation-building menjadi berisiko. Bertepatan
dengan peringatan kemerdekaan ke-68 RI, sangat penting kita renungi hal ini.
Sejarah,
budaya, dan demografi memperlihatkan bahwa sudah sejak berabad-abad silam
masyarakat bangsa Indonesia telah ada dan berdiam di tempat yang terletak di
antara dua benua dan dua samudra. Sejarah membuktikan pola pengaturan sebagai
sebuah bangsa bervariasi dalam kurun waktu yang amat panjang. NKRI hadir
menjadi penyumbang variasi.
Satuan-satuan
masyarakat Indonesia yang ada sejak berabad silam sering kali dihadap-hadapkan
dengan eksistensi NKRI tanpa melihat prosesnya. Terdapat kesan bahwa satuan
masyarakat tersebut hadir lebih awal daripada NKRI. Logika inilah yang populer
berkembang di tengah masyarakat kita. Logika ini dikenal sebagai logika
realisme.
Sebagai contoh,
para penganut logika realisme mengakui, pemerintah daerah Aceh dalam
negara-bangsa Indonesia lahir lebih dahulu daripada NKRI karena adanya
Kesultanan Aceh yang telah berdiri sejak lama. Begitu pun yang berlaku bagi
masyarakat lain di bumi Indonesia.
Logika itu
tentu tak sepenuhnya keliru, tapi fakta bahwa proses pembentukan NKRI didahului
oleh peleburan masyarakat bangsa Indonesia juga terjadi. Dalam logika imajiner
(Favell, 2003) hal ini sangat dimungkinkan. Terjadi peleburan bangsa Indonesia
pada 17 Agustus 1945 menjadi sebuah negara bangsa.
Logika imajiner
ini acap kali disebut dengan logika legal-positivisme atau positivisme. Dalam
hal ini, hadirnya negara-bangsa adalah penyebab lahirnya pemerintahan daerah
jika menjalankan desentralisasi. Sebaliknya, negara-bangsa yang tidak
menjalankan desentralisasi tak akan ada pemerintahan daerah di negara tersebut,
seperti Singapura. Di dalam pemerintahan, Singapura tidak tersusun atas
pemerintahan daerah.
Namun, hampir
semua negara-bangsa di dunia menjalankan desentralisasi sehingga pemerintahan
daerah seolah menjadi keharusan dalam praktik negara- bangsa (Hoessein: 1980).
Persoalan yang muncul, sering kali terdapat kerancuan melihat kehadiran
pemerintahan daerah dalam sebuah negara-bangsa, terlebih di Indonesia.
Kerancuan
tersebut bahkan akhirnya membawa ke arah pemahaman bahwa pemerintah daerah
setara, bahkan seolah superior terhadap pemerintah pusat dalam konteks NKRI.
Akibatnya, otonomi daerahlah yang harus diutamakan, sedangkan kedaulatan
nasional tidak perlu dirawat secara serius, bahkan otonomi daerah seolah-olah
harus menjadi kedaulatan.
Pencerahan
Di sebagian
masyarakat maju, pertalian realisme-positivisme telah berjalan sinergis di mana
hak memisahkan diri dari negara-bangsanya pun diatur dalam konstitusinya. Ini
berbeda dengan di negara-negara berkembang. Memang, idealnya kedua logika
realisme-positivisme bersanding dipahami oleh setiap elemen bangsa tanpa saling
menyalahkan.
Kesuburan
legal-positivisme akan terjaga jika logika realisme dirawat untuk mengobarkan
semangat kebangsaan dan partisipasi dalam negara-bangsa
sehingga nation-building menjadi efektif. Dalam hal ini demokrasi
nasional adalah prasyarat. Oleh karena itu, untuk membenahi otonomi daerah,
pertama-tama, adalah perbaikan karut-marut demokrasi di tingkat nasional.
Efektivitas demokrasi nasional adalah superior dengan tujuan terciptanya
pemerintahan nasional yang efektif.
Demokrasi
nasional berjalan baik jika didukung demokrasi lokal. Namun, kinerja demokrasi
lokal dibatasi oleh norma demokrasi nasional. Demokrasi lokal tidak simetris
terhadap demokrasi nasional, tetapi asimetrik. Dalam susunan NKRI, tidak ada
negara dalam negara.
Tampak
pencerahan mengenai sandingan sinergis logika realisme-positivisme kepada
anggota DPR dan DPD ikut menentukan. Seyogianya pula, pencerahan ini sebagai
bungkus pencerahan empat pilar kebangsaan yang didengungkan MPR untuk
masyarakat luas. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar