|
Tidak ada sorotan paling tajam
yang ditujukan pada partai politik (parpol) kita saat ini kecuali menyangkut
kualitas calon legslator yang sudah didaftarkan di Komisi Pemilihan Umum (PKU).
Sorotan tajam berkaitan dengan banyaknya parpol yang memanfaatkan artis atau
malahan mantan narapidana (napi).
Memilih legislator berkualitas
memang harus, tetapi memilih yang benar-benar berkualitas memang bukan perkara
mudah. Bagaimana mengukur kualitas anggota dewan? Apakah yang bergelar, apakah
yang menjadi pemuka agama sehingga secara moral bisa dipertanggungjawabkan,
atau memilih (mantan) aktivis yang selama ini kritis? Tidak ada jawaban yang
pasti. Pemuka agama, bergelar tinggi, mantan aktivis mahasiswa juga punya
persoalan jika sudah masuk ke lingkungan elit politik.
Namun demikian, ini tidak berarti
menjadi pembenar bahwa parpol seenaknya saja memilih calon legislator. Dengan
kata lain, karena banyak kasus yang menimpa para legislator selama ini bukan
berarti parpol menyerah memilih seadanya. Yang miris, ada parpol yang
mencantumkan mantan terpidana untuk masuk legislatif terlihat ketika maasih di
daftar caleg sementara (DCS/sebut saja NS) pada ranking pertama. Tidak itu
saja, ada seseorang yang sedang terlibat kasus di pengadilan juga dimasukkan
dalam DCS (sebut saja SD) juga Ranking-1. Ada apa dengan parpol kita?
Sebenarnya, ada beberapa penyebab
kenapa parpol dianggap tidak bisa memilih legislator yang berkualitas. Pertama,
semangat Parpol masih asal target terpenuhi. Dengan kata lain, karena
mementingkan target tenggat waktu dan harus menyerahkan daftar legislator,
parpol membuat daftar asal jadi. Tak heran jika kalangan artis dan mantan napi
pun masuk dalam DCS.
Semangat asal target terpenuhi
telah menutup peluang parpol melakukan rekrutmen politik secara teliti. Lihat
saja, nyaris jarang ada parpol yang khusus menyeleksi para calon legislator
itu. Misalnya, tidak ada tim penyeleksi sejak awal, bagaimana mekanisme
penyeleksian dan bagaimana memberitahukan ke publik sebagai bagian dari
transparansi politik. Semua ditentukan sendiri oleh parpol.
Kedua, semangat kroni masih kuat.
Tidak sedikit parpol yang memunculkan nama dari keluarganya sendiri atau masih
ada hubungan "perkoncoan". Memang, bahwa pemilihan kroni itu bisa
jadi berdasar kualitas sang calon. Namun demikian, semangat kroni biasanya
bukan berdasar kualitas tetapi berharap ada keuntungan-keuntungan pragmatis
yang didapatkan dari mencantumkannya menjadi caleg sementara.
Ini pulalah yang kemudian menjadi
batu sandungan ketika kroni itu punya masalah hukum sementara yang memilih
mempunyai kekuasaan. Jadilah proses hukum diputuskan lewat proses politik, dan
dari situ usaha untuk mengurai proses hukum secara adil sering terhambat.
Ketiga, menjadi caleg harus punya
uang cukup. Dengan demikian seorang caleg yang berkualitas tidak akan bisa
menjadi caleg manakala tidak punya uang. Menjadi caleg kabupaten/kota saja
harus merogoh Rp 100 juta-Rp 500 juta, caleg provinsi Rp 500 juta-Rp 1 miliar,
caleg pusat bisa mencapai Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar.
Biaya tersebut antara lain
digunakan untuk membuat alat peraga (baliho, spanduk, umbul-umbun dan kaos).
Untuk baliho berukuran 3 x 4 meter bisa membutuhkan biaya Rp 500 ribu,
bagaimana jika membuat ratusan baliho? Masih
ada biaya lain seperti acara bersama dengan konstituen, honor saksi, uang
transport dan lain-lain.
Jadi, betapa mahal biaya untuk
menjadi calon legislator. Jika seseorang itu miskin darimana dia mendapatkan
uang untuk mencalonkan diri? Itu belum termasuk "wajib setor" ke kas
parpol. Apakah parpol mau rugi jika
tidak mendapatkan keuntungan ekonomis sekarang dan nanti?
Dampak
Cara-cara yang dilakukan dalam
penjaringan calon legislator seperti di atas tentu sangat rawan dengan
kecurangan. Para kandidat itu akan punya semangat bagaimana mengembalikan
"uang pangkal" yang sudah diinvestasikan untuk menjadi anggota dewan.
Ini yang membuat maraknya penyalahgunaan wewenang anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), disamping juga mendapatkan prestise.
Jika pada akhirnya, ada individu
anggota parpol yang terlibat kasus, parpol akan melindunginya. Ini menyangkut
soal "kesatuan korps" parpol. Alasannya, aib anggota parpol dianggap
menjadi aib parpol itu sendiri. Karena kesatuan korps itu segala-galanya, maka
pembelaan pada anggota juga bisa jadi semaksimal mungkin dengan mengorbankan
apapun. Sebenarnya, parpol sudah mengendus ada anggota yang sangat mungkin
nanti punya masalah melihat track record kandidat selama ini. Tetapi,
alasan-alasan pragmatis atau jaringan kroni, membuat parpol tidak berdaya untuk
menolaknya.
Jika sudah begini, usaha untuk
mencari calon legislator yang berkualitas akan sulit terwujud. Yang jelas,
caleg sudah ada di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Memang parpol masih bisa
mengubah daftar susunan calegnya, tetapi itu tidak segampang membalikkan
telapak tangan. Ada kepentingan dan tangan-tangan bersembunyi dibalik
penyusunan caleg.
Ada pesimisme masyarakat atas
perubahan ke depan dengan melihat caleg di KPU. Namun, masyarakat tidak boleh
terlena dan apatis atas itu semua. Mereka ikut bertanggungjawab untuk menyorot
dan mempermasalahkan saat masih dalam caleg atau setelah menjadi anggota
terpilih. Kritik dan masukan bukan usaha merongrong, tetapi menjadi bahan untuk
perbaikan selanjutnya. Tentu saja jangan menjadi tukang kritik, meskipun ada
saja tunggang-menunggangi dalam persoalan-persoalan politik. Politik memang
banyak berurusan dengan siapa mengatakan apa, lewat mana, kepada siapa dan
efeknya bagaimana. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar