|
Pernah ada dalam pikiran saya bahwa universitas adalah barometer pembaruan,
mahasiswanya agen perubahan, dan kampusnya dipimpin rektor inspiratif. Prof Mahar Mardjono (UI), dokter ahli saraf,
berani mengusir tentara dari kampus dan menolong mahasiswa yang dihajar aparat
saat menuntut perubahan. Rektor pertama UGM, Prof Dr M Sardjito, dikenal
sebagai peracik obat dan vitamin untuk tentara pejuang. Di Bogor, Rektor IPB
Prof Andi Hakim Nasution memperkenalkan sistem panduan bakat penerimaan
mahasiswa baru yang berkembang menjadi penelusuran minat dan kemampuan (PMDK).
Ia mewarnai kaum muda menggeluti sains.
Kita juga banyak mengenal bagaimana Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja
(Unpad), Prof Herman Johannes dan Prof Dr Teuku Jacob (UGM), serta Prof Doddy T
Amijaya (ITB) menginspirasi kaum muda. Mereka terkenal karena inspiratif dan
membuat mahasiswa terlibat dalam gerakan atau gagasannya.
Universitas negeri berkesempatan
pertama menyeleksi calon mahasiswa dan menjadi tujuan utama kaum cerdik pandai.
Kampus
yang sehat bukan hanya belajar dari buku, dosen, dan laboratorium, melainkan
juga cara rektornya memimpin dan memberi contoh. Negeri yang sehat tak hanya
melahirkan orang pandai, tetapi juga panggilan pengabdian, kepedulian sosial,
dan daya kreasi-inovasi. Wajar jika masyarakat berharap kampus-kampus itu
dipimpin orang yang mampu menjadi role model, mempunyai reputasi yang
kuat, berwawasan, dan visioner.
Bagaimana sekarang? Belakangan ini
kita justru mendengar keluhan wisudawan dan mahasiswa baru yang mengantuk
mendengar pidato tak menarik. Mereka mengatakan ”Baik rektor, dekan, maupun
karya-karyanya sama-sama tak dikenal. Mereka hanya bicara jumlah lulusan.”
Lalu iseng-iseng saya buat survei
kecil dengan kata kunci ”rektor”. Tak banyak yang menyebut nama rektor pemangku
jabatan di kampus masing-masing. Siapa pun pemangku jabatannya, hampir semua
mengaku rektornya bernama Prof Komaruddin Hidayat atau Prof Anies Baswedan.
Keduanya bukan dari kampus universitas yang mengklaim diri sebagai ”barometer”,
melainkan role model kaum muda.
Pada era interaktif yang kaya akses ini, tokoh-tokoh bisa
diakses kaum muda dari Aceh hingga Papua. Kultwit-nya diikuti banyak
orang: Anies dengan 270.000 pengikut, Komaruddin 230.000. Namun, penelusuran
saya, pemangku jabatan rektor yang aktif memakai Twitter ternyata hanya dengan
600-700 pengikut.
Apakah ini bukan gejala kampus telah dipimpin rektor-rektor
administratif yang, maaf, miskin daya ungkit pengaruh? Pemimpin seperti ini disebut John
Maxwell (2006) sebagai penjaga kursi yang berada dalam tangga kepemimpinan
terbawah. Maxwell mengatakan, ”They don’t
care how much you know until they know how much you care.”
Sebaliknya, jejak-jejak langkah para rektor inspiratif
tidak hanya ilmiah, tetapi berdampak riil terhadap perubahan. Mereka turun
tangan terlibat dalam masalah aktual sehingga gerakannya punya pengaruh yang
kuat. Karena kata-kata dan gerakannya inspiratif, mereka menjadi terkenal,
bukan sebaliknya.
Administrator perkebunan
Satu-satunya kata administrator yang
masih dipakai pada era ini mungkin hanya di perkebunan milik negara. Kalau
bertemu mereka, Anda akan menyaksikan sosok pekerja keras yang biasa bekerja
rutin. Tak diperlukan kreativitas karena semua prosedur dan agendanya sudah
jelas, aset yang ditangani terletak pada area geografis yang terbatas, dan
koordinasi intensif ke dalam.
Karena terlalu intens ke dalam, ia
tak dikenal di luar; dan karena rutin, ia tak inspiratif. Ia hanya dihormati
pegawainya, tetapi tak merasa perlu menggeluti perubahan di luar. Sebaliknya
kampus yang sehat justru bergulat dengan dinamika yang cepat berubah. Ilmu pengetahuan
bertambah setiap 20 menit, generasi baru datang dengan teknologi dan masalah
yang berbeda-beda, persoalan bangsa kian kompleks, membuat kampus yang hidup
harus terus beradaptasi dan menggali kekuatan baru. Keunggulan kampus besar
berubah menjadi temporer.
Di tengah dinamika itu, kita justru sulit menemukan
rektor-rektor inspiratif. Semuanya hanya sibuk mengurus mahasiswa baru,
administrasi keuangan, kepegawaian, pemilihan dekan, pengukuhan guru besar, dan
turnamen olahraga antar-jurusan. Pokok pekerjaannya adalah administratif,
rutin, dan membuat laporan.
Dengan metode kerja seperti itu, jelas universitas sulit
menghasilkan pembaruan, apalagi mencetak agen perubahan. Di dalam tempurungnya
yang gelap, banyak ditemui perselisihan paham seputar perebutan peran
administratif dan alokasi anggaran, politik kampus, dan kecemburuan. Belum lagi soal-soal primordial,
mulai dari ”penduduk asli” (alumni sendiri) versus lulusan luar, etnisitas,
latar agama, dan aliran-aliran sempit. Dalam horizonnya yang terbatas, hanya
terjadi perkawinan pemikiran satu keturunan yang menghasilkan produk
pengetahuan yang lemah. Apa yang dipublikasikan tak dijalankan, dan sebaliknya.
Namun, satu-dua orang memilih keluar
dan membangun karier dari jendela-jendela kecil yang mereka buka sendiri agar
mendapat oksigen segar. Dari sosok mereka inilah sebenarnya perubahan bisa
diharapkan. Namun, kelompok kecil yang bekerja ini tak diberi tempat layak di
dalam karena kampus lebih banyak didominasi manusia tipe administrator. Bagi
mereka, sosok yang tepat adalah penjaga rutinitas yang intensif bermain di
dalam.
Saya mengerti, mereduksi peran rektor sebagai administrator
atau menyamakan kampus dengan kebun bukan analogi yang enak dibaca. Namun, kita
tak bisa menutup kesan itu hanya dengan menampiknya. Perubahan tak bisa dilakukan dengan
bantah-membantah, mengagungkan kepentingan territory, atau debat kusir. Perubahan itu
harus dimulai dengan mata dan telinga yang sehat dan pikiran yang bersih.
Melihat yang terjadi di luar, memenuhi aspirasi-aspirasi yang tumbuh dari
masyarakat, dan melahirkan role
model.
Indonesia butuh pemimpin-pemimpin
yang dicari dengan penuh kesungguhan, bukan pencari kerja yang memimpikan
jabatan melalui kongsi kekuatan dan office
politics. Kalau ini tak bisa, lupakan saja konvensi di partai-partai
besar untuk menghasilkan kepala negara terbaik sebab masalahnya berawal dari
kampus yang gagal menelurkan agen perubahan karena pemimpinnya bukan role model. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar