KOMPAS, 01
Agustus 2013
|
Salah satu yang dicemaskan sebagian pihak dalam kebijakan
kenaikan harga BBM adalah inflasi yang tak bisa dikendalikan pemerintah,
terlebih ketika dilakukan menjelang ritual puasa Ramadhan.
Kenaikan harga BBM berlaku efektif 22 Juni 2013 dan angka
inflasi Juni 2013 langsung melesat 1,03 persen, padahal kenaikan harga BBM baru
diumumkan minggu ketiga Juni dan belum masuk Ramadhan. Pada Juli ini, Ramadhan
dimulai minggu kedua, kenaikan harga pangan makin tidak dapat dikendalikan,
naik secara liar. Harga daging, cabai, bawang, dan lain-lain nyaris tak bisa
ditahan pemerintah meskipun (seakan-akan) aneka upaya telah ditempuh. Hampir
dapat dipastikan pada Juli 2013, inflasi akan sangat tinggi, bisa di atas 2
persen, sehingga sampai akhir tahun proyeksi inflasi pemerintah akan jebol.
Akumulasi kenaikan harga BBM dan mismanajemen pengelolaan pasokan dan
distribusi komoditas pangan membuat inflasi 2013 diproyeksikan menembus 9
persen.
Kenaikan harga BBM
Barang kali kilas balik beberapa tahun terakhir bermanfaat
untuk melihat pergerakan inflasi pada bulan Ramadhan. Pada 2005, Ramadhan jatuh
pada Oktober, kemudian 2008 (September), 2011 (Agustus), dan 2012 (Juli). Pada
2005, inflasi saat Ramadhan menciptakan rekor, sebesar 8,7 persen. Setelah itu,
pada 2008 inflasi Ramadhan 0,97 persen; 2011 (0,93 persen); dan 2012 (0,7
persen) [BPS, beberapa tahun]. Jadi, dari situ ter lihat dengan jelas, bahwa
inflasi Ramadhan memang selalu tinggi, tidak pernah di bawah 0,7 persen dalam
beberapa tahun terakhir.
Mengapa pada Oktober 2005 inflasi sangat tinggi? Sebab saat
itu situasinya mirip tahun ini, di mana pada Maret dan Oktober 2005 pemerintah
menaikkan harga BBM, sehingga Oktober 2005 tekanan inflasi didorong dua hal
sekaligus: kenaikan harga BBM dan ritual puasa. Pada 2008 juga terjadi kenaikan
harga BBM, tetapi dilakukan Mei 2008, sehingga saat Ramadhan (September) dampak
kenaikan harga BBM sudah mulai mereda.
Kenaikan harga BBM 2005 dan 2008 telah membuat inflasi di
atas 10 persen (double digit). Pada
2005 inflasi mencapai 17,11 persen dan 2008 sebesar 11,6 persen. Padahal
inflasi setahun sebelumnya cukup rendah. Inflasi 2004 (6,4 persen) dan 2007
(6,59 persen) [BPS, beberapa tahun]. Jadi, pada 2005 itu terjadi kenaikan
inflasi hampir 11 persen dibanding tahun sebelumnya dan pada 2008 naik 4 persen.
Inflasi 2005 jauh lebih tinggi sebab kenaikan harga BBM
dilakukan dua kali, Maret dan Oktober 2005.
Situasi pada 2005 dan 2008 juga
mirip dengan tahun ini, ketika kenaikan harga BBM diawali dengan kenaikan
harga-harga komoditas pangan. Inflasi awal tahun pada 2013 sudah cukup tinggi
akibat kenaikan harga daging, bawang, dan lain-lain. Dengan mencermati
pengalaman ini, proyeksi inflasi 2013 yang bakal menembus 9 persen itu bukanlah
sekadar ilusi, tapi didasarkan pengalaman di masa lalu, realitas yang ada saat
ini, dan kesigapan pemerintah.
Pertanyaan klasik yang terus diajukan, mengapa inflasi
pangan selalu tinggi? Jawabannya juga sudah diketahui oleh semua pihak, yaitu
kombinasi manajemen pasokan, permintaan, dan distribusi yang tak pernah beres.
Pada sisi pasokan, kemampuan penyediaan komoditas pertanian (pangan) makin
menurun dari tahun ke tahun, seiring pertambahan jumlah penduduk dan daya beli.
Penurunan produksi disebabkan lahan (sawah) terus berkurang dan insentif petani
mengecil. Rata-rata luas lahan pertanian per kapita tinggal 0,09 ha, di bawah
Vietnam, China, Thailand, India, dan AS (BPN, 2013).
Tiap tahun terjadi konversi lahan pertanian sekitar 100
ribu ha. Sementara itu, insentif petani makin berkurang karena irigasi tidak
diperbaiki, bibit hampir tidak dibantu, dan harga ditekan oleh pelaku di hilir.
Situasi ini diperparah lagi oleh manajemen impor yang buruk sehingga
barang-barang itu mesti berkompetisi dengan komoditas domestik saat panen.
Perburuan rente
Pada sisi permintaan ada dua hal yang menonjol. Pertama,
pertumbuhan penduduk dan proporsi alokasi
pendapatan yang dipakai untuk
konsumsi pangan. Tiap tahun pertumbuhan penduduk sekitar 1,4 persen dan alokasi
pendapatan yang dipakai untuk konsumsi pangan sekitar 52,08 persen (BPS diolah,
2013). Gabungan dua hal itu membuat permintaan pangan sangat tinggi. Bahkan,
alokasi pendapatan untuk konsumsi cenderung naik dibandingkan 2009 (50,62
persen).
Kedua, karakteristik konsumen pangan di Indonesia cenderung
senang mengonsumsi produk dalam kondisi segar, bukan olahan. Misalnya, cabai
(dan pembuatan sambal) harus dimakan dalam bentuk segar. Ini berbeda dengan di
negara-negara maju yang konsumsi pangan sudah dalam bentuk olahan (kaleng).
Implikasinya, sulit menjaga stabilitas pasokan. Hal ini masih ditambah konsumsi
per kapita pangan yang sangat tinggi, seperti beras, yang mencapai 130
kg/kapita/tahun.
Situasi di atas disempurnakan dengan manajemen distribusi
yang ruwet. Rantai distribusi dari petani ke konsumen sangat panjang, sampai
kini tak pernah dapat diputus. Terlalu banyak pelaku yang mengambil margin
harga pada proses distribusi. Itu masih ditambah indikasi kartel pada beberapa
komoditas hingga para distributor jadi penentu harga (price maker). Praktik ini juga tak bisa disentuh pemerintah sejak
dulu. Semoga kasus kartel yang sedang ditelisik KPPU saat ini dapat sedikit
mengurangi bobot persoalan ini.
Manajemen impor juga dipenuhi perilaku perburuan rente (rent-seeking), seperti terbentang
kasatmata beberapa bulan terakhir. Sudah teramat banyak solusi yang ditawarkan
kepada pemerintah, tapi tak jua diadopsi dalam kebijakan. Bagi orang kaya,
inflasi bisa jadi berkah (karena kenaikan harga aset rumah, emas, dan
seterusnya). Tapi bagi kaum miskin, inflasi adalah perampok yang melantakkan
daya hidupnya. Pada titik inilah pemerintah mesti serius menangani persoalan
ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar