Kamis, 01 Agustus 2013

Membandingkan Mesir dan Indonesia

Membandingkan Mesir dan Indonesia
Wiranto  ;   Mantan Panglima ABRI
          KOMPAS, 01 Agustus 2013

Gejolak politik di Mesir belum juga usai. Kelompok pendukung presiden terguling Muhammad Mursi masih terus melakukan berbagai upaya menolak pemerintahan baru dari hasil kudeta militer.

Situasi tidak menentu di Mesir berawal dari ketidakpuasan terhadap kinerja satu tahun pemerintahan Presiden Mursi, yang kemudian mendapat dukungan militer. Mereka mengultimatum Mursi agar mampu menyelesaikan persoalan yang menjadi tuntutan oposisi.

Ultimatum itu ditolak mentah-mentah oleh Mursi yang berlatar belakang kelompok Ikhwanul Muslimin. Pendukung utama Mursi: Partai Kebebasan dan Keadilan, adalah pemenang pemilu. Akhirnya militer mengambil alih kekuasaan Mursi pada 3 Juli 2013 dengan dipimpin Panglima Militer Jenderal Abdel Fatah Sisi. Ketua Mahkamah Agung Adly Mansour ditunjuk sebagai presiden transisi.

Langkah ini tak bisa diterima Ikhwanul Muslimin dan para pendukung Mursi. Mereka berdemonstrasi, melibatkan lebih dari sejuta massa, dan meminta Mursi dikembalikan sebagai presiden. Bentrokan pun tak terhindarkan dengan puluhan korban jiwa dan ratusan orang lainnya menderita luka-luka.

Mei 1998

Situasi seperti ini pernah kita alami. Saat itu terjadi demonstrasi besar-besaran di pelbagai kota yang menuntut mundur Presiden Soeharto. Konsentrasi ratusan ribu orang mengepung Ibu Kota. Kejadian bermula tanggal 13 Mei 1998, tatkala mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta tengah berkabung lantaran empat rekannya meninggal tertembak aparat kepolisian saat berunjuk rasa pada 12 Mei 1998.

Sebagian mahasiswa ikut mengantarkan jenazah ke pemakaman. Iring-iringan kemudian menimbulkan konsentrasi massa di beberapa lokasi. Tanpa ada yang mengomando, konsentrasi massa pun bergerak. Situasi ini diikuti kelompok kerumunan lain sehingga terjadilah pergerakan massa di banyak lokasi.

Dimulai dari kawasan Jalan Kyai Tapa, Grogol, lalu Jalan Daan Mogot dan Jalan S Parman, makin lama, kerumunan orang meluas. Mereka tak hanya bergerak, tetapi juga merusak dan menjarah. Keesokan harinya, 14 Mei 1998, kerusuhan merembet ke wilayah sekeliling Jakarta. Perusakan, penjarahan, dan pembakaran juga terjadi di Depok, Tangerang, dan Bekasi. Selaku Panglima ABRI saat itu, saya berinisiatif menggelar rapat luar biasa yang melibatkan unsur polisi, TNI, Panglima Komando Utama ABRI, dan Gubernur DKI.

Saya langsung meminta Pangdam Jaya dan Kapolda Metro Jaya untuk mengomando dan mengendalikan langsung di lapangan. Pasukan dari Jawa Timur, Kostrad, dan Marinir ikut saya perintahkan menjaga keamanan Ibu Kota.

Hanya dalam tempo tiga hari sejak kerusuhan meletus, situasi dapat dikuasai aparat keamanan. Pada tanggal 15 Mei 1998, kondisi Ibu Kota dan sekitarnya berangsur pulih.

Saya tak bermaksud memamerkan keberhasilan meredam situasi huru-hara di Jakarta pada saat itu. Sama sekali tak benar jika TNI membiarkan kondisi rusuh dan penjarahan saat itu. Jika memang TNI melakukan pembiaran, mustahil kerusuhan itu bisa terkendali dalam tiga hari.

Memang korban jiwa akibat massa yang terbakar di beberapa pertokoan dikabarkan mencapai lebih dari 200 orang. Itu sungguh sangat menyedihkan dan amat kami sesalkan. Karena itu, aparat saya perintahkan segera menghentikan kerusuhan agar korban tidak terus bertambah.

Marilah kita tengok pula kerusuhan di Los Angeles, Amerika Serikat, pada tahun 1992. Kejadian bermula pada 3 Maret 1991 ketika warga kulit hitam Rodney King tertangkap dan dianiaya empat polisi. Kebetulan ada seorang warga yang merekam peristiwa itu dan menyerahkannya ke stasiun televisi.

Protes pun berdatangan sehingga akhirnya keempat polisi diseret ke pengadilan. Ketika pengadilan setempat pada 29 April 1992 menyatakan empat polisi itu tak bersalah, meledaklah suara ”ketidakadilan rasial”.
Kerusuhan meledak di Los Angeles dan berjalan berhari-hari. Penjarahan terjadi di mana- mana. Ratusan toko dan fasilitas sosial dibakar. Lebih dari 50 orang tewas, ribuan orang terluka, dan 5.000 orang ditangkap.

Jangan pula kerusuhan Mei dibandingkan dengan perebutan kekuasaan di Suriah dan Libya. Perang di Suriah yang berlangsung hampir 26 bulan itu membunuh lebih dari 100.000 nyawa. Adapun perebutan kekuasaan di Libya yang akhirnya menewaskan Presiden Moammar Khadafy membuat lebih dari 30.000 nyawa melayang.

Kudeta militer

Satu lagi pembeda utama antara peristiwa di Mesir dan Indonesia adalah peran militer. Di Mesir, meski tanpa mandat, militer mengambil alih kekuasaan. Di Indonesia, militer memilih tetap menjaga kelangsungan kehidupan yang demokratis.

Pada tanggal 18 Mei 1998, tiga hari sebelum mengundurkan diri, Presiden Soeharto menandatangani Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 1998 yang mengangkat Menhankam/Panglima ABRI sebagai Panglima Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional. Inti dari Inpres itu adalah memberi kewenangan kepada Panglima ABRI menentukan kebijakan nasional menghadapi krisis, mengambil langkah secepatnya untuk mencegah dan meniadakan penyebab atau peristiwa yang mengakibatkan gangguan nasional, serta meminta para menteri dan pemimpin lembaga pusat serta daerah membantu tugas Panglima ABRI.

Kondisi sangat kritis, Indonesia di ambang perang saudara, salah melangkah bisa membawa kehancuran total. Wajarlah kalau Kassospol saat itu, Letjen TNI Susilo Bambang Yudhoyono, bertanya, ”Apakah Panglima akan mengambil alih?”

Saya jawab, ”Tidak ! Mari kita antar proses pergantian pemerintahan secara konstitusional.”
Bagi saya demokrasi adalah jalan terbaik. Tidak ada alasan untuk membangun otoritarianisme dan kediktatoran. Pengambilalihan kekuasaan atau kudeta bagi saya merupakan pengkhianatan terhadap demokrasi. Kudeta juga berarti mengabaikan hak rakyat dalam pemilu.


Jika itu terjadi, peristiwa itu akan merupakan sejarah buruk dan cacat demokrasi dalam perjalanan kita berbangsa dan bernegara. Saya lebih memilih menjaga demokrasi daripada sekadar berkuasa, tetapi menghalalkan segala cara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar