Kamis, 01 Agustus 2013

Efektivitas DPR dan Curhat SBY

Efektivitas DPR dan Curhat SBY
Kiki Syahnakri  ;   Ketua Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat
          KOMPAS, 01 Agustus 2013


Seorang teman bercerita tentang keluhan salah seorang ketua fraksi di DPR bahwa kini sangat sulit melakukan koordinasi lintas ketua fraksi karena banyak yang sudah mulai turun ke daerah pemilihan.
Padahal, banyak masalah penting yang perlu dikoordinasikan, antara lain kenaikan harga kebutuhan pokok dan kekerasan yang dilakukan salah satu ormas. Seperti diberitakan harian ini, 90 persen anggota DPR saat ini kembali mencalonkan diri pada Pemilu 2014. Maka, setelah Daftar Calon Sementara ditetapkan pada Mei lalu, mereka pun lebih sibuk di daerah pemilihan.

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) memperkirakan tugas DPR di bidang legislasi, anggaran, dan pe- ngawasan akan terbengkalai. Padahal selama semester pertama- 2013, baru lima UU yang disahkan dari target 70 UU (Kompas, 23/7/2013).

Waktu efektif

Kesibukan anggota DPR di daerah pemilihan pasti berlanjut sampai Pemilu 9 April 2014, disusul perhitungan suara dan penetapannya serta pelantikan pada bulan berikutnya. Belum berakhir di sini, mereka akan terlibat pula dalam kesibukan menghadapi pemilu presiden sampai dengan pelantikannya, Oktober.

Dengan ambang batas parlemen 3,5 persen, diperkirakan Senayan masih akan dihuni sedikitnya tujuh partai politik sehingga apabila presiden terpilih masih tidak berani menetapkan ”kabinet kerja”, pola koalisi dengan politik dagang sapi akan terus berulang. Dengan demikian, kesibukan anggota DPR di luar tugas pokoknya akan berlanjut dengan konsolidasi baik di parlemen maupun di eksekutif yang bisa memakan waktu sedikitnya tiga bulan.

Bila dihitung sejak Mei 2013 hingga Januari 2015, total hampir dua tahun waktu mereka hanya digunakan untuk kepentingan perolehan suara dan konsolidasi kekuasaan. Berarti dari lima tahun masa bakti, hanya tiga tahun waktu efektif mereka dalam pengabdiannya, itu pun kalau benar-benar digunakan demi kepentingan rakyat. Dengan kata lain, kiprah para anggota DPR cenderung lebih banyak tersita untuk urusan kekuasaan dan kepentingan pribadi ataupun kelompok/partai, bukan tugas pokoknya.

Curhat SBY

Terkait hal itu, kita coba tarik relevansi fenomena tadi dengan refleksi/curhat Presiden SBY saat berbuka puasa bersama wartawan di Istana Negara, Rabu (17/7), seperti dilansir harian ini pada edisi Kamis (18/7). Ada lima poin reflektif yang ia lontarkan dan semuanya faktual. Sesungguhnya Presiden sendirilah yang harus menjawab dan mengatasinya karena beliau berdiri pada posisi sentral dalam menghadapi berbagai problem bangsa.

Di antaranya, Presiden mempertanyakan apakah sistem ketatanegaraan kita saat ini merupakan yang terbaik bagi bangsa ini. Penulis dapat langsung merespons dengan menegaskan ”sistem ini buruk dan eksesif” karena terlalu liberalistik.

Sistem demokrasi liberal dengan ciri kompetisi bebas terbukti tidak cocok dengan basis kultural bangsa maupun tingkat kedewasaan masyarakat, khususnya para elite parpol. Kebebasan sebagai syarat berdemokrasi pun tidak dapat dimanfaatkan dengan baik. Sebaliknya malah menimbulkan kebebasan nyaris tanpa batas yang menyuburkan Machiavellianisme, meningkatkan perilaku perburuan kekuasaan yang bisa melanggengkan multipartai serta korupsi.

Perekrutan kepemimpinan melalui sistem ini pun minim sekali melahirkan pemimpin berkualitas pada semua level kepemimpinan. Gejala kinerja DPR di atas merupakan salah satu ekses dari model sistem demokrasi liberal, pemilihan langsung one man-one vote yang akhirnya memaksa calon anggota legislatif harus berada di daerah pemilihan berlama-lama mengais suara.

Pertanyaan Presiden SBY tentang ”apakah check and balances antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif sudah baik dan berimbang”. Perlu diingat bahwa ”baik dan berimbang” tak berarti sekadar saling mendukung dan mengisi kepentingan masing- masing karena berada dalam satu perahu koalisi. DPR harus menjalankan tugas, kewajiban, dan fungsinya dengan maksimal dan berorientasi pada kepentingan nasional, bukan kepentingan segmental-partikularis. Jadi, pada saat dan dalam masalah tertentu DPR harus mampu bersikap kritis-korektif terhadap eksekutif. Pola koalisi justru membuka jalan bagi terjadinya perselingkuhan politik dan perkawinan kepentingan, baik antarlembaga maupun perorangan.

Berikutnya, Presiden bertanya apakah demokrasi, stabilitas, dan pembangunan bisa hidup berdampingan. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa kebebasan yang dibuka oleh liberalisme justru telah meningkatkan dengan tajam konflik komunal, tawuran, dan turbulensi sosial secara kuantitas maupun kualitas. Jadi, amat benderang bahwa dengan sistem demokrasi yang ditanamkan ini justru kita telah mema- nen instabilitas sehingga ”pasti” akan mengganggu proses pembangunan.


Memang ada pakar yang mengatakan bahwa ini wajar dalam masa transisi demokrasi. Dibutuhkan tujuh kali pemilu—dihitung per 2004—untuk sampai pada tingkat kedewasaan yang akan menghasilkan stabilitas. Pertanyaannya, apakah kita yakin akan sampai pada stabilitas atau sebaliknya, justru akan bermuara pada perpecahan bangsa. Seyogianya kita tidak berspekulasi dalam menentukan sistem demokrasi. Gelagat yang ada menunjukkan ke arah kemungkinan kedua itulah kehidupan bangsa ini sedang mengarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar