|
SUARA
KARYA, 17 Juni 2013
Menghadapi Pemilu 2014 diperlukan
dana yang sangat besar. Khususnya, untuk biaya kampanye, termasuk kampanye
"terselubung" untuk konsolidasi konstituen dan bakti sosial (kegiatan
amal) di masyarakat. Parpol bisa mengandalkan dana dari pendukungnya, baik
perseorangan maupun perusahaan atau perkumpulan, yang oleh UU Parpol diperbolehkan.
Namun, tentu harus ada peraturan
tentang transparansi pendanaan dan pengawasannya untuk menjamin agar sumbangan
ke parpol jelas sumbernya, bukan dari hasil kejahatan. Sumbangan dari
perseorangan bukan anggota parpol paling banyak satu miliar rupiah dan dari
perusahaan atau badan usaha Rp 7,5 miliar per tahun anggaran.
Tidak transparannya pendanaan
kegiatan politik bisa menimbulkan berbagai spekulasi. Bisa saja terjadi
pelanggaran atas besaran yang diterima meski dari uang sah maupun uang hasil
kejahatan, terutama uang hasil korupsi. Jika ada aliran dana korupsi (juga
kejahatan lain) yang masuk ke bendahara atau anggota partai, maka bisa sangat
berbahaya bagi kelangsungan bernegara nantinya. Pemerintah dan parlemen yang
terbentuk bisa tidak efektif. Sebab, mereka yang seharusnya memberantas korupsi
ternyata ketika menjalani proses pemilu, didanai oleh uang hasil korupsi.
Untuk menghindarinya, maka sumber
dana ke parpol harus jelas, teridentifikasi dengan pantas dan memadai, baik
yang berkaitan dengan identitas sang penyumbang maupun bagaimana cara
memperolehnya. Parpol tidak boleh menutup mata atas asal-usul dana keuangan
partai. Parpol harus transparan terkait sumber dana yang diterima dan
peruntukannya.
Sesuai Pasal 5 ayat (1) UU No 8
Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang disebutkan, "Setiap
orang
yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah,
sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah)." Ketentuan pasal ini bisa berakibat pada pembubaran partai,
seperti diatur oleh ketentuan Pasal 7 ayat (2).
Bagaimanapun, penggunaan dana
hasil korupsi untuk kegiatan parpol sangat jauh dari harapan suatu pesta
demokrasi. Oleh sebab itu, perlu tiga pedoman bersifat universal, yang harus
dipatuhi. Pertama, terkait transparansi asal-usul sumber dana dan jumlahnya
yang masuk ke partai. Kedua, transparansi penggunaan dana yang diterima partai.
Dan, ketiga, kewajiban melakukan pelaporan serta membuka hasil audit pada
masyarakat.
Memang, ada kemungkinan para
koruptor menyembunyikan hasil kejahatannya di salah satu parpol, yang ikut
pemilu dan merasa yakin kebal dari tuntutan hukum. Namun, setelah itu mereka
akan menjalin sinergi dengan pemegang kekuasaan hingga tidak mungkin lagi bisa
dikontrol pemerintah.
Maka, upaya pemberantasan korupsi
yang sedang gencar dilakukan akan menghadapi sandungan besar. Karena, yang
dihadapi adalah para koruptor yang mendanai partai dan telah menguasainya.
Bahayanya lagi, kalau parpol yang pendanaannya telah tercemari oleh uang
koruptor justru menjadi pemenang pemilu, atau kadernya menduduki jabatan
strategis dalam pemerintahan hasil pemilu tersebut. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar