Selasa, 18 Juni 2013

Transparansi Dana Partai

Transparansi Dana Partai
Yenti Garnasih ;   Dosen FH Universitas Trisakti
SUARA KARYA, 17 Juni 2013


Menghadapi Pemilu 2014 diperlukan dana yang sangat besar. Khususnya, untuk biaya kampanye, termasuk kampanye "terselubung" untuk konsolidasi konstituen dan bakti sosial (kegiatan amal) di masyarakat. Parpol bisa mengandalkan dana dari pendukungnya, baik perseorangan maupun perusahaan atau perkumpulan, yang oleh UU Parpol diperbolehkan.

Namun, tentu harus ada peraturan tentang transparansi pendanaan dan pengawasannya untuk menjamin agar sumbangan ke parpol jelas sumbernya, bukan dari hasil kejahatan. Sumbangan dari perseorangan bukan anggota parpol paling banyak satu miliar rupiah dan dari perusahaan atau badan usaha Rp 7,5 miliar per tahun anggaran.

Tidak transparannya pendanaan kegiatan politik bisa menimbulkan berbagai spekulasi. Bisa saja terjadi pelanggaran atas besaran yang diterima meski dari uang sah maupun uang hasil kejahatan, terutama uang hasil korupsi. Jika ada aliran dana korupsi (juga kejahatan lain) yang masuk ke bendahara atau anggota partai, maka bisa sangat berbahaya bagi kelangsungan bernegara nantinya. Pemerintah dan parlemen yang terbentuk bisa tidak efektif. Sebab, mereka yang seharusnya memberantas korupsi ternyata ketika menjalani proses pemilu, didanai oleh uang hasil korupsi.

Untuk menghindarinya, maka sumber dana ke parpol harus jelas, teridentifikasi dengan pantas dan memadai, baik yang berkaitan dengan identitas sang penyumbang maupun bagaimana cara memperolehnya. Parpol tidak boleh menutup mata atas asal-usul dana keuangan partai. Parpol harus transparan terkait sumber dana yang diterima dan peruntukannya.

Sesuai Pasal 5 ayat (1) UU No 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang disebutkan, "Setiap 
orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)." Ketentuan pasal ini bisa berakibat pada pembubaran partai, seperti diatur oleh ketentuan Pasal 7 ayat (2).

Bagaimanapun, penggunaan dana hasil korupsi untuk kegiatan parpol sangat jauh dari harapan suatu pesta demokrasi. Oleh sebab itu, perlu tiga pedoman bersifat universal, yang harus dipatuhi. Pertama, terkait transparansi asal-usul sumber dana dan jumlahnya yang masuk ke partai. Kedua, transparansi penggunaan dana yang diterima partai. Dan, ketiga, kewajiban melakukan pelaporan serta membuka hasil audit pada masyarakat.

Memang, ada kemungkinan para koruptor menyembunyikan hasil kejahatannya di salah satu parpol, yang ikut pemilu dan merasa yakin kebal dari tuntutan hukum. Namun, setelah itu mereka akan menjalin sinergi dengan pemegang kekuasaan hingga tidak mungkin lagi bisa dikontrol pemerintah.


Maka, upaya pemberantasan korupsi yang sedang gencar dilakukan akan menghadapi sandungan besar. Karena, yang dihadapi adalah para koruptor yang mendanai partai dan telah menguasainya. Bahayanya lagi, kalau parpol yang pendanaannya telah tercemari oleh uang koruptor justru menjadi pemenang pemilu, atau kadernya menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan hasil pemilu tersebut. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar