|
INILAH.COM,
27 Juni 2013
Ini tentang wartawan, tenaga profesional yang
biasa mengungkap kebenaran dan selalu mengutamakan kepentingan warga lewat
tulisan atau gambar yang mereka sajikan pada suatu peristiwa.
Nah,
ada yang menarik dalam peristiwa konferensi pers kunjungan Ronaldo di Denpasar,
Rabu (26 Juni). Sebagaimana diberitakan INILAH.COM, dalam
konferensi pers yang sempat molor itu, ternyata puluhan jurnalis tidak diberi
peluang bertanya dengan pada Ronaldo.
Sebelum
konferensi pers, pemandu acara sudah mewanti-wanti wartawan agar diam.
"Mohon para wartawan tidak mengajukan pertanyaan kepada Ronaldo…,"
ujar pemandu acara di depan meja ruang konferensi pers.
Karuan
saja para wartawan kecewa. Seorang wartawan cetak mengkritik pemandu acara.
"Kalau gak boleh nanya, namanya pemaparan, sosialisasi, bukan konferensi
pers," katanya.
Mungkin
sekali pembatasan itu bertujuan agar fokus berita yang nantinya muncul di media
tidak lari dari ‘angle’ seputar peran striker Real Madrid itu sebagai duta
mangrove saja – tidak melenceng ke pada masalah lain seperti hubungan Ronaldo
dengan kekasihnya, top model Irina Shayk.
Ini
mengingatkan penulis pada peristiwa yang terjadi saat Perang Teluk I, awal
1990-an. Di masa pemerintahan Presiden George H.W. Bush itu, Menteri Luar
Negeri (Menlu) AS James Baker III menemui Menlu Arab Saudi saat itu, Pangeran
Saud Al-Faisal di Jeddah, dalam rangka urusan pembebasan Kuwait dari
cengkeraman Irak.
Pada
masa itu, bila Anda ingat, tentara Saddam Husain sempat merangsek dan menguasai
Kuwait, dan Baker merupakan penggerak utama pembentukan kekuatan koalisi 34
negara lewat ‘Operation Desert Shield’.
Ringkasnya,
dalam konferensi pers usai pertemuan Baker dan Al-Faisal itu, protokol
mengingatkan para wartawan yang hadir, bahwa “nanti tidak boleh ada
pertanyaan.”
Kalian,
kata petugas itu, hanya boleh memotret peristiwa ketika kedua Menlu itu
nantinya saling berjabat-tangan. “No question, please,” kata sang
protokol berseragam militer itu berulang kali.
Karuan
saja wartawan, termasuk yang datang dari AS, menggerutu. Seorang wartawan, yang
berada di dekat saya saat itu, malah nyeletuk, “Memang kalau nanti saya
bertanya, apa Anda akan menembak saya?”
Tak
pelak, suara gelak tawa pun membahana.
Dalam
dunia jurnalistik itu suatu hal yang mustahil. Apa lagi di antara puluhan
wartawan yang hadir itu terdapat sejumlah wartawan senior, termasuk mereka yang
biasa bertugas di Gedung Putih, atau mereka yang terbiasa untuk bertanya secara
mendadak, dan mencegat pejabat tinggi di mana pun.
Ada
pelajaran penting dari kedua peristiwa di atas. Pertama, petugas public
relations (PR) yang mengampu acara konferensi pers semestinya tahu bahwa
wartawan tak boleh, dan tak bisa, dibatasi.
Jangankan
dalam acara yang menghadirkan atau mengundang mereka, bahkan saat jurnalis
mengejar sumber berita dalam wawancara mendadak atau ‘door-stop interview’, misalnya,
sumber berita tidak berhak mengajukan syarat melarang ini atau menyuruh itu.
Konon,
dalam wawancara mendadak dengan Menteri Perhubungan Rusmin Nuryadin sesudah
peristiwa tabrakan kereta api di Bintaro yang menewaskan lebih dari 100 orang
(dan menyebabkan 300-an lainnya luka-luka), Oktober 1987, seorang wartawan
malah mengajukan pertanyaan yang sangat pedas kepada Rusmin: “Apa benar Bapak
akan mengundurkan diri?”
Konon
Rusmin, yang saat itu baru usai dengar pendapat di DPR, amat terkejut. Wajar
bila wajahnya memerah. Bisa diduga ia tidak menyangka ada soal setelak tadi,
sehingga logis kalau misalnya ia marah atau merasa dipermalukan.
Pelajaran
kedua adalah bahwa wartawan sendiri seharusnya tidak perlu memerdulikan
larangan bagi dirinya. Mereka yang profesional tahu bahwa adalah hak wartawan
untuk bertanya apa saja, sesuai dengan informasi yang ingin diliputnya. Bahwa
jika nanti yang ditanya tidak mau menjawab, atau bersikap ‘no comment’, itu
urusan sang sumber berita.
Wartawan
mestinya berani maju terus, pantang menerima ‘no as the final answer’; terus
mencecar dan mencari jalan terbaik, legal dan etis untuk memperoleh informasi
yang akurat dari sumber berita.
Wartawan
versus praktisi PR
Wartawan
dan para praktisi PR memang sering memiliki hubungan ambivalen. Di antara
keduanya ada saling-ketergantungan, tetapi mereka juga sering saling curiga
satu dengan lainnya.
Mengapa
demikian?
Para
wartawan berpikir bahwa para praktisi PR berada di tempatnya untuk menghambat
jalan para jurnalis kepada sumber berita yang ingin mereka temui. Praktisi PR
sering dianggap hanya menceritakan ‘sebagian kebenaran’ saja, mereka sering
melakukan ‘spin’ untuk kepentingan organisasi mereka sendiri.
Konsekuensinya,
jika jurnalis hanya mengutip ucapan mereka dan menulis berita berdasarkan
materi PR -- yang biasanya hanya mengandung sebagian kebenaran -- maka para
jurnalis itu akan merasa direndahkan atau dibodohi.
Di
sisi lain, para praktisi PR merasa bahwa para wartawan kadang mencurigai
mereka. Tenaga PR -- yang merasa telah menyediakan informasi sepenuhnya -- ada
kalanya kecewa ketika melihat hasil berita yang muncul telah dipelintir, atau
merasa ‘keterbukaan’ mereka telah disalahgunakan.
Akibatnya,
muncul keruwetan dan keengganan bekerjasama, sehingga keduanya tidak berhasil
memberikan layanan terhadap profesi masing-masing dan publik mereka.
Hal
itu makin diperparah oleh adanya anggapan bahwa, media lebih suka menyebarkan
berita negatif ketimbang mempublikasikan berita baik -- sehingga muncul pameo
dalam dunia jurnalistik, ‘bad news is good news.’
Akibatnya
praktisi PR kecewa karena jurnalis seperti tidak memahami bahwa praktisi PR
telah melakukan pelayanan luar biasa kepada masyarakat, dengan cara membuka
kanal komunikasi antara organisasi mereka dengan media.
Bagaimana
pun, yang tidak kita inginkan adalah bila terjadi ‘PR-ization of the media’.
Bila itu terjadi, tentu kita akan mempertanyakan independensi jurnalis,
berhubung mereka makin tergantung pada sejumlah sumber yang berpihak atau
partisan, sementara publik tidak menyadari situasi itu.
Kalau
wartawan dibatasi kecakapannya untuk bertanya dan menganalisa, akibat ‘tekanan’
praktisi PR, kita akan melihat makin menurunnya mutu berita. Kita juga akan
menyaksikan makin banyaknya berita setengah matang, ‘voyeuristic’ dan dangkal – sehingga terjadilah ‘the dumbing down of the media,’ semacam
pembodohan oleh media.
Mesti
diingat bahwa belakangan ini makin banyak berita muncul berkat kerja keras para
praktisi PR. Menurut Anne Gregory dari Leeds Metropolitan University,
diperkirakan 80% berita yang muncul di halaman bisnis suratkabar dan sekitar
50% berita umum (general news)
lazimnya muncul berkat kerja orang-orang PR, baik secara langsung atau pun
tidak langsung.
Konsekuensinya,
wartawan yang malas akan senang untuk menerima ‘tulisan jadi’ (pre-written copy) yang disiapkan
praktisi PR, tanpa sedikit pun mempertanyakannya, dan senang pada ‘segala yang
mudah’, tanpa merasa harus melakukan pengecekan fakta sendiri, atau ‘check and re-check’ dari sumber berita
yang berbeda.
Bila
ini terjadi, publik akan merugi, karena peran kritis media menjadi tumpul. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar