|
KORAN
SINDO, 28 Juni 2013
Penyakit tahunan hutan Indonesia
baru-baru ini kambuh: kebakaran hutan. Data titik api (hotspot) dari satelit Landsat pada 11–18 Juni 2013 terpantau 1.210
titik api dan 1.180 atau 98% berada di Riau, Sumatera, sisanya tersebar
termasuk di Kalimantan.
Tidak tanggung-tanggung, luas hutan dan lahan yang mengakibatkan asap tebal diperkirakan mencapai 3.709 hektare (ha). Luas tersebut meliputi hutan dan lahan di enam kabupaten/ kota di Riau yakni Kota Pekanbaru, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Kampar, Kabupaten Siak, Kabupaten Bengkalis, dan Kota Dumai.
Akibatnya ratusan warga yang tinggal dekat dengan titik api mengungsi karena tidak kuat menghirup udara yang tercemar, jadwal penerbangan dan transportasi lain terganggu, satwa liar berhamburan kehilangan habitatnya. Tak hanya itu, kabut asap juga mengepung negara tetangga; Singapura dan Malaysia. Kebakaran hutan dan lahan bukanlah masalah yang baru di Indonesia, namun penanganannya selalu menjadi permasalahan laten.
Kebakaran hutan dan lahan yang semula bersifat bencana lokal telah berkembang menjadi bencana nasional bahkan internasional, khususnya yang terjadi pada tahun 1997/1998, tahun 2005/2006, dan kini di tahun 2013. Kebakaran hutan harus disikapi sebagai tragedi lingkungan, karena aspeknya tidak hanya terkait dengan hutan maupun lahan, tetapi telah merembet ke seluruh aspek kehidupan.
Pengalaman mencatat bahwa krisis lingkungan sering kali pada penggundulan hutan, khususnya pembakaran hutan. Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) laju deforestation atau pengurangan hutan di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu sekitar 1,3 ha dalam dua tahun terakhir. Akibatnya, luas kawasan hutan yang semula 130.509.671 ha, kini kawasan yang tergolong masih hutan alam hanya tersisa 60 juta ha saja.
Kebakaran hutan kali ini juga mengandung pelajaran serupa, bahwa manusia masih belum juga belajar untuk mengelola alam dengan cara arif dan bersahabat. Ditambah lagi, pemerintah kerap abai terhadap perilaku para pembakar hutan yang keberadaannya selalu datang dan pergi seiring dengan perubahan musim.
Pemeriksaan BPK
Sebenarnya sebelum terjadinya peristiwa ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan audit atas pengendalian kebakaran hutan dan lahan pada 2007. Audit ini meliputi tujuh pemerintah provinsi sekaligus kota/kabupaten di dalamnya, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah.
Hasil pemeriksaan atas kegiatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan menunjukkan adanya ketidakpatuhan para pengelola kawasan, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan, maupun masyarakat terhadap peraturan perundangan. Selain itu, ditemukan kelemahan dalam pelaksanaan kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang meliputi kegiatan pencegahan, penanggulangan dan penanganan pasca kebakaran.
Hasilnya dapat disimpulkan, antara lain; pertama, kegiatan pencegahan kebakaran hutan dan lahan belum optimal. Hal ini tampak dari organisasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang belum berfungsi secara maksimal, bahkan di sebagian daerah belum terbentuk organisasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kebijakan pemerintah daerah dalam masalah izin usaha perkebunan tidak selaras dengan kebijakan nasional.
Wewenang pemerintah untuk menunjuk kawasan hutan sering kali dianggap tumpang tindih dan tidak memperhatikan keadaan yang sesungguhnya di areal yang ditunjuk. Kedua, kegiatan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan tidak optimal karena personel dan peralatan pemadaman kebakaran hutan dan lahan belum memadai, dan tidak sebanding dengan luas areal yang harus ditangani. Ketiga, kegiatan penanganan pascakebakaran hutan dan lahan serta dampak lingkungan belum optimal.
Hal ini tampak dari penegakan hukum terhadap para pelaku pembakaran masih lemah, penetapan ganti kerugian lingkungan kerap tidak jelas dasar perhitungannya dan tidak didukung dengan dokumen perhitungan. Ada juga kecenderungan bahwa pelaku dan aktor intelektual kejahatan kehutanan justru bebas dari jeratan hukum. Selain itu, ada temuan bahwa belum ada izin perusahaan yang dicabut akibat pelanggaran membakar hutan untuk membuka lahan baru atau kepentingan yang lain.
Zero Deforestation
Menanggapi permasalahan di atas, sudah saatnya pemerintah mulai fokus untuk mengevaluasi bencana asap yang kerap tahun merugikan masyarakat. Sesungguhnya bukan hal yang sulit untuk melakukannya apabila para pengambil kebijakan serius dan tegas untuk itu. Setidaknya solusi untuk penanggulangan kebakaran hutan bisa dikelompokkan ke dalam empat hal. Pertama, terkait pencegahan, harus ada grand designyang baik dan jelas dalam pengelolaan dan perlindungan hutan. Adanya sistem informasi manajemen kebakaran hutan dan lahan yang update dan akurat wajib terpenuhi.
Kedua, perlunya penguatan sistem peringatan dini yang mampu memantau dan menganalisa perubahan cuaca (kemarau) dengan rentang waktu yang panjang sehingga kebakaran hutan bisa dideteksi lebih awal. Sebagai upaya pemantauan ini, pemerintah wajib memberdayakan masyarakat dan lembaga masyarakat adat terutama yang berada di sekitar kawasan hutan untuk mengawasi kinerja aparat dalam melakukan pencegahan, pemantauan dan penanggulangan kebakaran hutan.
Pemerintah bisa memperkuat partisipasi warga dengan program peningkatan pendapatannya dengan berbagai pola seperti pola hutan rakyat dengan sistem kerja sama, sekaligus membekali masyarakat dengan wawasan penegakan hukum lingkungan. Ketiga, pemerintah harus transparan dalam memberikan izin dan mampu bersikap tegas kepada perusahaan yang menggunakan hutan dan lahan.
Perusahaan juga harus bertanggung jawab memastikan rantai suplai mereka, berkomitmen kepada zero deforestation dan menghentikan praktik-praktik melanggar hukum seperti pembukaan lahan dengan membakar yang merusak hutan dan udara kita. Jika perusahaan masih saja membakar hutan untuk membuka lahan, pemerintah harus memberikan sanksi yang setimpal baik berupa pencabutan izin usaha bagi perusahaan maupun sanksi yang lain.
Keempat, upaya jangka pendek yang harus segera dilakukan adalah merancang peraturan perundangan yang melarang dengan tegas metode bakar dalam melakukan land clearing. Kebakaran hutan di Indonesia sudah mencapai tingkat yang sangat perlu diperhatikan dan harus ditanggulangi secara serius karena sudah menjadi masalah global.
Pemerintah mempunyai peran yang tidak kecil dalam mengatasi tragedi lingkungan ini. Namun, pemerintah sebagai pengemban amanah rakyat tidak akan bisa mengatasinya sendiri. Koordinasi serta sinergi antar-stakeholderadalah sebuah keniscayaan untuk mengatasi masalah laten ini. Melakukan langkah bersama adalah jawabannya. Bukankah begitu? ●
Tidak tanggung-tanggung, luas hutan dan lahan yang mengakibatkan asap tebal diperkirakan mencapai 3.709 hektare (ha). Luas tersebut meliputi hutan dan lahan di enam kabupaten/ kota di Riau yakni Kota Pekanbaru, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Kampar, Kabupaten Siak, Kabupaten Bengkalis, dan Kota Dumai.
Akibatnya ratusan warga yang tinggal dekat dengan titik api mengungsi karena tidak kuat menghirup udara yang tercemar, jadwal penerbangan dan transportasi lain terganggu, satwa liar berhamburan kehilangan habitatnya. Tak hanya itu, kabut asap juga mengepung negara tetangga; Singapura dan Malaysia. Kebakaran hutan dan lahan bukanlah masalah yang baru di Indonesia, namun penanganannya selalu menjadi permasalahan laten.
Kebakaran hutan dan lahan yang semula bersifat bencana lokal telah berkembang menjadi bencana nasional bahkan internasional, khususnya yang terjadi pada tahun 1997/1998, tahun 2005/2006, dan kini di tahun 2013. Kebakaran hutan harus disikapi sebagai tragedi lingkungan, karena aspeknya tidak hanya terkait dengan hutan maupun lahan, tetapi telah merembet ke seluruh aspek kehidupan.
Pengalaman mencatat bahwa krisis lingkungan sering kali pada penggundulan hutan, khususnya pembakaran hutan. Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) laju deforestation atau pengurangan hutan di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu sekitar 1,3 ha dalam dua tahun terakhir. Akibatnya, luas kawasan hutan yang semula 130.509.671 ha, kini kawasan yang tergolong masih hutan alam hanya tersisa 60 juta ha saja.
Kebakaran hutan kali ini juga mengandung pelajaran serupa, bahwa manusia masih belum juga belajar untuk mengelola alam dengan cara arif dan bersahabat. Ditambah lagi, pemerintah kerap abai terhadap perilaku para pembakar hutan yang keberadaannya selalu datang dan pergi seiring dengan perubahan musim.
Pemeriksaan BPK
Sebenarnya sebelum terjadinya peristiwa ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan audit atas pengendalian kebakaran hutan dan lahan pada 2007. Audit ini meliputi tujuh pemerintah provinsi sekaligus kota/kabupaten di dalamnya, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah.
Hasil pemeriksaan atas kegiatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan menunjukkan adanya ketidakpatuhan para pengelola kawasan, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan, maupun masyarakat terhadap peraturan perundangan. Selain itu, ditemukan kelemahan dalam pelaksanaan kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang meliputi kegiatan pencegahan, penanggulangan dan penanganan pasca kebakaran.
Hasilnya dapat disimpulkan, antara lain; pertama, kegiatan pencegahan kebakaran hutan dan lahan belum optimal. Hal ini tampak dari organisasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang belum berfungsi secara maksimal, bahkan di sebagian daerah belum terbentuk organisasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kebijakan pemerintah daerah dalam masalah izin usaha perkebunan tidak selaras dengan kebijakan nasional.
Wewenang pemerintah untuk menunjuk kawasan hutan sering kali dianggap tumpang tindih dan tidak memperhatikan keadaan yang sesungguhnya di areal yang ditunjuk. Kedua, kegiatan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan tidak optimal karena personel dan peralatan pemadaman kebakaran hutan dan lahan belum memadai, dan tidak sebanding dengan luas areal yang harus ditangani. Ketiga, kegiatan penanganan pascakebakaran hutan dan lahan serta dampak lingkungan belum optimal.
Hal ini tampak dari penegakan hukum terhadap para pelaku pembakaran masih lemah, penetapan ganti kerugian lingkungan kerap tidak jelas dasar perhitungannya dan tidak didukung dengan dokumen perhitungan. Ada juga kecenderungan bahwa pelaku dan aktor intelektual kejahatan kehutanan justru bebas dari jeratan hukum. Selain itu, ada temuan bahwa belum ada izin perusahaan yang dicabut akibat pelanggaran membakar hutan untuk membuka lahan baru atau kepentingan yang lain.
Zero Deforestation
Menanggapi permasalahan di atas, sudah saatnya pemerintah mulai fokus untuk mengevaluasi bencana asap yang kerap tahun merugikan masyarakat. Sesungguhnya bukan hal yang sulit untuk melakukannya apabila para pengambil kebijakan serius dan tegas untuk itu. Setidaknya solusi untuk penanggulangan kebakaran hutan bisa dikelompokkan ke dalam empat hal. Pertama, terkait pencegahan, harus ada grand designyang baik dan jelas dalam pengelolaan dan perlindungan hutan. Adanya sistem informasi manajemen kebakaran hutan dan lahan yang update dan akurat wajib terpenuhi.
Kedua, perlunya penguatan sistem peringatan dini yang mampu memantau dan menganalisa perubahan cuaca (kemarau) dengan rentang waktu yang panjang sehingga kebakaran hutan bisa dideteksi lebih awal. Sebagai upaya pemantauan ini, pemerintah wajib memberdayakan masyarakat dan lembaga masyarakat adat terutama yang berada di sekitar kawasan hutan untuk mengawasi kinerja aparat dalam melakukan pencegahan, pemantauan dan penanggulangan kebakaran hutan.
Pemerintah bisa memperkuat partisipasi warga dengan program peningkatan pendapatannya dengan berbagai pola seperti pola hutan rakyat dengan sistem kerja sama, sekaligus membekali masyarakat dengan wawasan penegakan hukum lingkungan. Ketiga, pemerintah harus transparan dalam memberikan izin dan mampu bersikap tegas kepada perusahaan yang menggunakan hutan dan lahan.
Perusahaan juga harus bertanggung jawab memastikan rantai suplai mereka, berkomitmen kepada zero deforestation dan menghentikan praktik-praktik melanggar hukum seperti pembukaan lahan dengan membakar yang merusak hutan dan udara kita. Jika perusahaan masih saja membakar hutan untuk membuka lahan, pemerintah harus memberikan sanksi yang setimpal baik berupa pencabutan izin usaha bagi perusahaan maupun sanksi yang lain.
Keempat, upaya jangka pendek yang harus segera dilakukan adalah merancang peraturan perundangan yang melarang dengan tegas metode bakar dalam melakukan land clearing. Kebakaran hutan di Indonesia sudah mencapai tingkat yang sangat perlu diperhatikan dan harus ditanggulangi secara serius karena sudah menjadi masalah global.
Pemerintah mempunyai peran yang tidak kecil dalam mengatasi tragedi lingkungan ini. Namun, pemerintah sebagai pengemban amanah rakyat tidak akan bisa mengatasinya sendiri. Koordinasi serta sinergi antar-stakeholderadalah sebuah keniscayaan untuk mengatasi masalah laten ini. Melakukan langkah bersama adalah jawabannya. Bukankah begitu? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar