Kamis, 27 Juni 2013

Menyikapi Penuntasan Kasus Pajak

Menyikapi Penuntasan Kasus Pajak
Wirawan B Ilyas ;  Dosen Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta
SINAR HARAPAN, 26 Juni 2013


Persoalan penuntasan kasus pajak Asian Agri sesuai putusan MA Nomor 2339 Tahun 2012, akhirnya diselesaikan juga melalui jalur hukum administrasi. Ditjen Pajak telah menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) sesuai putusan MA dan Asian Agri telah melunasinya sesuai aturan yang berlaku.
Sampai saat ini diberitakan Asian Agri telah membayar tunggakan pajak Rp 1,9 triliun. Namun, Asian Agri juga terus melakukan upaya hukum yang disediakan UU seperti upaya hukum keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 UU KUP Nomor 16 Tahun 2000. Persoalan pajak akhirnya bergulir ke ranah hukum administrasi.

Tindakan Ditjen Pajak melakukan penagihan pajak dengan cara seperti itu sangat tepat. Segala sesuatunya sudah didasarkan pada ketentuan UU pajak yang berlaku. Namun, tindakan pemerintah masih menyisakan persoalan hukum dan perlu disikapi dengan mengantisipasi kemungkinan timbulnya persoalan hukum lain.
Kemungkinan Asian Agri melakukan perlawanan hukum melalui keberatan, banding, maupun peninjauan kembali, tetap perlu diantisipasi agar hukum tetap bisa ditegakkan sesuai aturan pajak yang berlaku. Artinya, proses panjang tuntasnya utang pajak yang sesungguhnya masih menunggu waktu lagi.

Setidaknya ada dua pokok persoalan. Pertama, apakah dimungkinkan melakukan penerbitan SKPKB tanpa melalui proses pemeriksaan pajak sebagai bagian dari proses hukum administrasi pajak? Kedua, bagaimana cara memahami hukum administrasi pajak bisa menjadi bagian dari hukum pidana?

SKPKB

UU pajak mengatur SKPKB dapat terbit jika Wajib Pajak (WP) telah dilakukan proses pemeriksaan untuk menghitung besaran jumlah pajak yang masih harus dibayar. Pemeriksaan pajak memberikan kedudukan hukum seimbang yang diberikan UU jika WP tidak patuh pada sistem penghitungan yang harus dilakukannya sendiri.

Self assessment system sebagai sistem pemungutan pajak yang diakui sejak tahun 1983 jelas tidak akan berjalan jika tidak diimbangi dengan wewenang pemeriksaan yang diberikan UU kepada fiskus (petugas pajak).

Jadi, ketika WP mengakali pembayaran pajak dengan berbagai cara, pemeriksaan menjadi lembaga atau proses hukum yang harus dilakukan sesuai UU (Pasal 29 UU KUP Nomor 6/1983 jo UU Nomor 28/2007).

Kalau begitu, pertanyaan pokok pertama apakah penerbitan SKPKB terhadap Asian Agri sudah melalui proses pemeriksaan? Jika tidak, tentu bisa dipersoakan atau digugat WP. Lalu pertanyaan selanjutnya, apa dasar hukum menerbitkan SKPKB? Apakah SKPKB boleh terbit atas dasar Putusan MA? Jika itu benar, apakah UU pajak sudah mengatur penerbitan SKPKB atas dasar putusan MA?

Boleh jadi ada pihak beranggapan, proses penerbitan SKPKB tidak melulu harus dimulai dari proses pemeriksaan. Dengan kata lain, SKPKB boleh terbit tanpa melalui pemeriksaan tetapi berdasarkan putusan MA. Cara berpikir hukum seperti itu tentu akan menjadi perdebatan tersendiri karena tidak diatur UU pajak.
Penulis menduga cara berpikir hukum seperti itu hanya didasarkan pada ketentuan Pasal 13 Ayat (5) UU KUP. Pasal itu menegaskan, SKPKB dapat diterbitkan ditambah sanksi bunga sebesar 48 persen bila WP dipidana karena melakukan tindak pidana pajak berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Jika ada putusan hakim yang memidana WP lalu hakim juga menghitung jumlah pajak yang akan menjadi landasan fiskus menerbitkan SKPKB, berarti posisi hukum hakim menjadi ganda. Dengan kata lain, posisi hukum hakim selain sebagai hakim pemutus pidana, hakim juga mendudukan posisi hukumnya sebagai pemeriksa pajak atau sebagai fiskus.

Jadi, pemahaman ketentuan Pasal 13 Ayat (5) UU KUP tidak bisa dimaknai sendiri tanpa dikaitkan dengan prosedur penerbitan SKPKB melalui pemeriksaan. Ketika hakim memutuskan persoalan pidana, persoalan hitungan pajak merupakan persoalan hukum yang terpisah. Hitungan pajak tetap dilakukan petugas pemeriksa pajak sebagaimana diatur UU.

UU pajak tidak pernah memberikan kewenangan kepada hakim menghitung jumlah pajak yang harus dibayar terpidana. Penetapan besaran pajak yang harus dibayar ditentukan berdasarkan dokumen hitungan fiskus melalui alur mekanisme pemeriksaan pajak. Persoalan utang pajak adalah persoalan administrasi pajak yang tidak berkaitan dengan persoalan pidana.

Persoalan pidana adalah persoalan hukum sendiri yang tidak ada kaitannya dengan persoalan hukum administrasi pungutan pajak. Kerancuan dalam berpikir, mengaitkan persoalan pidana dengan administrasi pungutan pajak, sangat fatal. Boleh jadi hal ini karena hakim tidak memahami filosofi pungutan pajak.

Memidana

Persoalan pokok kedua yang penting direnungkan adalah bagaimana cara memahami pungutan pajak yang dari awal bukan dimaksudkan memidana WP. Sejak putusan pidana terhadap Suwir Laut (Mantan Manager Asian Agri) diputus MA pada 18 Desember 2012, persoalan pungutan pajak menjadi rancu dan menyulitkan posisi pemerintah dalam memungut pajak.

Kesalahan dipicu ketidakpahaman filosofi pungutan pajak yang dalam sejarah tidak pernah bermaksud memidana WP. Lihat saja putusan MA terhadap Suwir Laut dengan doktrin hukum vicarious liability, telah memberikan kekacauan hukum dalam proses pungutan pajak. Doktrin hukum tersebut bukanlah terobosan hukum melainkan kekacauan hukum. Mengapa?

Pungutan pajak adalah bagian dari hukum administrasi, yaitu bagaimana cara negara memungut pajak dari warganya. Pajak yang merupakan hak negara hanya bisa dilakukan jika ada sifat memaksa. Sifat memaksa pajak bukan diterjemahkan dalam konteks pidana, tetapi tetap dalam konteks hukum administrasi.
Oleh karena itu, sifat memaksa pajak bukan diartikan memenjara terkait hukum pidana. Memenjara WP harus tetap dalam konteks hukum administrasi yang implementasinya diwujudkan dalam UU Penagihan Nomor 19/2000. Dengan berpikir seperti itu, tepat jika pemerintah menerbitkan SKPKB dan menagih pajak sesuai UU di atas.

Dengan memahami filosofi pajak, putusan MA mencampuradukkan pidana dalam pungutan pajak perlu dikaji kembali. Pandangan hukum MA baru mencerminkan kepastian hukum semata dan belum mencerminkan keadilan serta filosofi pungutan pajak. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar