|
SINAR
HARAPAN, 26 Juni 2013
Persoalan
penuntasan kasus pajak Asian Agri sesuai putusan MA Nomor 2339 Tahun 2012,
akhirnya diselesaikan juga melalui jalur hukum administrasi. Ditjen Pajak telah
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) sesuai putusan MA dan
Asian Agri telah melunasinya sesuai aturan yang berlaku.
Sampai
saat ini diberitakan Asian Agri telah membayar tunggakan pajak Rp 1,9 triliun.
Namun, Asian Agri juga terus melakukan upaya hukum yang disediakan UU seperti
upaya hukum keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 UU KUP Nomor 16 Tahun
2000. Persoalan pajak akhirnya bergulir ke ranah hukum administrasi.
Tindakan
Ditjen Pajak melakukan penagihan pajak dengan cara seperti itu sangat tepat.
Segala sesuatunya sudah didasarkan pada ketentuan UU pajak yang berlaku. Namun,
tindakan pemerintah masih menyisakan persoalan hukum dan perlu disikapi dengan
mengantisipasi kemungkinan timbulnya persoalan hukum lain.
Kemungkinan
Asian Agri melakukan perlawanan hukum melalui keberatan, banding, maupun
peninjauan kembali, tetap perlu diantisipasi agar hukum tetap bisa ditegakkan
sesuai aturan pajak yang berlaku. Artinya, proses panjang tuntasnya utang pajak
yang sesungguhnya masih menunggu waktu lagi.
Setidaknya
ada dua pokok persoalan. Pertama, apakah dimungkinkan melakukan penerbitan
SKPKB tanpa melalui proses pemeriksaan pajak sebagai bagian dari proses hukum
administrasi pajak? Kedua, bagaimana cara memahami hukum administrasi pajak
bisa menjadi bagian dari hukum pidana?
SKPKB
UU
pajak mengatur SKPKB dapat terbit jika Wajib Pajak (WP) telah dilakukan proses
pemeriksaan untuk menghitung besaran jumlah pajak yang masih harus dibayar.
Pemeriksaan pajak memberikan kedudukan hukum seimbang yang diberikan UU jika WP
tidak patuh pada sistem penghitungan yang harus dilakukannya sendiri.
Self
assessment system sebagai sistem pemungutan pajak yang diakui sejak tahun 1983
jelas tidak akan berjalan jika tidak diimbangi dengan wewenang pemeriksaan yang
diberikan UU kepada fiskus (petugas pajak).
Jadi,
ketika WP mengakali pembayaran pajak dengan berbagai cara, pemeriksaan menjadi
lembaga atau proses hukum yang harus dilakukan sesuai UU (Pasal 29 UU KUP Nomor
6/1983 jo UU Nomor 28/2007).
Kalau
begitu, pertanyaan pokok pertama apakah penerbitan SKPKB terhadap Asian Agri
sudah melalui proses pemeriksaan? Jika tidak, tentu bisa dipersoakan atau
digugat WP. Lalu pertanyaan selanjutnya, apa dasar hukum menerbitkan SKPKB?
Apakah SKPKB boleh terbit atas dasar Putusan MA? Jika itu benar, apakah UU
pajak sudah mengatur penerbitan SKPKB atas dasar putusan MA?
Boleh
jadi ada pihak beranggapan, proses penerbitan SKPKB tidak melulu harus dimulai
dari proses pemeriksaan. Dengan kata lain, SKPKB boleh terbit tanpa melalui
pemeriksaan tetapi berdasarkan putusan MA. Cara berpikir hukum seperti itu
tentu akan menjadi perdebatan tersendiri karena tidak diatur UU pajak.
Penulis
menduga cara berpikir hukum seperti itu hanya didasarkan pada ketentuan Pasal
13 Ayat (5) UU KUP. Pasal itu menegaskan, SKPKB dapat diterbitkan ditambah
sanksi bunga sebesar 48 persen bila WP dipidana karena melakukan tindak pidana
pajak berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Jika
ada putusan hakim yang memidana WP lalu hakim juga menghitung jumlah pajak yang
akan menjadi landasan fiskus menerbitkan SKPKB, berarti posisi hukum hakim
menjadi ganda. Dengan kata lain, posisi hukum hakim selain sebagai hakim
pemutus pidana, hakim juga mendudukan posisi hukumnya sebagai pemeriksa pajak
atau sebagai fiskus.
Jadi,
pemahaman ketentuan Pasal 13 Ayat (5) UU KUP tidak bisa dimaknai sendiri tanpa
dikaitkan dengan prosedur penerbitan SKPKB melalui pemeriksaan. Ketika hakim
memutuskan persoalan pidana, persoalan hitungan pajak merupakan persoalan hukum
yang terpisah. Hitungan pajak tetap dilakukan petugas pemeriksa pajak
sebagaimana diatur UU.
UU
pajak tidak pernah memberikan kewenangan kepada hakim menghitung jumlah pajak
yang harus dibayar terpidana. Penetapan besaran pajak yang harus dibayar
ditentukan berdasarkan dokumen hitungan fiskus melalui alur mekanisme
pemeriksaan pajak. Persoalan utang pajak adalah persoalan administrasi pajak yang
tidak berkaitan dengan persoalan pidana.
Persoalan
pidana adalah persoalan hukum sendiri yang tidak ada kaitannya dengan persoalan
hukum administrasi pungutan pajak. Kerancuan dalam berpikir, mengaitkan
persoalan pidana dengan administrasi pungutan pajak, sangat fatal. Boleh jadi
hal ini karena hakim tidak memahami filosofi pungutan pajak.
Memidana
Persoalan
pokok kedua yang penting direnungkan adalah bagaimana cara memahami pungutan
pajak yang dari awal bukan dimaksudkan memidana WP. Sejak putusan pidana
terhadap Suwir Laut (Mantan Manager Asian Agri) diputus MA pada 18 Desember
2012, persoalan pungutan pajak menjadi rancu dan menyulitkan posisi pemerintah
dalam memungut pajak.
Kesalahan
dipicu ketidakpahaman filosofi pungutan pajak yang dalam sejarah tidak pernah
bermaksud memidana WP. Lihat saja putusan MA terhadap Suwir Laut dengan doktrin
hukum vicarious liability, telah memberikan kekacauan hukum dalam proses
pungutan pajak. Doktrin hukum tersebut bukanlah terobosan hukum melainkan
kekacauan hukum. Mengapa?
Pungutan
pajak adalah bagian dari hukum administrasi, yaitu bagaimana cara negara
memungut pajak dari warganya. Pajak yang merupakan hak negara hanya bisa
dilakukan jika ada sifat memaksa. Sifat memaksa pajak bukan diterjemahkan dalam
konteks pidana, tetapi tetap dalam konteks hukum administrasi.
Oleh
karena itu, sifat memaksa pajak bukan diartikan memenjara terkait hukum pidana.
Memenjara WP harus tetap dalam konteks hukum administrasi yang implementasinya
diwujudkan dalam UU Penagihan Nomor 19/2000. Dengan berpikir seperti itu, tepat
jika pemerintah menerbitkan SKPKB dan menagih pajak sesuai UU di atas.
Dengan
memahami filosofi pajak, putusan MA mencampuradukkan pidana dalam pungutan
pajak perlu dikaji kembali. Pandangan hukum MA baru mencerminkan kepastian
hukum semata dan belum mencerminkan keadilan serta filosofi pungutan pajak.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar