|
KOMPAS,
27 Juni 2013
Masih
banyaknya curah hujan di wilayah Indonesia hingga Juni 2013 menimbulkan tanda
tanya besar dari sejumlah kalangan. Terutama, petani dan pihak-pihak yang
secara langsung terkait terhadap perubahan musim.
Indonesia
bagian selatan (Lampung-Nusa Tenggara) paling merasakan dampaknya. Sebab, salah
satu puncak musim kemarau, selain Juli dan Agustus, juga terjadi pada Juni.
Wilayah itu disinyalir mengalami kerugian cukup signifikan akibat kekacauan
pola tanam dan kegagalan panen komoditas lahan kering yang peka terhadap
surplus air.
Anomali
iklim yang mengarah kepada kemarau basah sebenarnya muncul sejak pertengahan
Mei lalu. Jika normal, seharusnya sejak Mei sebagian besar wilayah Indonesia
memasuki kemarau. Curah hujan tinggi yang terjadi selama periode itu mengakibatkan
periode musim hujan 2012/2013 di sejumlah wilayah di Indonesia menjadi lebih
panjang dibandingkan rata-rata.
Analisis
klimatologis dinamika atmosfer-lautan menunjukkan, peningkatan hari hujan dan
curah hujan di atas normal merupakan dampak hangatnya suhu permukaan laut di
wilayah Indonesia. Hingga awal Juni, tercatat suhu permukaan laut di wilayah
Indonesia mencapai 29-31 derajat celsius dengan anomali 1-2 derajat celsius.
Artinya, ketersediaan uap air di atmosfer Indonesia sangat melimpah sehingga
pembentukan awan dan hujan cukup intensif.
Hangatnya
suhu permukaan laut wilayah Indonesia, seperti sekarang ini, tak dapat
dipisahkan dari fenomena iklim di kawasan Samudra Hindia bagian barat. Adalah
Dipole Mode Index (DMI) negatif, yaitu suatu indeks yang digunakan untuk
mendeteksi pendinginan suhu permukaan laut di perairan sebelah timur Afrika
yang prosesnya bersamaan dengan memanasnya suhu permukaan laut di perairan
sebelah barat Sumatera-Jawa.
Hingga
awal Juni, DMI negatif tercatat -0,53, menyusul akhir Mei -0,61, yang artinya
aliran massa udara global bergerak dari Samudra Hindia bagian barat ke wilayah
Indonesia. Penambahan suplai uap air yang hangat dan lembap inilah yang telah
memengaruhi cuaca musim kemarau di sejumlah wilayah di Indonesia bagian barat
jadi basah.
Adapun
identifikasi El Nino Southern Oscillation (ENSO) melalui pantauan anomali suhu
permukaan laut di Nino 3,4 (Samudra Pasifik bagian tengah) menunjukkan kondisi
normal (+0,03) hingga Mei 2013. Artinya, hingga kini tak terjadi fenomena La
Nina meski sinyal kehadirannya terdeteksi lewat pendinginan suhu permukaan laut
di Nino 1 dan 2 (Samudra Pasifik bagian timur) dengan anomali mencapai 2
derajat celsius.
Kemunculan
fenomena DMI negatif tahun ini tak diduga sebelumnya oleh institusi meteorologi
dunia, seperti Jamstec (Jepang), BoM (Australia), ataupun BMKG. Tak seperti
fenomena iklim La Nina yang mempunyai siklus rata-rata empat tahun, DMI negatif
punya siklus lebih lama, yaitu sekitar lima tahun.
Perubahan
sangat cepat dari kondisi normal pasca-DMI negatif 2010 menjadi DMI negatif
2013 praktis membuat prakiraan yang dikeluarkan institusi meteorologi dunia
tidak akurat karena prediksi sebelumnya normal hingga akhir 2013. Sampai
sekarang, penyebab DMI negatif belum diketahui secara pasti. Namun, menurut
banyak pihak, hal itu berkaitan dengan pemanasan global meski hasil riset belum
cukup untuk membuktikannya.
Prediksi
Sebagian
besar institusi meteorologi dunia memprediksi, hingga Oktober 2013 kondisi ENSO
masih akan berlangsung normal, kecuali BoM memprediksi mulai Juni 2013 terjadi
La Nina lemah. Analisis klimatologis tren penjalaran suhu permukaan laut ke
arah barat memungkinkan pendinginan suhu di Samudra Pasifik bagian timur dapat
mencapai Nino 3,4 menjelang musim hujan 2013/2014. Akibatnya, awal musim hujan
di sebagian besar wilayah Indonesia berpotensi maju (lebih cepat) dibandingkan
normalnya. Sementara itu, prediksi DMI oleh BoM memperlihatkan kecenderungan
DMI negatif hingga Oktober 2013.
Suhu
muka laut di wilayah Indonesia bagian barat yang hangat secara meteorologis
dapat memicu pertumbuhan vortex atau pusaran angin di Samudra Hindia sebelah
barat Sumatera atau di selatan dan utara Jawa. Aktivitas vortex di perairan ini
mengakibatkan konvergensi atau perlambatan kecepatan angin di wilayah Jawa,
Sumatera, dan Kalimantan sehingga berpotensi menghasilkan awan hujan. Dampaknya
terhadap iklim adalah meningkatnya curah hujan dan hari hujan selama musim
kemarau sehingga curah hujan di atas normal.
Fenomena
kemarau basah 2013 boleh jadi akan mirip dengan kemarau basah 2010 karena
kondisi iklimnya hampir sama. Bedanya, kemarau basah 2010 dipengaruhi DMI
negatif dan La Nina kuat yang muncul hampir bersamaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar