|
KOMPAS,
26 Juni 2013
Gagasan
pendiri Indonesia melembagakan otonomi kampus dalam bentuk Badan Hukum
Perguruan Tinggi Negeri publik telah dituangkan dalam UU Pendidikan Tinggi
2012. Akan tetapi, capaian reformasi ini dinilai tidak relevan dari sisi rezim
pengelolaan keuangan (”Paradoks
Rasionalitas PTN-BH”, Kompas, 22/6).
Paham
rasionalitas pengelolaan modal oleh pemegang saham ini mereduksi raison d’etre Badan Hukum Perguruan
Tinggi Negeri (BHPT) publik sebagai subyek hukum. Di balik reduksionisme ini
ada pendapat bahwa negara dilarang mengatur dan membentuk BHPT publik. Mahkamah
Konstitusi juga didesak membubarkannya meski bukan kewenangan konstitusional
MK.
Persona
moralis
Menjelang
Pemerintah RI (Yogyakarta) akan kembali beribu kota di Jakarta, acting Presiden
RI Assaat menerbitkan PP Nomor 37/1950 (tanggal 14/8/1950) untuk mengatur Universitas
Gadjah Mada sebagai ”masyarakat-hukum-kepentingan” (Belanda: publiekrechtelijke doel corporatie).
BHPT publik diawasi oleh dewan kurator yang diangkat oleh pemerintah, dapat
mempunyai keuangan dan milik sendiri, serta mengatur rumah tangga dan kepentingan
sendiri. Pemerintah dapat mengizinkan badan hukum lain, misalnya Yayasan Hatta,
menyelenggarakan kegiatan di UGM. Sumber keuangannya berasal dari anggaran
negara, mahasiswa, dan dari trust fund (dana perwalian) yang dibentuk oleh atau
dengan bantuan pemerintah.
Keberadaan
BHPT publik dipengaruhi rezim politik. UU Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) 1989 menyatakan bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi akademik
dan otonomi pengelolaan lembaga. Kebijakan ini baru diwujudkan setelah Orde
Baru berakhir, yaitu melalui penerbitan PP Nomor 60/1999 dan PP Nomor 61/1999
oleh Presiden BJ Habibie. Tujuh BHPT publik kemudian ditetapkan semasa
kepresidenan Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang
Yudhoyono.
Pembentukan
BHPT publik merujuk teori badan hukum pada Pasal 1653-1665 KUH-Perdata: bahwa
negara dapat mengatur, mengakui, membolehkan, atau membentuk empat jenis badan
susila (persona moralis, zedelijke
lichaamen). Para penganut teori hukum kodrat menganggapnya fiksi karena
hanya manusia (persona naturalis)
yang menjadi subyek hukum. Namun, sudah jamak dianut bahwa negara adalah subyek
hukum dan dapat melahirkan subyek hukum seperti International Criminal Court (Statuta
Roma 1998).
Badan
hukum didirikan bukan hanya berdasarkan ideologi liberal-kapitalis, yaitu
dengan memisahkan harta pendirinya (termasuk pemisahan kekayaan negara) untuk
mengejar tujuan kapital dimaksud. Badan hukum dapat didirikan karena kesamaan
tujuan atau kepentingan. Tujuan negara atau kepentingan publik, misalnya menyediakan
layanan pendidikan tinggi yang terjangkau masyarakat (Pasal 65 UU Pendidikan
Tinggi), jadi rasionalitas pembentukan badan hukum publik. Ketundukan subyek
hukum pada UU, misalnya tanggung jawab sosial perusahaan, bukanlah paradoks.
UU
Sisdiknas 2003 meneruskan kebijakan otonomi perguruan tinggi, tetapi
menyeragamkan bentuk BHPT melalui UU Badan Hukum Pendidikan 2009, termasuk bagi
perguruan tinggi swasta yang didirikan oleh badan hukum. MK (31/3/2010)
membatalkan keseluruhan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan penjelasan Pasal 53
Ayat (1) UU Sisdiknas 2003. Namun, MK tidak membatalkan UU Sisdiknas 1989 dan
teori badan hukum serta tak pernah membubarkan BHPT publik maupun swasta. Kini
BHPT publik disebut PTN badan hukum (PTN-BH) dan harus menyesuaikan dengan UU
Dikti paling lambat Agustus 2014.
UU
Dikti mengakui keberadaan BHPT swasta yang sudah ada dan memungkinkan
pembentukan BHPT publik. Setelah MK membatalkan UU BHP, otonomi PTS mengikuti
peraturan dari badan hukum pembentukannya. PTN diberikan pilihan sebagai satuan
kerja Kemdikbud, PTN badan layanan umum, atau BHPT publik. Statuta PTN
ditetapkan dengan peraturan menteri, sementara statuta BHPT publik ditetapkan
dengan peraturan pemerintah.
Model
pengelolaan otonomi sesuai statuta perguruan tinggi itu dibangun karena UU
Dikti menderivasikan kebebasan berpikir dan berpendapat sebagai otonomi
akademik dan otonomi pengelolaan PTN, sekaligus menjamin tiga otonomi akademik
(kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan) dan dua otonomi
pengelolaan PTN (pengelolaan akademik dan pengelolaan non-akademik).
Otonomi
pengelolaan akademik meliputi penetapan norma, kebijakan operasional, dan
pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi. Otonomi pengelolaan non-akademik
meliputi penetapan norma, kebijakan operasional dan pelaksanaan organisasi,
keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan, serta sarana dan prasarana. Mereduksi
otonomi kampus dan status BHPT publik jadi rezim pengelolaan keuangan lembaga
pendidikan tidak menjawab otonomi akademik dan otonomi pengelolaan selain soal
keuangan.
Otonomi
subyek hukum
BHPT
publik bukan yayasan atau wakaf (harta bertujuan), bukan badan usaha seperti
koperasi (berkeanggotaan) atau perseroan terbatas (didirikan atas saham, ada
pemegang saham, dan rapat pemegang saham). Namun, BHPT publik bukanlah lembaga
yang bukan-bukan. BHPT publik adalah lembaga di bidang pendidikan tinggi yang
berstatus subyek hukum, punya hak dan kewajiban tertentu (seperti tunduk pada
rezim rahasia negara bagi penelitiannya dan fiduciary
duty), harus berprinsip nirlaba (seluruh sisa hasil usaha dari kegiatannya
harus ditanamkan kembali untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan
pendidikan tinggi), serta ditugaskan memberikan layanan pendidikan yang
terjangkau masyarakat.
Otonomi
perguruan tinggi sebagai otonomi subyek hukum diakui dalam sejumlah peraturan
perundang-undangan sejak Indonesia merdeka. Derajat implementasinya beragam,
termasuk sebagai persona moralis. Bukan wewenang konstitusional pengadilan
melarang negara untuk membentuk, mengesahkan, atau mengatur badan hukum. Tugas
konstitusional pengadilan adalah melindungi status otonom subyek hukum itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar